Ziarah ke makam leluhur, Panjalu, 12 April, 2024 |
Halo apa kabar? Semoga baik, ya. Selamat Idulfitri 1445 Hijriyah bagi teman-teman yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.
Tahun ini aku menginjak
35 tahun. Puji syukur mendalam teruntuk Sang Pencipta. Tahun ini aku masih bisa
bertemu Ramadan, menghabiskan waktu dengan orang-orang terkasih, dan mengalami
Lebaran 1445 Hijriyah bertepatan dengan hari lahirku, 10 April. Sebagian orang berpersepsi
ketepatan tanggal seperti ini sebagai kejadian acak yang maknanya hampir nihil.
Bagiku yang pernah memaknai lebaran sebagai sarang duka, peristiwa ini bukanlah
kejadian acak. Butuh waktu lama bagiku sampai akhirnya bisa memaknai ulang Lebaran
sebagai hari yang berbahagia. Lebaran kali ini tak ada rundung duka. Melalui naik dan turunnya hari (sama seperti hari-harimu, mungkin), aku seperti
sedang bersauh di tengah badai yang menemani lautan. Aku dalam proses panjang memahami diri sendiri.
Jika membaca
refleksi hari lahir beberapa tahun belakangan ini, aku bisa merasakan ada
perubahan lamat-lamat dalam diriku (ternyata ada untungnya juga menulis jurnal
harian yang tak terbendung dan tak terarah di blog ini). Aku menemukan tulisan
mengulang tahun 23 yang lama sekali. Dari tulisan itu aku bisa menelusuri
ternyata sejak dahulu ada hal-hal esensial yang tidak hilang dalam diriku,
melainkan berpijak semakin dalam. Ada juga hal-hal yang bertransformasi – tidak hilang,
melainkan berubah bentuk: kebingungan menjadi kejelasan. Menginjak awal 30-an,
aku masih belajar menavigasi kebingungan untuk menjalani dan memaknai hidup.
Salah satunya dengan mendengarkan para pendahulu sebelumku: cara mereka
berjuang dalam hidup, cara mereka menerima dan menjalani hidup hingga tua. Aku
mendapat banyak kilasan pemikiran bahwa jalan hidup kita ini tak ada yang
serupa. Lucunya, jika dahulu aku sempat menerima kebingungan dan kesengsaraan hidup
dengan isak tangis, kini aku mulai bisa menertawakannya. Secara semantik, dulu aku
menggunakan ‘saya’ sebagai kata ganti pertama yang ternyata aku persepsikan
sebagai nomina yang jauh, berjarak, dingin, dan formal. Entah kapan pastinya, aku beranjak
mengganti ‘saya’ dengan ‘aku’ pada beberapa tulisanku. Dari pemilihan kata ini,
aku merasa lebih nyaman dan dekat dengan diriku sendiri. Aku pelan-pelan merangkul sosok
anak kecil dalam diriku dan membiarkannya bermain, menangis, berteriak,
tertidur – dengan jenaka dan ceria. Pada usia 35 tahun ini aku kembali belajar menelaah
lemah dan rapuhnya diri sendiri.
Bagaimana dengan
perubahan fisik? Tentu saja banyak yang terjadi. Uban yang sudah hampir
menguasai kepalaku. Kerutan yang sudah semakin menggores di sana-sini. Bekas luka
yang kentara. Energi yang semakin surut. Dan penggunaan masif atas Google
Assistant dan Calendar. Namun, entah mengapa aku merasa nyaman dengan
perubahan itu. Aku bangga bisa menginjak usia 35 tahun ini. Aku merasa sedang
menua bersama bumi ini; layaknya berteman dengan pepohonan yang tumbuh dari
akar kecil, meranggas hingga layu, dan melapuk; layaknya berteman dengan ruang
hijau yang pelan-pelan dialihfungsikan menjadi pemukiman, mal, dan tempat
kegiatan bisnis lainnya. Perubahan yang tak terelakkan membuatku memilih untuk menerima. Aku mengalami dan merasakan
banyak hal bergulir dan berubah, termasuk diriku sendiri. Ada prioritas yang silih berganti. Aku belum menikah,
tak punya rumah megah, pun mobil mewah. Dan ketiganya belum menjadi prioritas
utamaku. Aku sedang belajar berserah dalam lika-liku perjalanan hidup ini sambil giat mengisi hari-hari.
