![]() |
Sindoro, 30 Desember 2024 |
Halo, apa kabar teman-teman? Lama tidak jumpa, semoga teman-teman dalam keadaan baik dan sehat.
Selamat Tahun Baru 2025 dan selamat memasuki pertengahan Februari. Semoga
tahun ini kita menemukan dan ditemukan oleh kebaikan; memaknai dan dimaknai
atas kehadiran yang melintas di kehidupan kita.
Oh ya, aku sudah lama menyadari bahwa tiap bulan semakin sulit untuk bertemu
di sini. Dan harap maklum jika paragraf pertama dalam tulisan ini akan menjadi templat
pembuka tulisanku (bertanya kabar dan mengucap lama tak jumpa) ke depannya karena
memang adanya kita jarang bertemu di sini. Mungkin karena aku malas dan (sok)
sibuk; mungkin juga karena orang-orang sudah berbondong-bondong pindah platform
ke media sosial lainnya untuk melakukan micro-blogging. Selain di sini
aku juga masih rutin melakukan journaling di jurnal pribadi dan
mengunggah cerita sehari-hari di Instagram dan X. Teman-teman bisa
mengunjungiku di sana jikalau luang. Meski demikian, setidaknya aku masih ingin
sesekali mengunjungi blog ini yang sudah menjadi rumahku sejak lama. Aku ingin
merangkum apa saja yang terjadi yang terjadi selama 2024 yang akan membuat
tulisan ini superduper panjang.
Beberapa pengalaman yang menjadi sorotan 2024 adalah pertama kalinya aku mengikuti ultra trail run di CTC dan gowes dari Bandung menuju Lombok bersama teman-teman sepeda @sumbersenang. Keduanya menjadi pengalaman yang merendahkan hatiku. Aku belajar banyak tentang diri sendiri dan mensyukuri perjalanan hidup. Pengalaman lainnya yang membukakan mataku adalah mencoba mengunjungi ulang pengalaman dan kenangan yang aku labeli negatif, tidak menyenangkan, atau bahkan traumatis. Ada satu pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi lebih dari 10 tahun lama yang ternyata tidak aku sadari menjadi jangkar berat di hatiku. Beruntungnya, alam bawah sadarku membantuku memprosesnya tanpa aku sadari. Aku lega karena kini pengalaman tersebut sudah menjadi hal yang lewat yang jika aku kunjungi kembali tidak menyisakan hal yang menyakitkan. Beberapa kali diskusi dengan beberapa teman-temanku yang punya pengalaman traumatis dalam hidupnya, indikator kemajuan kita dalam memproses pengalaman traumatis adalah dengan kembalinya kualitas hidup kita. Trauma tidak mendefinisikan kita, tapi menjadi bekas luka yang mengingatkan betapa kita bisa menjalani hidup dengan hal sudah terjadi dan tak bisa kita lalui. Kualitas hidup ini secara personal bagiku diiringi dengan banyak hal-hal kecil yang bisa aku syukuri: membuka diri kepada orang-orang terdekat, menyadari bahwa pemantik trauma sebagai bagian dari hidup yang tidak lagi menakutkan dan menyakitkan, merasa aman dan nyaman dengan diri sendiri, meregulasi emosi, dan membangun kepercayaan serta intimasi dengan orang lain. Pada dasarnya kualitas hidup ini akan berubah-ubah dengan naik dan turunnya dinamika kehidupan. Bukan berarti keseluruhan hidupku ini bahagia, indah, dan menyenangkan. Ada kalanya sedih, kecewa, dan emosi lainnya yang aku labeli negatif dan tidak menyenangkan mengerubungi diriku. Kala itu terjadi, aku mengingatkan diriku sendiri bahwa semuanya akan berlalu. Menjadi pulih bukan menegasi atau menginvalidasi pengalaman buruk atau negatif, melainkan menerimanya dan bangkit darinya.
Sebenarnya ada banyak sekali pengalaman naik dan turun selama 2024 lalu.
Ada hari-hari yang berjalan begitu lama, ada hari-hari yang berlangsung sangat
cepat. Aku percaya waktu dan ruang adalah dua dari sedikit hal yang secara paradoks relevan dan
relatif bagi masing-masing kita, tapi juga absolut bagi semua kita. Keduanya selalu hadir beriringan seperti
dua sisi koin yang berseberangan. Di hadapan waktu kita tidak berdaya. Tanpa waktu
kita kehilangan kesadaran akan apa yang sudah berjalan, sedang berjalan, dan
akan berjalan. Mungkin karena itu kita berlomba-lomba untuk menjadi awet muda
(dan mungkin terobsesi terhadap fiksi immortality di dunia fana ini). Di sisi lain, di hadapan ruang kita menjura. Tanpa ruang kita kehilangan makna sense of belonging akan sekitar
kita. Salah satu cara menerima waktu dan ruang adalah memaknainya sebaik
mungkin dan mereguknya sebanyak mungkin.
