Salah satu mahasiswaku yang mengambil topik Skripsi Komunikasi Lingkungan dan lulus dengan Cum Laude |
Tahun 2023 menginjakkan kakiku pada tahun ke empat menjadi dosen. Setelah tiga tahun bekerja menjadi dosen ada banyak pengalaman yang aku dapatkan baik dalam peningkatan kapabilitas maupun ekspansi tanggung jawab. Baik suka maupun duka. Beruntungnya, aku merasakan lebih banyak suka daripada duka. Tahun lalu aku juga menulis refleksiku bekerja menjadi dosen. Catatannya bisa dibaca melalui tautan ini Refleksi Dua Tahun Menjadi Dosen.
Menjelang akhir 2022 aku dipercaya menjadi salah
satu pengurus program studi. Artinya, tanggung jawabku tidak hanya berputar
sekitar Tri Dharma Perguruan Tinggi, melainkan juga administrasi, audit,
akreditasi, kurikulum, akademik, mahasiswa, dan hal lainnya berkaitan dengan
program studi. Padahal sebagai orang yang luar biasa malas dan demotivasional,
aku tidak terlalu hebat dalam mengelola waktu, administrasi, dan keuletan. Oleh
karena itu sebelum mengemban tanggung jawab ini, aku mempersiapkan diri untuk
magang selama kurang lebih dua bulan untuk menaksir deskripsi tugas yang akan
aku jalani selama entah kapan. Menjadi bagian dari administrasi memiliki
tantangan secara akademik dan personal. Beberapa di antaranya adalah urusan
menjaga semangat mengerjakan pendidikan, penelitian, dan
pendidikan dengan tetap mengatur waktu di ketiganya. Beruntungnya lagi, aku
dibantu oleh kolega dan atasanku yang memberikan banyak arahan dan masukkan.
Dalam enam bulan terakhir ini aku berkesempatan
untuk melakukan studi banding ke beberapa universitas seperti UGM, UII
Yogyakarta, UPN Veteran Jawa Timur, dan beberapa institusi lainnya. Dalam tiap
kesempatan aku melihat bahwa capaian lulusan kebanyakan kampus, baik negeri
maupun swasta, dikuantifikasi melalui jumlah lulusan yang diserap dalam
industri kerja. Hal ini adalah wajar, terlebih pendidikan tidak hanya bertujuan
memberdayakan dan memperluas cakrawala, tetapi meningkatkan kesejahteraan
kehidupan. Poin terakhir ini menjadi persoalan dilematis saat industri menuntut
banyak kemampuan dan kompetisi yang mengakibatkan lulusan menjadi mesin pencari
kerja.
Dalam bukunya Deschooling Society (1972), Ivan
Illich mengkritik pendidikan modern yang terlalu terinstitusionalisasi sehingga
hanya mengajarkan siswanya kepatuhan dan konsumerisme yang disebarkan melalui
hirarki tak bermakna bagi esensi pendidikan itu sendiri. Pendapat Illich sangat
relevan dengan kondisi sekarang saat dosen dituntut untuk bisa memenuhi
pendidikan berdasarkan tuntutan industri dan dunia kerja terlebih di negara
berkembang. Akhirnya, lulusan pun pelan-pelan terjebak dalam jejaring
konsumerisme dan penumpulan daya kritis. Hal ini bisa diartikan, lulusan hanya
bisa menjadi mesin antropomorfik pengganti mesin sesungguhkan.
Jika institusi pendidikan itu sendiri bagian dari industri, apakah aku sebagai dosen yang digadang semangat Tri Dharma perguruan tinggi itu juga tidak terkecuali termasuk ke dalam mesin antropomorfik tersebut? Jawaban ini menjadi persoalan sulit karena ada relasi kuasa pemilik modal dan pencari kerja. Pemilik modal menginginkan kompetensi formal dalam bentuk ijazah, sertifikasi, nilai, dan sebagainya. Sementara untuk merekonstruksi kerangka pendidikan formal, diperlukan upaya revolusioner untuk membangun daya kritis secara egaliter untuk mahasiswa. Ini yang disebut sebagai Illich sebagai deschooling, yaitu pendidikan yang diperoleh tidak lewat institusi pendidikan modern yang sering disebut sekolah, melainkan melalui learning webs atau jejaring pembelajaran apa adanya.
Jejaring pembelajaran yang disebut Illich merupakan pertukaran pengetahuan secara informal dan sukarela untuk memberdayakan satu sama lain yang prosesnya berkelanjutan. Melalui jejaring pembelajaran, seseorang bisa memanfaatkan dan mentransformasikan tiap momen hidupnya sebagai bagian dari learning, sharing, dan caring. Hal ini bisa menghentikan siklus konsumerisme dan kepatuhan terhadap sistem yang berupaya mencetak manusia sebagai lulusan yang sama.
Sebelum aku lanjut tentang pengalamanku, aku juga
ingin mengutip Maria Montessori yang terkenal dengan pendidikan alternatifnya,
Montessori. Dalam banyak bukunya yang menekankan pembelajaran pada tumbuh
kembang anak, aku tertarik pada dua: The Method of Scientific Pedagogy Applied
to Infant Education in Children’s Homes (1909) dan To Educate the Human
Potential (1947). Dalam buku pertama, Montessori membahas banyak tentang
pedagogi dalam membangkitkan semangat anak untuk belajar melalui kondisi
lingkungan yang terbuka, bebas, dan sesuai dengan masing-masing karakter anak.
