Juli: Mengunci Ingatan


Senja di Gunung Gede Pangrango, 19 Juli 2024




Halo!

Akhirnya aku bisa meluangkan waktu untuk menulis sepenggal cerita di sini. Hari ini adalah terakhir bulan Juli dan banyak yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang. Aku menulis ini setelah menyelesaikan latihan lari 30 KM sebagai persiapan maraton nanti bulan depan di Bali. Setelah dua minggu tidak latihan lari karena pekerjaan, aku merasa ada sendi-sendi yang bunyi dan linu. Ya beginilah badan yang sudah memasuki jompo muda (alias gampang masuk angin dan encok). Berbicara tentang pekerjaan, dua bulan ke belakang beban kerjaku cukup padat. Ada beberapa hari aku bekerja sampai larut dan mengorbankan waktu akhir pekan. Tapi aku bersyukur, itu semua terlewati dengan cukup baik. Di tahun ke lima menjadi dosen ini banyak pengalaman bekerja yang aku gunakan sebagai bagian pengembangan diri baik secara emosional maupun intelektual. Mulai dari mengambil beragam sertifikasi, mengerjakan administrasi, mendengar cerita mahasiswa, sampai dengan mengajar mata kuliah yang sesuai dengan kompetensiku. Di luar waktu bekerja aku juga masih bersyukur masih bisa menghabiskan waktu dengan orang-orang terdekatku dan dengan diriku sendiri. Dan (tak) terasa lebih dari separuh tahun telah berlalu sehingga menyisakan separuhnya lagi. Ada perasaan lega karena bisa melewati tujuh bulan ke belakang ini apa adanya. Ada perasaan kelabu karena tahun ini tinggal lima bulan lagi dan betapa kita diingatkan waktu berjalan tanpa menunggu aba-aba dari kita.


Tiga bulan ke belakang banyak sekali yang terjadi; mulai dari pengalaman bersepeda, bekerja, lari, naik gunung, dan hal-hal lainnya. Ada hal-hal yang perlahan tumbuh indah berkenaan dengan relasi terhadap diri sendiri dan orang-orang yang aku sayang. Ada hal-hal yang membuat sendu. Di hadapan waktu, kita tidak berdaya. Tahu-tahu orang tua kita semakin menua, sahabat satu persatu mengambil jalan yang berbeda, dan orang-orang di sekitar kita pulang keharibaan. Tapi justru dengan kesementaraan hidup ini, kita bisa mengapresiasi satu detik bersama orang yang kita sayang. Satu detik bersama orang yang kita cintai memiliki bobot yang berbeda dengan satu detik bersama orang yang kita tidak cintai. Bisa jadi bersama orang yang kita cintai, satu abad terkompresi menjadi satu detik. Bisa jadi pula, bersama orang yang tidak kita cintai, satu detik memuai menjadi satu abad. Jika direfleksikan menjadi keseharian: pekerjaan, tanggung jawab, hobi, kegiatan, dan segala sesuatunya dikategorikan berdasarkan inklinasi personal, apakah hidup ini akan terasa sekejap jika kita mencintai hidup dan segala isinya? Jika dibalik, apakah hidup ini akan terasa panjang jika kita terpaksa menjalani hidup yang tidak kita cintai ini? Lantas bagaimana jika kita menjalani hidup ini setengah cinta setengah tidak. Persoalan memaknai hidup tidaklah relevan dalam skala alam semesta. Aku pernah baca buku Ann Druyan yang berjudul Kosmos. Ia menulis bahwa alam semesta adalah sebuah siklus tak berkesudahan. Ambil bintang sebagai contohnya. Bintang adalah anak galaksi yang sudah lebih dewasa dan menjadi kemungkinan bahwa alasan kita ada. Alam semesta menghasilkan galaksi dan galaksi membuat bintang. Salah satu bintang menjadi supernova menuju nebula sampai memadat dan berputar, dengan cepat menjadi gepeng berbentuk cakram. Sampai akhirnya melahirkan matahari dengan reaktor fusi yang bercahaya menyilukan. Hal ini berulang dalam sebuah siklus. Artinya, apa yang terjadi dalam diri kita yang kecil ini begitu tidak penting bagi alam semesta. Yang penting bagi kita, belum tentu penting bagi semesta.