Sama seperti waktu dan ruang yang silih berganti, tahun 2024 terdiri dari
ruang dan waktu atas perjalanan yang diwarnai naik dan turunnya jalan yang aku
lalui. Fokus tahun ini seperti tahun sebelumnya: meningkatkan kemampuan diri
dan berlatih inner work. Bedanya, kini aku sedikit percaya diri menapaki
hari-hari. Dulu aku masih gamang; cenderung nihilis. Sepertinya aku setuju
bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dari guruku itu, aku belajar hidup tenang
dan melamban; menerima dan merelakan. Pelajaran-pelajaran hidup tahun sebelumnya kerap aku cetak pada tubuh
dan pikiran yang kian renta ini. Aku
juga belajar mempercayakan segala sesuatunya kepada Sang Sutradara Hidup dan
membiarkan segalanya mengalir apa adanya. Ini aku coba terapkan dengan
lebih mengintimkan diri dengan Sang Pencipta dan rutin berolahraga, berolahjiwa,
dan berolahrasa.
Hal lain yang aku soroti dari 2024 ini adalah kebiasaanku untuk merekam
keseharianku di media sosial. Perlu aku akui ada sedikit kekhawatiranku untuk terperosok
ke dalam jurang keterlupaan. Bayangkan, detik ini kita ada, detik berikutnya
kita tiada. Hari ini bertemu, esok berpisah. Apa yang akan menjadi pengingat
diri dan terpatri di dunia selain kenangan dan pengalaman yang dibagi bersama. Tapi
itulah hidup. Menjadi hidup, harus menerima mati. Mengapresiasi pertemuan,
harus merelakan perpisahan. Itulah alasan aku melakukan journaling tidak
hanya di jurnal pribadiku, tetapi juga media sosial. Aku belajar merekam apa
yang pernah aku alami dan rasakan; walaupun tidak seluruhnya. Melihat media
sosial seseorang seperti mengintip lubang kunci sebuah pintu. Walaupun yang
kita lihat bisa jadi benar, belum tentu menggambarkan keseluruhan (konteksnya).
Ini yang sedang aku dalami. Aku ingin merekam pecahan-pecahan dalam diriku apa
adanya walaupun tidak seluruhnya: saat aku merasa senang, damai, dan tenang seperti
saat merasa sedih, gundah, dan resah. Pada akhirnya aku bilang kepada diri sendiri,
“Ya udahlah. Mau gimana lagi. Terserah sebaik-baiknya rencana-Nya saja.”
Mungkin kita menganggap media sosial sebagai bayangan yang tak bisa lepas dari kita saat hari-hari begitu terang. Bahkan sebagian dari kita berasumsi tidak bisa hidup tanpa media sosial. Aku kerap mengingatkan diri sendiri bahwa media sosial bukanlah definisi kehidupan dan kepribadian seseorang seutuhnya. Dalam konteks journaling, media sosial membuatku bisa menyusuri momen yang sudah aku lalui berdasarkan kronologi waktu. Misalnya, Juli 2024 aku sempat menulis di sini bahwa aku sedang berlatih untuk lari maraton di Bali. Saat aku melihat ulang apa yang aku rasakan dan alami pada Maraton tersebut, ada bagian dari diriku yang menghidupkan ulang pengalaman dan kenangan tersebut. Ada beberapa orang yang tidak aku kenal merasa terhubung dengan apa yang aku bagi dan mengontakku atas apa yang aku bagi. Aku pikir ini menjadi pengalaman komunal bagi sebagian orang: tentang berjuang hidup, proses penerimaan diri, hal-hal yang tidak bisa dikendalikan, dan juga kekesalan dan keputusasaan menjalani hidup. Aku berterima kasih jika ada teman-teman yang merasa terhubung denganku di dunia maya. Ada kalanya kamu merasa sendirian, tapi kamu tidak sendirian. Ada kalanya kamu tidak merasa sendirian, tapi kamu sendirian. Apa pun itu, kita bersama-sama sedang ada dalam pengembaraan hidup ini.
