Solo trail run - Ciremai, Agustus 2023 |
Halo! Sudah lama tidak bersua di sini. Alasannya sudah
jelas: (lagi-lagi) kehabisan alokasi energi dan waktu. Beberapa bulan ke
belakang memang agak sulit menumpahkan kata-kata di blog ini. Seringnya hanya bisa
mencuil perasaan dan pikiran, lalu membubuhkannya di media sosial yang lebih
ringkas: Instagram atau Twitter (sekarang X). Itu pun aku juga agak kepayahan. Ya,
begitulah menuju berusia. Alokasi energi dan waktu memang harus pandai
disalurkan.
Mumpung sekarang akhir pekan dan mengawali September Ceria (semoga, ya), aku ingin merampungkan satu tulisan pribadi
yang menurutku cukup penting: tentang merasa. Dari dulu aku penasaran dengan belajar
bagaimana manusia menyelaraskan pikiran, perasaan, dan perkataan. Ada yang ketiganya
sinkron satu sama lain, ada yang tidak. Banyak teori tentang ini dan menariknya
teori tentang perilaku manusia dan psikologi mencintai tidak selalu menjawab
bagaimana seseorang dikondisikan dalam mencintai dan dicintai. Ada banyak
faktor yang memengaruhi hal ini: bagaimana seseorang dibesarkan, kondisi budaya
dan lingkungan ia tinggal, sampai pengalaman innate atau acquired
yang ia miliki. Bacaan bagus tentang cinta bisa dibaca dari Erich Fromm dalam bukunya
The Art of Loving atau Sigmund Freud dalam bukunya Psychology of Love.
Singkatnya, Fromm melihat cinta bukan sebagai emosi, melainkan kapasitas kreatif
interpersonal seseorang. Cinta diasosiasikan dengan kepedulian, perhatian,
tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap satu sama lain walaupun berbeda dalam segala lini kehidupan.
Sementara Freud melihat cinta sebagai
akar dari seksualitas. Ia menyetarakan cinta dengan libido; energi kehidupan. Dalam
pandanganku pribadi, cinta dalam mata Fromm terasa seperti air sungai yang
menenangkan. Ia mengalir dan mengalur mengikuti lekuk jalannya. Sementara dalam mata Freud, cinta seperti api yang membara. Ia membakar apa saja yang berani melintang di hadapannya. Fromm memandang cinta
dalam kerangka humanistis, sementara Freud dalam kerangka psikoanalitis.
Dalam perjalanan percintaan seperti yang Pat Kay sebutkan – bahwa cinta
deritanya tiada akhir (mungkin Pat Kay terobsesi dengan cinta dan kehilangan
dirinya sehingga cinta setara dengan derita), tiap orang pernah jatuh cinta dan
patah hati. Keduanya adalah sepaket yang tak bisa dipisahkan. Begitu pula
denganku. Kadang aku merasa bisa jatuh cinta dengan api yang bisa menghanguskan diri sendiri dan sekitarku. Kadang pula aku merasa bisa jatuh cinta mengalun seperti air yang bersabar bermuara ke lautan. Setelah beranjak berusia, aku lebih bisa beresonansi dengan apa yang Fromm sebutkan tentang
cinta karena menurutnya cinta berawal dari penerimaan dalam kesendirian dan kesepian yang perlu diterima.
Jika aku ingat-ingat, ada masanya aku jatuh cinta seperti lompat dari pesawat dalam skydiving; namun tanpa parasut. Ada kalanya aku jatuh cinta seperti berjalan di atas es; dengan kerapuhan yang menopang kakiku. Ada masanya aku patah hati seperti terombang-ambing di tengah lautan; tanpa kepastian kapan akan berlabuh kembali. Ada masanya aku patah hati layaknya menjelma batu yang keras; melindungi dari apa yang aku tak ketahui. Sungguh, cinta itu lebih baik dijalani daripada dibahas secara teoritis. Apa yang disebutkan dalam buku dan siniar self-help itu tidak bisa dijadikan panutan. Termasuk tulisan ini. Jadi memang tulisan ini bukan untuk diadaptasi atau diikuti. Karena pada dasarnya proses pulih seseorang berbeda-beda bergantung dengan resiliensi. Toleransi sakit orang berbeda-beda. Yang bisa aku pahami selama 34 tahun merangkak dan berjalan di bumi ini, cinta tak bisa diidealisasi dan diromantisasi lewat budaya populer saja (meski demikian, aku selalu terpana pada kisah Jesse dan Celine dalam trilogi Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight yang akhirnya bersama setelah melalui banyak waktu eksistensial krisis sendiri dan bersama pasangan yang bukan bagian jiwanya).
Berbicara tentang patah hati, aku baru menyadari akhir-akhir ini bahwa dalam satu dekade terakhir koping mekanismeku menghadapi adalah menjadi sok nihilis dan kebas rasa seperti yang pernah aku sebutkan dalam hampir semua tulisanku sebelumnya (silakan tertawa). Aku tidak bisa merasa dan melihat perasaan sebagai sesuatu yang sia-sia dan dangkal.