Senja di Gunung Gede, 19 Juli 2024

Lantas apa makna keberadaan kita jika satu aksi kita itu begitu tidak signifikan dalam skala besar? Minggu lalu aku sempat berdiskusi dengan para pekerja kasar mengenai kualitas hidup dan indikator kebahagiaan. Mereka tidak memiliki privilese memikirkan tentang hidup mereka dalam konteks yang epistemologis dan filosofis. Mereka memilih memaknai hidup yang diberikan kepada mereka sebagai bentuk perjuangan dan penerimaan apa adanya. Bekerja, makan, guyon, merokok, atau tidur tenang sudah cukup bagi mereka. Buatku, tanpa mereka sadari, mereka justru telah memaknai hidup secara stois. Dari mereka aku belajar untuk bisa memaknai keberadaan diri apa adanya melalui banyak hal dalam hidup. Bagi sebagian orang justru proses menerima itu memang tidak menyenangkan dan bisa jadi sebuah proses panjang yang tak berkesudahan, ya? 

Aku memilih memaknai bahwa hidup ini memiliki nilai inheren yang paradoks akan posisi diri di alam semesta ini. Pada satu posisi, keberadaanku dalam hidup ini adalah sementara dan tergantikan; manifestasi fana. Pada satu posisi lainnya, keberadaanku dalam hidup ini juga tidak tergantikan. Keberadaan kita adalah sebuah paradoks. Aku dan kamu bertransformasi menjadi individu unik yang memiliki sidik jari, kualitas, dan keberadaan yang berbeda-beda. Mungkin posisimu dalam perusahaan tempatmu bekerja dapat tergantikan, tapi keberadaanmu dalam perusahaan tempatmu bekerja tidak tergantikan. Manusia lahir, tumbuh, berkembang, kemudian mati. Dalam proses yang relatif singkat itu, perjalanan memaknai keberadaan diri dan orang-orang di sekitar kita menjadi sebuah kesadaran untuk bisa menjalani hidup lebih baik. Terakhir aku menulis tentang memaknai hari lahirku pada bulan April lalu. Tulisannya bisa dibaca di laman berikut:

Selamat ulang tahun! (akarliar.com)

Dalam memaknai hari-hariku selama tiga bulan ini jujur aku berusaha keras untuk tetap melakukan journaling di tengah mengerahkan segala daya dan upaya untuk menafkahi hidup sambil tetap waras. Sejak 2016 journaling telah menjadi salah satu terapiku dalam menelusuri ulang kenangan, pengalaman, pikiran, dan perasaan. Journaling membantuku mengunci ingatan yang semakin lapuk dimakan waktu. Biasanya jika sempat, aku menulis di buku harian. Jika tidak sempat, aku memanfaatkan kamera dan media sosial untuk menyimpan jejak atas apa yang telah aku lewati pada hari-hari yang telah lalu. Dua minggu ke belakang ini aku cukup disibukkan dengan pekerjaan: melakukan pengabdian kepada masyarakat, membuat laporan, mengikuti sertifikasi, dan membuat penelitian. Aku teringat awal bekerja sebagai jurnalis dan menjalani working holiday di Australia. Aku jarang sekali membawa pekerjaan ke rumah. Walaupun pekerjaannya sangat mengandalkan fisik dan tenaga kasar. Aku cukup bangga pada diriku yang ternyata memiliki survavibility cukup kuat pada saat itu. Dan saat ini pun aku sering ingin menepuk pundakku sendiri karena telah melakukan yang terbaik. Aku percaya bahwa apa yang kita jalani hari ini adalah proses menjadi diri kita yang lebih baik ke depannya.

