Sumber: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) (imdb.com)
Di tengah kesibukan duniawi yang belum ada habisnya, kemarin malam aku menyempatkan untuk pergi ke bioskop (yang merupakan kesibukan duniawi juga, tapi aku sukai). Saat mengecek akun pemesanan tiket bioskop, film yang terakhir aku tonton di bioskop adalah A Haunting in Venice, 23 September 2023 pukul 18.45 WIB. Dulu sekali, aku masih bisa pergi ke bioskop sendirian seminggu tiga kali. Bahkan dulu aku sempat mendedikasikan Selasa Malam untuk Movie Night bersama teman atau sendirian.
Nah, sudah dua bulan lebih aku tertinggal film-film terkini. Sampai akhirnya aku punya sedikit alokasi waktu untuk diriku sendiri yang bisa aku gunakan untuk menonton film. Saat aku cek film yang cocok dengan waktuku, aku memesan Jatuh Cinta Seperti di Film-film pukul 20.45 WIB. Sebagian orang berkomentar film ini bagus. Ada pula yang berkomentar filmnya membosankan. Tapi aku tidak punya ekspektasi apa pun. Aku hanya ingin menonton di bioskop saja. Setelah menonton film yang berdurasi dua jam kurang sedikit itu, aku mampir jajan lumpia basah jelang tengah malam di sekitar Pasirkaliki. Sambil menyesap after taste Jatuh Cinta Seperti di Film-film, aku mulai menumpahkan pikiranku.
Jadi begini.
Film ini bercerita tentang Bagus (Ringgo Agus Rahman), seorang pria empat
puluhan yang berprofesi sebagai penulis naskah yang kemudian mencoba menjadi
sutradara atas naskah film karyanya sendiri. Film ini didedikasikan kepada pujaan
hatinya sejak SMA, Hana (Nirina Zubir), yang baru saja ditinggal mati suaminya.
Film ini disajikan melalui penceritaan film lewat film atau mise en
abyme (dari Bahasa Perancis yang artinya penempatan dalam jurang tanpa
dasar).
Premis Jatuh Cinta Seperti di Film-film terdengar sederhana: seorang pria
berusaha mendapatkan cintanya melalui karyanya berupa film. Menurutku build-up
ceritanya lebih lambat dibandingkan film-film drama romantis lainnya. Karakter
masing-masing tokoh juga masih bisa cukup umum. Aku pikir film ini akan
membosankan, tapi di luar dugaanku, ternyata film ini cocok buatku dan aku
suka.
Ada dua hal yang menyentuhku. Pertama, tokoh yang dikondisikan berusia di
jelang 40an yang lebih relevan denganku (yang sudah tidak muda lagi). Mereka memiliki pengalaman hidup yang
digambarkan tidak lagi berapi-api seperti film-film romantis untuk remaja dan dewasa
muda, melainkan cinta yang cukup diutarakan lewat kata-kata dan komunikasi yang
tepat sasaran, tanpa adanya drama. Tokoh Hana juga diungkapkan sebagai seorang
perempuan yang punya cinta mendalam terhadap suaminya, Danang. Sungguh wajar jika ia
diceritakan tak mau (belum bisa) jatuh cinta lagi, apalagi dalam waktu dekat setelah
Danang meninggal. Untuk mengetahui kedalaman cinta Hana, aku sengaja menonton
video klip Sudut Memori yang dibawakan Yura Yunita dengan apik. Dalam video
tersebut ditunjukkan sudut pandang Hana yang menunjukkan betapa besar cinta
Hana kepada suaminya yang telah meninggal. Ditambah lagi liriknya yang melekat
dengan kesendirian: Mengulang sendiri, ke sudut memori. Ruang tempat kita
saling lempar puji. Kau dan aku punya dunia sendiri.
Sekilas Hana seperti tak mau atau belum bisa move-on yang dipersepsikan
Bagus sebagai sebuah trauma atas kehilangan suaminya. Awalnya Bagus mencoba
membuka paksa hati Hana yang sedang mengalami kehilangan. Sampai akhirnya Hana marah
dan mengatakan bahwa Bagus yang meminta Hana untuk membuka hatinya untuk Bagus adalah
bagian dari false belief-nya Bagus selama ini.