![]() |
CTC 50K |
Oh ya, 2024 aku belajar tentang tubuhku sendiri melalui lari. Aku mulai memaklumi dan memahami
tubuhku sendiri melalui maraton. Aku punya jam biologis dan metabolisme yang sulit
diintervensi, seberapa pun besar upayaku mengintervensinya. Misalkan, seberapa
pun aku lelah seharian atau siang harinya aku sempat tidur siang tiga jam,
malam harinya badanku akan tetap menagih setidaknya lima jam tidur. Perkara
metabolisme, jumlah asupan makananku seharian tidak mengubah jam defekasiku.
Pukul lima sampai tujuh pagi adalah waktu sakral bagi tubuhku untuk merenung di
toilet. Metabolisme dan jam biologis ini kadang sedikit merepotkanku, apalagi
saat mengikuti acara lari. Pernah satu kali waktu aku mencoba mengatur diet
makananku dengan memilih makanan berserat dan menghindari makanan berminyak dan
pedas agar aku tidak buang air besar pagi saat lari berlangsung. Hasilnya, tidak
berpengaruh banyak. Saat aku lari 30K Siksorogo 2023 aku buang air besar
sebanyak tiga kali. Saat Pocari 42K 2023 tiga kali, CTC 50K 2024 empat kali,
Maybank 42K 2024 empat kali, dan terakhir Tahura Trail 42K 2025 dua kali. Itu
semua tidak termasuk buang air kecil. Beberapa teman-teman menyarankanku untuk
minum obat penahan mulas dan buang air besar, namun aku menolak. Sepertinya
tidak adil bagi tubuhku untuk menenggak obat untuk menunda haknya hanya karena
keinginanku egoisku untuk lari-larian. Akhirnya aku memutuskan untuk menerima
metabolisme tubuhku dan membiarkan tubuhku meminta haknya kapan saja. Silakan
tubuh, Anda bebas memilih waktu untuk buang air besar. Inilah salah satu
yang membuatku bersyukur bahwa aku masih bisa buang air dengan lancar (dan meromantisasi
buang air). Sesuatu yang mungkin tidak aku syukuri benar-benar sebelumnya. Meski
berkali-kali ke toilet, akhirnya aku bisa finis Maraton di Bali dengan santai bersama
bonus kaki lecet karena kebasahan air hujan. Aku berterima kasih kepada
teman-temanku di RIOT yang selalu mendorong latihan lari walaupun
bolong-bolong.
![]() |
Maybank Maraton 42K |
Beres Maraton di Bali, hari-hariku berjalan seperti pekerja lainnya. September 2024, aku cukup tenggelam dalam rutinitas kerja. Di sela-sela itu, aku berusaha menyempatkan diri untuk tetap gowes ke kantor, yoga, meditasi, lari, renang dan hal-hal yang aku senangi dan bisa membantuku membangun resiliensi dan menavigasi emosiku. Oh ya, bulan ini juga Ibuku mendapatkan rezeki untuk bisa umrah lagi. Awalnya Bapak berniat menemani Ibu, tapi kesehatan Bapak belum prima. Akhirnya Bapak mengikhlaskan Ibu untuk pergi sendiri. Begitu pun Ibu; ia mengikhlaskan untuk tidak ditemani Bapak. Aku baru menyadari saat menginjak usia 30 bahwa kedua orang tuaku semakin sepuh. Kondisi fisik dan juga psikologis mereka perlahan-lahan berubah dan merapuh. Bapak tetap berupaya terlihat tangguh. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa Bapak sudah tidak bisa lagi menyetir mobil dan berdiri lama. Tidak juga mengubah fakta bahwa pukul 9 malam, Ibuku sudah terkapar tidur karena kelelahan menjaga kantin kecilnya. Bapak dan Ibu masih memiliki semangat hidup yang tinggi walau sakit-sakitan. Beberapa kali mereka memintaku mengantar mereka menjenguk adikku yang baru saja melahirkan. Ketika mereka bertemu cucu lelaki satu-satu mereka satu-satunya, ada binar haru di mata mereka. Aku sungguh bahagia melihat mereka bahagia. Di antara saudara-saudaraku, aku satu-satunya yang belum menikah. Aku tak menjadikan itu masalah karena aku bisa menyaksikan lebih banyak momen melihat kedua orang tuaku. Bapak dan Ibu pun tidak pernah memaksakan pernikahan kepada anak-anaknya, termasuk aku. Semua saudaraku menikah muda dan otomatis tak lama setelah menikah, satu persatu meninggalkan rumah. Aku mengamati bahwa kedua orang tuaku cenderung menyimpan kegelisahan atau kesakitannya dari anak-anaknya yang sudah menikah. Misalnya, walau sedang sakit, Ibuku memaksakan diri untuk memasak demi adikku dan keluarganya yang hendak berkunjung ke rumah. Atau Bapak yang masih sakit dan tiba-tiba jadi kuat saat mengunjungi rumah kakakku di luar kota. Aku paham bahwa mereka tidak mau membebani anak-anaknya dan keluarganya. Hal ini membuatku banyak berefleksi tentang rasa sayang orang tua kepada anaknya dan anak kepada orang tuanya. Kami anak-anaknya tidak sempurna; orang tuaku pun begitu. Melihat orang tuaku menua dari dekat pelan-pelan membuatku mulai memahami perjuangan dan keterbatasannya saat menumbuhkan kami.