Yang membuat aku senang, hal yang aku kerjakan membawaku belajar banyak dari orang-orang yang aku temui. Aku belajar dari pekerja lapangan, dari anak-anak yang menjalani pendidikan alternatif, dari para sepuh penjaga gunung, dan orang-orang yang aku temui di perjalanan. Pada Juli dan Juni ini aku beruntung bisa dua kali naik gunung. Yang pertama bersama Eca. Eca adalah sahabatku sejak tahun 2007. Kami naik Gunung Sumbing dan merayakan IdulAdha di Desa Garung. Kami senang bisa berbagi waktu dengan alam dan salat IdulAdha di kaki Gunung Sumbing. Aku sempat meneteskan mata beberapa kali. Di sini juga aku belajar mengatasi rasa takutku akan naik bus antarkota/antarprovinsi. Aku punya pengalaman tidak menyenangkan (mungkin juga traumatik) naik bus jarak jauh sendirian. Pengalamanku naik bus ini menulis ulang pengalaman buruk yang pernah aku alami sekitar tahun 2015 menjadi pengalaman kontemplatif. Aku jadi ingat suhu trauma healing, Bessel Van Der Kolk, yang mengatakan bahwa trauma tidak hanya membuat kita tersangkut pada masa lalu, tetapi juga membuat kita tidak bisa hidup penuh di masa kini. Hanya dengan menerima dan melepaskan trauma kita, kita bisa hidup penuh di masa kini dan membangun hari-hari yang lebih berkualitas. Kini aku bisa dengan lega (namun tetap waspada) saat naik bus jarak jauh.

Fajar di Gunung Sumbing, 19 Juli 2024

Yang kedua, aku sempat naik Gunung Gede Pangrango. Aku menemani Gelar yang jauh-jauh datang ke Bandung untuk mencoba naik gunung pertama kali. Akhirnya aku ajak naik Gunung Gede. Sebelumnya, aku pernah mendaki Gunung Gede tahun 2011-2012 saat masih bekerja sebagai jurnalis. Lebih dari sepuluh tahun berselang dan ternyata lansekapnya banyak berubah. Oh ya, ini juga bagian dari pra-risetku tentang sampah di gunung. Ternyata sampah di Gunung Gede itu sudah sangat mengkhawatirkan. Aku sempat mengobrol dengan Pak Acep yang bertugas mengelola bank sampah di kaki gunung Gede. Ia bercerita tentang perubahan ekologi dan lansekap alami dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Salah satunya tentang sampah yang ditinggalkan pendaki di kaki gunung. 


Bersama Pak Aep di Kaki Gunung Gede, 20 Juli 2024


Persoalan sampah juga berkaitan dengan kondisi Gunung Sumbing dalam lima tahun terakhir dengan sampah yang semakin menumpuk. Aku jadi penasaran, apakah menutup pendakian selamanya akan membuat gunung bersih dari sampah? Bisa jadi. Tapi jika tidak ingin merusak gunung, maka kita pun tidak boleh merusak ekosistem perkotaan atau laut. Ini adalah sebuah debat ekologis yang tak berkesudahan berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Terlebih lagi dalam taman nasional, kita sudah mengenal dan menerapkan zonasi. Dalam pendekatan ilmu lingkungan, aku jadi teringat Ester Boserup dan Thomas Maltus. Boserup dalam bukunya "Population and Technological Change" menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk akan membuat mendorong teknologi semakin berkembang untuk mengatasi masalah-masalah populasi, termasuk sampah. Di sisi lain, Maltus dalam bukunya "An Essay on the Principle of Population" justru berargumen bahwa pada satu titik populasi penduduk tidak bisa berjalan sesuai dengan produksi makanan yang mengakibatkan kekurangan sumber daya dan masalah sosial. Dengan masalah sebesar itu (termasuk perubahan iklim dan pemanasan global), aku sempat berpikir seberapa insignifikan usahaku dan orang-orang di sekitar menghadapi ulah kita sendiri. Namun begitu, ini tidak mengendorkan semangatku dalam mengerjakan hal yang sesuai dengan renjanaku. Pekerjaanku saat ini menuntunku untuk fokus pada komunikasi lingkungan dan satu hal yang pasti, alam memiliki hubungan personal dengan diriku. Mau bagaimanapun hasilnya, aku tetap akan menjalani renjanaku ini. Aku mencoba memaknai hidup termasuk dengan menerima kegagalan berulang kali. Jika orang-orang terobsesi dengan kesuksesan, aku malah terobsesi dengan bangkit dari kegagalan. 