Di sisi lain, ada juga video klip Bercinta Lewat Kata yang dibawakan Donne
Maula yang merupakan suami asli Yura Yunita. Video Klip ini menunjukkan sudut
pandang Bagus yang berupaya menemukan inspirasi dalam menulis naskah terbarunya.
Di sini Bagus mencoba meredefinisi ulang jatuh cinta dengan menangkap cerita cinta
dari pasangan-pasangan yang ditemuinya. Liriknya juga menyentuh: apakah cinta masih sama jika kau tahu ujungnya. Interpretasiku, Bagus ingin menemukan
kembali rasa cinta dalam perjalanan hidup orang-orang tanpa mengenal umur, yaitu bahwa cinta bisa saja tetap manis.
Video klip musik Yura Yunita dan Donne Maula melengkapi film Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Aku jadi mengerti bahwa false-belief seseorang, digambarkan secara baik melalui Hana maupun Bagus, tertanam dalam melalui pengalaman dan pengkondisian masa lalunya. Hana yang kehilangan seseorang yang ia cintai, namun menetapkan untuk membawa cintanya seumur hidupnya. Ia bertemu dengan Bagus yang menemukan cinta melalui harapan-harapan lewat cerita orang-orang yang tak lagi muda. Yang satu pesimis menemukan kembali cinta seperti yang pernah ia miliki. Yang satu optimis menemukan kembali cinta seperti yang ia pernah bayangkan. Film ini menjadi super unik dan menarik jika digabungkan melalui pecahan-pecahan interpretasinya.
Ada satu adegan yang membuatku tak heran jika Hana menolak argumen Bagus yang menyebutkan Hana mengalami
trauma dengan tidak mau membuka hatinya untuk orang baru. Kedua false-belief Bagus dan Hana juga dipertentangkan.
Hana membantah Bagus, “Lu pikir dengan bikin film, lu bisa ngerasain apa
yang orang lain rasain? Lu gak usah ngomong jatuh cinta, lu gak usah bikin film
tentang jatuh cinta. Lu itu gak ngerti apa-apa.”
Bagus menjawab, “Ya bukan Na, karena kan harusnya cinta gak nyiksa diri lu
kaya gitu.”
Hana menjawab dengan pertanyaan, “Jadi menurut lu semua yang gua rasain ini
bukan cinta?”
Simulakra Cinta
Sepertinya formula film yang laris adalah film yang berkenaan dengan cinta plus
kombinasi akhir bahagia dengan nada yang mendayu-dayu atau tragis setragis-tragisnya. Mungkin karena kita terobsesi pada satu cerita
terbatas yang kedua karakter utamanya jatuh cinta dan bahagia selamanya, tanpa harus
mengetahui bahwa menemukan cinta itu sepaket dengan kehilangannya. Atau kita juga terobsesi pada cerita cinta tragis yang lebih tragis dari cerita kita sehingga kita bisa merasa lebih baik. Hal ini membawa kita pada Simulakra dan Simulasi.
Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation (1981), sesepuh Simulakra, menyebutkan bahwa budaya populer telah menggiring
kita untuk lebih mengapresiasi simulasi daripada realita. Menurutnya, simulasi
adalah produk modernisasi yang mengutamakan hyperreality yang
menggantikan kenyataan sebenarnya yang merupakan salinan dari kenyataan yang kini
tidak bisa ditelusuri asli atau dasarnya. Simulasi membuat kenyataan dan hal
yang disimulasi menjadi tak bisa dibedakan. Sementara simulakra adalah salinan
representasi dari kenyataan yang diterima oleh masyarakat yang
menggantikan kenyataan sebenarnya. Jadi hyperreality atau realita yang
diperbuas malah menggantikan realita sebenarnya.
Sederhananya, jika kita menonton sinetron tentang seorang CEO yang menyamar
jadi penjual sayur keliling dan menemukan cintanya yang tulus dari asisten rumah
tangga yang belanja kepadanya, ia akan menerima bahwa akhir cerita cinta yang
bahagia adalah yang serupa sinetron tersebut. Lama kelamaan realita cinta yang
sebenarnya hadir di masyarakat akan tergantikan oleh idealisasi dan hegemoni
budaya yang direpresentasikan dalam simbolisme dan pertanda dalam budaya dan
media tersebut. Baudrillard mengkritik budaya yang direpresentasikan dalam media
untuk memeriksa hubungan yang tak terpisahkan antara simbol, realita, dan apa
yang diterima dan membentuk masyarakat.