![]() |
Jakarta, menemani Orang Tua |
Tumbuh dari keluarga berpenghasilan rendah, aku merasa belum bisa memberikan banyak kepada mereka. Meski pada kenyataannya orang tuaku hanya berharap anak-anaknya sehat dan bahagia, setiap aku ada sedikit rezeki, aku selalu mencoba berbagi kepada mereka. Semakin mereka menua, semakin sadar aku perjuangan yang pernah mereka lakukan untuk anak-anaknya dahulu. Aku sering kali teringat kedua orang tuaku berusaha keras mencari nafkah bagi kami. Mereka pernah jualan nasi gerobak, roti bakar, jus, dagang di kaki lima, buka warung, buka binatu sendiri, memulai bisnis pakaian, sampai akhirnya sekarang membukan kantin kecil. Kenangan tersebut membekas jelas di ingatanku. Aku pernah membujuk mereka untuk berhenti bekerja karena alhamdulillah kini aku sudah bisa sedikit mengurangi sebagian beban mereka. Tapi mereka kompak menolak. Seperti yang aku bilang sebelumnya, semangat hidup mereka, tanpa mereka sadari, begitu berkobar. Mereka masih ingin beraktivitas dan mengaktualisasikan diri mereka. Semangat mereka inilah menjadi pengingat keras yang begitu dahsyat saat aku merasa kehilangan arah atau dilanda lelah yang tak berkesudahan. Bersama orang tuaku, aku menyadari untuk mengunjungi ulang relasi yang pernah aku miliki bersama mereka: bahwa menjadi orang tua itu tidak mudah bagi mereka. Mereka hanyalah manusia biasa yang berusaha sekuat tenaganya untuk membahagiakan anak-anaknya walau kadang niat ini diartikan berbeda oleh anak-anaknya. Menjadi tua memberikan banyak ruang bagiku untuk mengintrospeksi dan merefleksikan apa yang pernah aku alami. Ternyata, menjadi tua tidak semenakutkan yang dikira orang-orang kebanyakan. Aku justru sangat menyenangi perubahan fisik dan emosional yang terjadi padaku seiring aku beranjak tua. Kerutan, uban, dan kenangan yang semakin banyak. Batasan fisik dan emosional yang semakin terasa jelas. Pelan-pelan aku mulai lihat mengalokasikan energiku untuk daftar prioritasku.
Beralih ke Oktober, hari-hariku tetap itu-itu saja: tenggat
pekerjaan, berolahraga, dan journaling menjadi kegiatan utamaku. Meski
begitu-begitu saja, aku belum pernah merasakan bosan dengan rutinitas tersebut.
Sebaliknya, aku belajar mensyukuri hari-hari sederhana yang aku jalani. Kadang aku
gowes ke kantor, kadang motoran. Sesekali lari juga ke kantor. Tiap berangkat mengendarai
motor, aku melewati pabrik coklat di belakang kantor dan melihat
pegawai-pegawainya yang mengantre masuk pabrik. Pulangnya, aku melewati
jembatan layang dan jika beruntung aku bertemu dengan senja yang memikat. Ada
kalanya aku bersyukur atas hari yang cerah dan terik. Ada kalanya aku juga
bersyukur atas hari yang mendung dan hujan. Aku membaca beberapa buku tentang
hidup lamban (slow-living) yang menyebutkan bahwa hidup lamban itu bukan
perkara dikotomi geografis hidup urban-desa, melainkan sebuah daya pikir untuk
menegosiasikan waktu, tenaga, dan diri untuk hidup lebih berkesadaran. Jadi,
bukan berarti hidup di desa sudah otomatis bisa slow-living yang identik
dengan kedamaian. Sebaliknya, bukan berarti hidup di kota otomatis fast-paced
living yang identik dengan keos. Dalam literatur eco-psychology,
hidup lamban sering diasosiasikan dengan hidup selaras bersama alam. Artinya,
hidup lamban tidak harus hidup di gunung atau di desa pinggiran kota. Melainkan
meluangkan waktu untuk memperhatikan alam. Misalnya, dengan mengurangi jejak
karbon melalui penggunaan transportasi umum atau menerapkan gaya hidup
minimalisme. Walau sebetulnya tinggal di desa akan mempermudah kita menerapkan slow-living.