Oleh karena itu saat aku bisa kembali
merasa, itu adalah hal yang sangat luar biasa. Bukan kembali merasa karena
seseorang, tapi karena diriku sendiri pelan-pelan luluh atas kehidupan ini. Aku pelan-pelan jatuh cinta pada kehidupan ini, termasuk diriku, dirimu, dan segala yang melingkupinya. Aku
bisa merasakan kembali karena Tuhan bermurah hati membuatku merasa kembali.
Dalam proses merasa itu aku belajar banyak. Salah satunya menerima kesepian dan
kesendirian. Terlepas dari kedua hal tersebut interchangable atau tidak,
aku pikir keduanya saling berkaitan erat, walaupun aku percaya kuat bahwa kesendirian
tidak berarti kesepian dan sebaliknya, kesepian tidak berarti kesendirian.
Kesendirian adalah satu kondisi yang menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi
kebanyakan orang yang sering diasosiasikan dengan kesepian. Kesepian ini bisa
jadi berhubungan dengan beragam faktor yang menemani kita tumbuh: bagaimana
kita dibesarkan, bagaimana kita berinteraksi, dan bagaimana kita mengonstruksi
persepsi sekeliling kita. Termasuk juga bagaimana mekanisme koping kita
terhadap distres atau trauma yang pernah kita alami.
Salah satu koping yang paling mudah dalam hidup adalah mencari distraksi
dan menjadi seorang eskapis dengan meninggalkan persoalan penyebab distres atau
trauma. Ini menjadi salah satu solusi jangka pendek, namun dalam jangka
panjang, ia meninggalkan kerak yang sulit dipupus sampai akhirnya kita tidak
lagi bisa membedakan bagaimana cara menyelesaikan masalah atau lari dari masalah. Pergi ke alam dan menjadi
seorang avonturir bisa dilihat dari dua sisi. Layaknya seorang pelancong yang
berpindah-pindah mencari kesenangan dan pemaknaan hidup, alam juga memberikan
apa yang kita cari. Jika kita mencari distraksi dan eskapisme semata, alam pun akan
memberikannya.
Dalam perjalananku belajar menerima apa yang terjadi di masa lalu
(keresahan hidup, koper psikologis, trauma, absurditas, dan ketidakpastian),
alam tidak hanya menjadi satu tempat aktual agar aku bisa berefleksi. Ia juga
menjadi tempat aku bisa menerima dan merasa. Semakin aku ingin kabur dari hidup, alam
memberikan cermin agar aku bisa berkaca pada masa lalu dan mendengar
suara-suara yang belum aku sampai ke telingaku. Saat aku bisa merasakan diriku sendiri, aku juga bisa merasakan orang lain. Logika sederhana sebetulnya, bagaimana mungkin kita bisa merasakan apa yang orang lain rasa bila kita abai terhadap apa yang kita rasa?
Alam menemaniku menyelami diri sendiri dalam menerima proses katarsis yang
rekonstruktif. Bersama gunung aku belajar tabah menapaki satu langkah demi
langkah untuk kembali merasa. Bersama laut aku belajar berdamai dengan kedangkalan dan kedalaman hidupku.
Bersama hutan aku belajar mendengar mengapresiasi suara-suara batin dan orang di sekitarku. Bersama
langit aku belajar menjadi ada walau tak terasa. Bersama kesendirian, aku
belajar resiliensi. Walaupun tulisan ini tidak layak dijadikan acuan, yang bisa aku bagi: jika kamu sedang jatuh hati, jangan disia-siakan. Rasakan sepenuh hati. Jika memang sedang patah
hati, rasakan juga sepenuh hati. Keduanya adalah proses mengalami seperti malam
berganti fajar berganti siang berganti senja berganti malam. Kalau kata Efek Rumah Kaca, Jatuh Cinta Itu Biasa Saja.
Pelajaran pribadi yang bisa aku terima dan aku pegang sampai saat ini adalah pada akhirnya aku menapaki pelan-pelan apa yang ada di balik jatuh hati dan patah hati sebagai bagian dari Amor Fati. Aku tidak keberatan disebut terlalu senang sendiri dan nyaman dengan rasa sepi. Aku juga tidak keberatan dilabeli mencari distraksi eskapis dengan menyendiri. Tidak pula keberatan dijauhi hanya karena aku suka menyendiri. Kesendirian sudah menjadi ruang imanen dan transenden yang bisa aku akses kapan saja.
Menjadi soliter bukan berarti menolak kehadiran orang-orang. Aku masih senang berkumpul bersama sahabat dan teman-temanku. Dalam konteks hubungan romantis, jika ada seseorang yang pada akhirnya membersamaiku, itu artinya ia membersamai kesendirian yang ada dalam diriku. Begitu pula sebaliknya, aku bersamai apa yang menyertainya. Bukan karena aku butuh ia untuk hidup (ini adalah doktrin budaya pop dan romantisme Hollywood karena sejatinya kita butuh oksigen, makan, minum, dan hal dasar lainnya untuk hidup), melainkan karena suratan takdir Sang Pencipta yang membenturkan jalanku dengan jalannya.
Aku berterima kasih pada jatuh hati dan patah hati yang menyertai hidupku.
Dan, tidak, aku tidak keberatan menjadi soliter.
👏
ReplyDelete