Dalam hal ini, metode pengajaran dan pedagogi tidak digeneralisasi melalui
sebuah metode umum, melainkan hanya arahan yang bisa diadaptasi sesuai dengan
kebutuhan. Dalam buku ke dua, To Educate the Human Potential, Montessori
menyoroti kesuksesan pendidikan melalui penggunaan yang tepat dari imajinasi
untuk membangun life-long interest melalui materi dan
literatur yang menarik. Hal ini demi membangkitkan inspirasi kehidupan dalam
diri anak-anak sehingga secara sadar maupun tidak bisa memenuhi tujuan hidupnya
masing-masing.
Jalan empat tahun aku bekerja sebagai dosen, aku banyak menemukan bahwa mahasiswa hanya melihat pendidikan sebagai sebuah keharusan untuk memasuki dunia kerja dan berkompetisi, bukan untuk proses pengembangan diri secara dialogis dan emansipatoris. Imbasnya, baik semangat, minat, dan bakat tidak bisa selalu dikuantifikasi secara general dalam Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) melalui angka-angka kelulusan. Menurutku ini menjadi persoalan besar dan sistemik yang jika dibiarkan terus menerus akan menggerus roh pendidikan itu sendiri. Jika tahun lalu aku menulis refleksi pedagogik Paulo Freire dan Andrew Goss, kali ini tulisan Illich dan Montesorri begitu dekat dengan kegelisahanku. Persoalannya, dengan komersialisasi pendidikan, keinginan untuk membuat pendidikan menjadi paid-off di negara berkembang adalah alasan jujur dan masuk akal. Hal ini juga aku rasakan sendiri. Aku berasal dari keluarga menengah ke bawah dan menyelesaikan pendidikan dengan beasiswa. Lumrah rasanya jika aku ingin meningkatkan taraf hidup keluargaku dengan bekerja walau harus mengesampingkan semangat, renjana, atau minat dan bakat dalam bekerja. Walau pada akhirnya aku tetap percaya bahwa bekerja halal selalu akan membawa manfaat setidaknya bagi diri sendiri dan keluarga.
Di sisi lain, meski aku sekarang duduk dalam
kepengurusan program studi, aku tidak bisa selalu leluasa merombak kerangka
pedagogik institusi yang sudah melekat dan diterapkan merata pada semua unit. Yang
bisa aku lakukan adalah membuat perubahan-perubahan kecil yang menurutku bisa
berpengaruh secara esensial pada kehidupan sehari-hari mahasiswa.
Salah satu contohnya, aku mengembangkan mata kuliah
Komunikasi Lingkungan yang sesuai dengan minat dan kompetensiku. Hal ini aku
refleksikan juga dalam penelitian dan pengabdianku. Sejujurnya Komunikasi Lingkungan merupakan topik yang masih jarang disukai dan dielaborasi dalam ranah keilmuan Komunikasi.
Padahal menurutku Komunikasi Lingkungan yang tidak hanya berbicara melulu persoalan pemanasan global,
perubahan iklim, kebijakan, kampanye, serta isu dan topik dari segala lini ini, tapi juga masyarakat adat, kehidupan urban, dan gaya hidup ekosentris masih sangat sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
Karena itu, upayaku memulai dari hal-hal kecil dan
sederhana: mengajak mahasiswa yang tertarik pada untuk meneliti isu lingkungan dalam kacamata Komunikasi dan pelan-pelan menyebarkan
nilai ekologis yang bisa diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari dan sekelilingnya. Salah satu
yang membuatku terus bersemangat bekerja menjadi dosen, saat ada mahasiswaku
secara sadar memilih isu lingkungan sebagai penelitian akhir atau skripsinya
dan ia bisa menyajikan hasilnya dengan komprehensif dan mendalam. Hal ini
menjadi semangat yang menyala-nyala dalam diriku bahwa memang pendidikan
seharusnya memberdayakan, tidak saja untuk mahasiswa, tetapi untukku sebagai
dosen. Atau menggunakan istilah Montessori, menumbuhkan life-long interest dan Great Inspiration yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
Maka dari itu saat kerjaan administrasi sedang
menumpuk, aku selalu teringat momen-momen tersebut. Aku berupaya untuk
mempertahankan semangat dalam diriku agar tidak padam melalui isu lingkungan
yang interdisipliner dan multidisipliner. Bagiku, bekerja selalu berbayang
dengan lelahnya sendiri (namanya juga bekerja). Tapi aku selalu meluangkan
waktu untuk bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuat bekerja tersebut
setara dengan lelahnya? Apa yang membuat bekerja setara dengan manfaatnya?
Sejauh ini, aku bersyukur masih bisa bekerja
menjadi dosen karena ternyata masih banyak yang perlu aku pelajari dan nikmati: tentang
pedagogi, empati, metode pembelajaran, dan banyak hal lainnya. Aku percaya,
hidup ini sendiri adalah sekolah besar yang selalu menyuguhkanku dengan ragam
silabusnya. Dan semoga aku bisa melihat institusi pendidikan modern lebih besar
dari hanya sebagai arena komersialisasi, konsumerisme, dan kepatuhan semata.
Semoga.
Comments
Post a Comment