Oleh karena itu, film Jatuh Cinta Seperti di Film-film menurutku membawa angin
segar (bagi orang yang tidak lagi muda sepertiku). Sangat jelas dalam cerita
film ini, idealisme Bagus dalam membuat film harus dibenturkan dengan keuntungan
produksi film melalui eksploitasi emosi penonton. Inilah yang menarik bagiku.
Walaupun demikian, tidak bisa ditampik juga film ini mengusung simulasi sendiri
yang menangkap perhatian dan preferensi orang-orang sepertiku. Namun, film ini
berusaha keluar dari arus utama film cinta yang digemari orang kebanyakan.
Jatuh Cinta Seperti di Film-film berani untuk lebih mempercayai apa yang kita rasa dan alami tanpa terjerembab pada tren jamak dalam hubungan romantis. Film ini mengingatkanku pada serial After Life (2019) yang menceritakan orang yang berupaya berdamai dengan kehilangan pasangan tanpa harus jatuh cinta lagi pada orang lain. Akhir cerita serial tersebut memperlihatkan tokoh utama yang lebih memilih menyendiri dengan membawa kenangan kekasinya. Stephen Batchelor dalam bukunya The Art of Solitude (2020) menyebutkan kesendirian bagi sebagian orang merupakan pelarian dari tanggung jawab dan untuk menghindari hubungan dengan orang lain. Tapi bagi sebagian lainnya, kesendirian menghadirkan waktu dan ruang untuk mengembangkan ketenangan batin dan kendali diri yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan dunia luar.
Hal kedua yang aku sukai dari Jatuh Cinta Seperti di Film-film adalah ujung cerita yang memenuhi janji yang diusung tokoh-tokoh utamanya, yaitu jatuh cinta lewat kata-kata saja tanpa drama. Di akhir aku tahu bahwa ternyata film hitam-putih yang dipertontonkan adalah skenario jika film diusung diam-diam tanpa diberitahu kepada Hana. Akhirnya, Hana tahu dan ia tidak marah sama sekali. Artinya, ada pesan yang ingin disematkan dalam film ini bahwa konflik cinta yang ada di kepala bisa diselesaikan lewat kata-kata. Plus, akhir cerita ini membawaku kembali ke latar awal cerita ini: supermarket. Akhir cerita ini tidak mendefinisikan akhir manis atau pahit; bahagia atau sedih. Semuanya diserahkan kepada interpretasi penonton (termasuk aku).
Pada Akhirnya
Aku percaya cinta memiliki banyak bentuknya dan rasanya. Dengan banyaknya
konstruksi sosial tentang romantika dan juga tuntutan sekitar untuk memiliki
pasangan membuat orang-orang yang merasa cukup sendirian dianggap berbeda dan
menderita. Padahal, belum tentu juga berdua bisa selalu berbahagia. Apalagi
orang-orang yang menginjak usia di atas tiga puluh yang mendapatkan tekanan
besar dari sekitar mereka (terlebih lagi perempuan) . Saat berusia dua puluh sekian,
aku pernah juga memiliki keinginan kuat untuk menikah. Satu dan lain hal
terjadi dan keinginan itu pudar lamat-lamat. Kini aku belum memiliki lagi
keinginan kuat tersebut (atau mungkin tidak sama sekali). Yang jelas aku tidak
menuntut juga. Aku lebih percaya menghabiskan waktu sendiri dibandingkan harus menghabiskan
waktu berdua bersama orang yang membuatku masih merasa sendiri. Inilah hal
kedua yang membuatku menyukai Jatuh Cinta seperti di Film-film. Film ini hangat
dan membuatku merasa tidak sendiri. Cinta tak perlu menggebu-gebu. Cinta tak
perlu mengokupasi semua ruang hati. Ia bisa tumbuh lewat saling pengertian.
Menutup tulisan ini, aku ingin mengutip Hana dan Bagus.
Hana berkata, “Kayaknya gue sendiri gini aja gak apa-apa sih.”
Sementara Bagus berkata, “Denny-nya dibawa aja. Gue minta bagian kecilnya,
itu pun kalau masih ada.”
Salam.
N.B: Oh ya, tulisan ini juga pastinya bagian dari simulakra dan simulasi. Tak perlu dipercaya (sepenuhnya).
Comments
Post a Comment