Menjadi tua mungkin menjadi lebih pandai mengalokasikan waktu untuk merefleksikan spektrum perasaan positif dan konstruktif dari pengalaman yang sudah-sudah. Tentu yang menyedihkan, mengesalkan, menyengsarakan, dan bermuatan spektrum negatif itu masih ada. Tapi intensitasnya tidak sedominan yang positif. Dan aku merasa bersyukur atas hal ini, termasuk atas kehilangan karena kematian, perpisahan, patah hati, kekecewaan, kesedihan, dan kedukaan. Oliver Sacks, seorang Neurologis dan Naturalis, pernah menulis dalam buku hariannya, Gratitude, "I cannot pretend I am without fear. But my predominant feeling is one of gratitude." Mungkin rasanya bersyukur adalah seperti itu. Kita masih bisa merasakan dan mengalami spektrum yang kita labeli negatif, seperti khawatir dan ketakutan, namun kita menyadari bahwa perasaan tersebut tidak membuat kita kewalahan. Dan dari banyak hal yang mengombang-ambing kita dalam hidup, aku percaya bahwa tidak ada yang sia-sia. Mungkin kita belajar berjalan memikul peran pengalaman buruk dan perasaan negatif yang dalam hidup masing-masing terpetakan melalui siklus-siklus kecil keseharian.
Jika mengulang adalah
sebuah kenyataan yang tak terhindarkan, maka barangkali hidup menjelma pelajaran tentang
menerima siklus yang begitu-begitu saja dengan pemahaman yang berbeda-beda. Nama
hari yang berulang sama. Kegiatan yang itu-itu saja. Perasaan familier yang tak
jauh berbeda. Lapar, haus, kenyang, mengantuk – mengalami dan merasa yang sama.
Namun, seiring waktu berlalu, kita berproses menjadi berbeda dan semoga mengasah untuk menjadi lebih baik. Aku detik ini bisa jadi berbeda dengan detik berikutnya. Begitu
juga dirimu. Kita semua vasal terhadap waktu. Seberapa bedanya pemaknaan kita terhadap
waktu yang mengerosi jiwa dan raga kita, di hadapan Sang Pencipta, kita adalah
fana. Dalam waktu yang terus bergulir tanpa habis, kita hanyalah sementara.
Dalam kefanaan dan kesementaraan
hidup ini, mungkin ada satu dua detik aku bertanya untuk apa kita memaknai
pengalaman diri bila pada akhirnya kita menjadi tiada untuk kembali ke haribaan-Nya.
Mungkin dalam hidup yang lebih singkat dari sekejap mata ini, pemaknaan hidup
terletak pada upaya memaknai posisi diri dalam hidup. Dalam merawat luka diri
sendiri, dalam menumbuhkan harapan setelah terantuk berkali-kali pada
kekecewaan dan keputusasaan, dalam menertawakan penderitaan, dalam menghadapi
hantu-hantu masa lalu, dalam menghadapi ketidakpastian hidup, dalam merayakan
kekalahan hidup, dalam kelelahan yang bertubi-tubi, dan dalam pencarian yang tak bisa diwakili kata-kata. Ada kalanya
pencarian jawaban-jawaban atas pertanyaan yang meraung di kepala menuntut
diselesaikan. Tapi ada kalanya pula penerimaan jawaban yang tak kunjung hadir
itu datang dari sepi dan sunyi – yang ternyata jawabannya sudah lama hadir,
namun tak terasa. Mungkin kita belum belajar memahami bahasa sepi dan sunyi
tersebut. Mungkin, kita hanya bisa menerka-nerka. Pada akhirnya setiap siklus
yang dialami diri ini membawa kembali untuk mengenal Sang Pencipta lebih dekat.
Aku bukan orang yang religius. Pengetahuan agamaku lebih dangkal dari dangkal. Imanku
lebih tipis dari selembar kertas. Tapi aku yakin, semua jalan hidup ini sudah
diatur melalui ketetapan-Nya, sesuai dengan kalamullah,
“(Yaitu Zat) yang milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, (Dia) tidak mempunyai anak, dan tidak ada satu sekutu pun dalam kekuasaan(-Nya). Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” - Q.S. Al-Furqan: 2
Jika Tuhan mengizinkan, aku ingin belajar menjalani hidup ini sebaik-baik ketentuan-Nya.
Comments
Post a Comment