Di sisi lain aku bersyukur bisa tinggal di Bandung yang di kelilingi gunung
dan alam. Saat akhir pekan aku bisa bergeser sejenak untuk haiking atau lari di
alam bersama teman-teman. Ini juga yang menjadi salah satu alasan upayaku untuk
belajar lebih sadar merawat alam dan menjadi tanggung jawab pribadiku dengan mengembangkan
Komunikasi Lingkungan di tempatku bekerja sekarang.
Masih Oktober 2024, aku dan teman-teman sepeda @sumbersenang akhirnya berkesempatan
mengunjungi Pesantren Tahfidz Tunanetra Ma'had Sam'an Darushudur untuk
menyerahkan donasi tahap 1 yang dipercayakan teman semua kepada kami saat kami
melakukan perjalanan sepeda #BerbagiSenang Season Dua dari Bandung ke
Lombok. Aku pribadi banyak belajar dari santri dan santriwati di Pesantren Ma'had
Sam'an Darushudur ini terutama tentang penerimaan diri dan resiliensi. Banyak
sekali yang masih perlu aku pelajari dalam hidup ini dari orang-orang yang aku
temui. Oh ya, mewakili komunitas sepeda @sumbersenang, aku mengucapkan banyak
terima kasih kepada teman-teman yang
telah mendukung kegiatan kami ini dengan doa dan materi. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan teman-teman semua.
![]() |
Pesantren Ma'had Sam'an Darushudur, #BerbagiSenang Season 2 |
Oktober beralih menjadi November 2024 yang masih diwarnai kerja, kerja, dan
kerja. Semester ini aku mengampu mata kuliah Penjenamaan Diri (Personal
Branding). Berbicara mengenai belajar dari orang-orang di sekitarku, aku belajar banyak dari
mahasiswaku dengan perspektif Gen Z-nya. Aku mulai paham mengapa pernyataan
seperti ‘Dulu zaman Bapak itu...’ tidak relevan dan tone-deaf bagi mereka. Satu
waktu aku pernah berkata di kelasku, “I am too old to understand you Gen Z, let
alone mingle with you guys.” Di luar dugaanku, satu orang di kelasku membalasku,
“No, Sir. It’s all only in your head. We think you are not that old. You’re
cool!” Interaksi seperti ini membuat pembelajaran jadi dua arah dan ini sungguh
menyenangkan bagiku. Selan itu, di tengah hiruk pikuk pekerjaanku, awal bulan aku berhasil
mencuri waktu dengan cuti untuk mengunjungi Pare sebagai bagian dari
prarisetku. Aku tertarik dengan kehidupan lamban dan juga glokalisasi budaya
Kampung Inggris di Pare. Aku juga berkesempatan menemani mahasiswaku melakukan
kursus pendek di salah satu kampus di Malaysia. Aku belajar banyak tentang
metode andragogi dalam pembelajaran di kelas di beberapa universitas Malaysia.
Ini adalah pengalaman yang aku apresiasi seumur hidupku.
![]() |
Kuala Lumpur, Bersama mahasiswa Tel-U dan MMU |
Menuju akhir tahun 2024, Desember menjadi bulan yang aku tunggu-tunggu karena
salah satu waktu aku bisa mengajukan cuti agak panjang saat pergantian tahun.