Rest Area Batang, 13 Mei 2024 

Oh ya, berbicara tentang kegagalan, seringnya konstruksi sosial masyarakat kita mendefinisi kegagalan sebagai ketidakmampuan mencapai target. Nah, Mei lalu aku dan komunitas sepedaku, Sumber Senang, juga melakukan gowes 1000 KM dari Bandung menuju Lombok selama delapan hari melalui #BerbagiSenang Season 2. Kami juga membuka donasi melalui crowdfunding untuk membantu komunitas disabilitas di Bandung. Dari target donasi 30 juta rupiah, kami mendapatkan sekitar 10 juta rupiah. Sebelumnya tahun 2021, kami pernah melakukan gowes komunitas untuk mengumpulkan dana melalui crowdfunding. Saat itu kami bersepeda dari Bandung menuju Denpasar sejauh 1000 KM sekaligus menggalang dana untuk membantu pedagang bersepeda yang terdampak pandemi. Gowes pertama kami berhasil mencapai sumbangan sekitar 20 juta rupiah. Dari  segi angka, kami mungkin tidak berhasil mencapai angka yang kami atur sebagai target. Namun, aku sama sekali tidak melihatnya sebagai sebuah kegagalan. Yang aku sadari, saat pandemi kami memiliki banyak ruang dan waktu untuk merencanakan kegiatan ini. Jadi persiapan dua tahun lalu lebih matang. Aku juga tidak terlalu memiliki banyak waktu untuk persiapan. Bayangkan saja, saat kami hendak berangkat gowes ke Lombok, ban dalamku sudah bocor 3 buah di hari pertama. Ternyata ban luarku sudah usang dan tak bisa digunakan. Beruntung, temanku memiliki ban cadangan yang akhirnya aku pinjam untuk gowes. Tidak hanya itu, aku dan teman-teman harus bekerja lebih keras untuk mengatur waktu untuk rapat bersama, latihan dan gowes bersama, koordinasi mencari sponsor. Hal ini berimbas ke persiapan yang tidak terlalu matang. Temanku di hari pertama mengalami kram kaki yang sungguh mengerikan (tapi syukurnya ia tidak apa-apa). Namun begitu, aku bersyukur gowes kami ini juga berjalan lancar. 

Mandalika, 20 Mei 2024

Kami menikmati setiap perjalanannya. Bukan persoalan jumlah atau target donasi yang kami cari, melainkan kepedulian dan kebersamaan satu sama lain. Aku terharu ketika masih banyak orang yang peduli memberikan dukungan material dan nonmaterial. Aku banyak sekali menulis catatan pribadi di buku harianku tentang gowes dari Bandung ke Denpasar. Mulai dari menulis tentang orang-orang baik yang aku temui di sepanjang jalur Pantura (Aku juga bertemu mahasiswaku yang sudah lulus, halo Priyo!) dan betapa tangguh serta keras hidup yang mereka jalani sampai momen saat aku gowes sendirian di belakang atau di depan sampai membuatku rembes air mata sambil mengingat Allah Yang Maha Baik. Ternyata banyak sekali privilese yang Ia berikan kepadaku. Tak lupa juga aku berterima kasih kepada para orang-orang yang hadir sebelumku: leluhur, kakek-nenek, orang tua, pejuang kemerdekaan, dan mereka yang lidah dan tangannya terbelenggu ketidakberdayaan hidup, namun tetap berjuang agar generasi setelahnya bisa hidup lebih baik. 

Pada akhirnya aku semakin percaya bahwa harapan bisa menjadi fondasi yang kokoh dalam menjalani hari-hari yang sulit. Jika melihat diriku sepuluh tahun yang lalu, aku pasti tidak akan pernah menyangka bahwa aku masih bisa berbahagia: memiliki sahabat, melakukan hal yang aku suka, dan menerima cinta kasih yang mendalam. Melalui tulisan ini aku ingin mengunci ingatan bahwa duka, luka, dan nestapa yang sedang kita rasakan hari ini suatu saat akan mengering dan tergantikan oleh pengalaman-pengalaman indah dalam hidup. Jika ada waktu untuk bertemu aku sepuluh tahun lalu, aku akan bilang dengan tegas padanya, 

"Tenang saja, lukamu akan mengering. Ia akan berubah menjadi suvenir yang mengingatkan betapa tabahnya dirimu dalam menerima."

 

Senja di Laut Bali, 19 Mei 2024

Mari terus berharap.






N.B. Judul tulisan ini terinspirasi dari lagunya Barasuara berjudul Mengunci Ingatan.

Comments