Tanpa aku sadari setiap akhir tahun menjadi ritualku untuk melancong agak jauh
dari rumah. Akhir 2022 aku habiskan mengambil lisensi advanced scuba diving,
akhir 2023 aku menghabiskan di Gunung Raung, dan akhir 2024 ini aku
menghabiskan waktu di Gunung Sindoro. Gunung Sindoro sudah sejak lama sekali aku
lirik untuk dikunjungi sebagai pelengkap 3S Jawa (Sindoro, Sumbing, dan
Slamet). Aku masih ingat mengunjungi Sumbing pertama kali tahun 2014 dan kedua
kalinya tahun 2024. Gunung Slamet aku kunjungi akhir 2017 setelah aku beres
Working Holiday di Australia. Butuh hampir sepuluh tahun bagiku untuk
melengkapi 3S ini. Bagi sebagian melengkapi 3S Jawa mungkin hanyalah perkara
‘tinggal pergi’. Dulu saat aku lebih muda, aku belum punya modal sosial,
finansial, dan keberanian yang cukup. Sekarang, aku sudah mulai bisa menabung
ketiganya dan aku sempatkan diri mengunjungi Sindoro. Seperti biasa aku menyetir
sore hari dari Bandung selepas pekerjaanku selesai. Selama perjalanan aku
ditemani hujan dan Siniar Ngaji Filsafat-nya Fahruddin Faiz. Sungguh syahdu.
![]() |
Puncak Sindoro, 31 Desember 2024 |
Walaupun saat pendakian Sindoro hujan terus berlanjut, bahkan badai, aku
bersyukur bisa mencapai puncak Gunung Sindoro dengan selamat. Aku belajar untuk
mencintai langit bersama segala terik dan hujannya; belajar menerima orang-orang yang
ku kasihi bersama lebih dan kurangnya. Aku juga berkesempatan menghabiskan waktu
di pantai dan memutar ulang apa yang pernah aku alami dan rasakan di tempat
ini. Tidak pernah terpikirkan olehku bisa dilimpahi berkah mengunjungi alam
seperti ini. Seseorang yang dahulu hanya beranggapan bahwa hidup ini terdiri dari surviving yang bisa tidur dan
makan saja sudah untung, kini bisa menjejakkan kaki di gunung dan pantai.
Segala puji dan puja hanya untuk Allah SWT.
Memasuki Januari 2025 aku berlatih untuk mengikuti Trail Run 42K. Bagiku
yang bekerja penuh waktu, sangat sulit untuk mengatur waktu untuk bekerja dan
berlatih. Seringnya sepatu lari beserta yang aku bawa saat bekerja tidak aku
gunakan karena pulang bekerja terlalu sore. Aku belajar tentang kedisiplinan
diri dan komitmen terhadap diri sendiri. Aku yakin tanpa berlatih, aku tidak
akan menikmati lariku. Aku tidak memiliki target yang muluk saat ikut acara
lari; hanya berharap dan berdoa bisa menikmati larinya dan finis sehat di bawah
waktu yang telah ditentukan. Berlari membawaku pada penyadaran diri bahwa kita
harus berteman dengan diri sendiri dan mengetahui batas kemampuan diri sendiri;
bukan melawan diri sendiri. Berlari menjadi momen sakral untuk berduaan antara
diri sendiri dan Sang Pencipta. Dengan berlari aku bisa lebih merasakan dan
sadar akan napas, langkah, pikiran, dan perasaan; terutama lelah yang tak
berkesudahan itu.
![]() |
Tahuran Trail Run 42K |
Trail Run 42K yang aku selesaikan menjadi pembuka untuk berharap dalam menjalani
2025. Aku sudah lama tidak membuat resolusi atau target tahunan, tapi bukan
berarti aku berhenti berharap. Ada harapan yang terus mengendap bahwa semoga
hari-hari berikutnya bisa berjalan lebih baik dan jikalau pun tidak, kita (aku
dan kalian) bisa tetap tabah menghadapi segala sesuatunya apa adanya. Aku terus
mengingatkan diri sendiri karena manusia adalah tempatnya lupa, bahwa tidak ada
yang sia-sia di dunia ini. Pengalaman menyakitkan yang pernah aku alami dan
mengkristal di dalam diriku tidak meredam pengalaman membahagiakan yang pernah
aku alami. Aku bersyukur atas segala apa yang pernah terjadi dan tidak terjadi
dalam hidupku; pada apa yang aku miliki dan tidak aku miliki. Ini adalah
pelajaran berharga dari tahun-tahun sebelumnya yang aku upayakan untuk selalu
aku bawa di setiap jejak langkahku.
Semoga tahun 2025 ini kita bisa terus mensyukuri berkah dan bahagia yang
hadir di sela-sela hari yang sulit. Tambah sukses, banyak berkah, sehat,
bahagia, dan sejahtera. Pokoknya doa yang baik untuk kita semua. Aaamiin.
Sampai jumpa lagi, Teman-teman!
Wish you all the best in this year, Akang!
ReplyDelete