Mengisi kelas wicara publik di Universitas Padjadjaran, sekitar 2014 (p.s. I have no recent photographs of me in the class for these past two years) |
Tahun ini adalah tahun ketiga aku bekerja sebagai dosen. Berawal dari
melamar bekerja sebagai dosen paruh waktu dan berakhir menjadi dosen tetap di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung.
Sebetulnya aku agak sungkan menggunakan kata dosen karena secara definitif terminologi
dosen ini di mataku memiliki konstruksi sosial yang hirarkis. Beberapa ahli bahasa beranggapan bahwa kata "dosen" diserap dari bahasa Belanda, docent, yang artinya adalah staf
pengajar, sama seperti guru di setiap tingkatan pendidikan. Itulah mengapa "dosen" dan "guru" secara bersamaan digabung ke dalam Undang-undang No.4/2005. Namun untuk
mengefektifkan penggunaan kata, marilah kita sepakati dalam tulisan ini untuk
menggunakan kata "dosen" sebagai profesi, bukan posisi hirarkis di kelas.
Dibandingkan teman sejawat yang sudah lama menekuni menjadi dosen, dua
tahun hanyalah tunas yang baru beranjak tumbuh. Semua pengalaman dan pandangan
ini sebagian besar dari perspektif pribadi yang ada banyak cacatnya dan perlu
banyak belajar; pun tidak merepresentasikan tempat aku bekerja. Beberapa
pandangan juga aku tambahkan dari pengalaman teman-teman dekat dan kolega yang
mengajar di kampus lain melalui obrolan-obrolan ringan.
Sebelumnya, aku tidak memiliki pengalaman menjadi dosen tetap, hanya
serabutan saja. Keluargaku juga bukan keluarga yang akademis. Namun begitu,
keluargaku menganggap pendidikan sebagai salah satu hal terpenting dalam hidup.
Aku sempat mengajar mata kuliah bahasa Inggris di salah satu sekolah tinggi
kesehatan di Bandung, pernah juga mengisi mata kuliah Kimia Lingkungan di salah
satu universitas negeri di Bandung. Tapi tak pernah terbayangkan hingga
akhirnya berlabuh menjadi dosen tetap (ber-NIDN dan berjafung) di program studi
yang latar belakangnya berbeda dengan pendidikanku. Ini adalah hal yang perlu
aku syukuri.
Mengajar sebetulnya sudah aku lakukan sejak mahasiswa dulu. Tahun 2008 –
2010 aku pernah menjadi sukarelawan mengajar di salah satu LSM di Bandung dan pernah
pula bergabung di lembaga les profit yang menyediakan asistensi pembelajaran.
Berhadapan dengan murid memang bukan persoalan baru, namun bukan juga sesuatu
hal yang membuatku nyaman. Aku menganggap diriku sebagai seorang introver yang
sering kehabisan energi saat berhadapan dengan orang banyak. Namun seiring waktu
aku belajar mengelola energi untuk bisa dialokasikan dengan baik di hadapan
orang banyak.
Jika ditanya apa renjanaku? Mungkin mengajar bukan jawaban yang pertama. Bagiku
hidup berarti rangkaian pekerjaan untuk menghidupi; manger pour vivre alias
makan untuk hidup. Bukan sebaliknya, yaitu hidup untuk makan. Dalam benakku,
dosen itu sama saja dengan pekerjaan lain yang pernah aku jalani – jurnalis,
tukang kebab, asisten koki, housekeeper, barista, resepsionis, dan
lainnya. Yang artinya profesi sangat bergantung pada orang yang menjalani
profesi tersebut. Profesionalisme terletak pada individu, bukan pada profesi
tertentu.
Izinkan aku untuk bercerita pengalaman saat menjadi housekeeper saat
aku melancong di Australia. Saat itu pekerjaanku menuntutku membersihkan
satu apartemen hotel dengan 2 kamar tidur, 1 dapur, 1 ruang tamu, dan 2 kamar
mandi dalam 30 menit maksimal. Tidak peduli seberapa kotor atau bersih apartemen
tersebut, maksimal 30 menit. Saat ku jalani membersihkan sampai ke sudut
ruangan, mengepel hingga kinclong, mengelap kaca sampai spotless, dan merapikan kamar
yang berantakan, ternyata semuanya membutuhkan waktu 60 menit bahkan lebih. Ujungnya,
aku hanya dibayar 30 menit saja. Oleh karena itu aku harus bekerja secara
cermat dan cerdas, tanpa harus mengutamakan idealisme, tapi juga tidak memangkas
idealisme sepenuhnya. Karena itu fleksibilitas dan kompromi juga penting dalam
menjalankan pekerjaan. Asal tidak bertentangan dengan nurani. Pengalamanku bekerja di Australia bisa dibaca di sini.
Balik lagi ke topik utama, menjadi dosen pun sama saja dengan pekerjaan
lainnya. Aku masih belajar mengelola waktu dan tenaga agar setiap kewajibanku
tuntas tanpa harus mengorbankan waktu pribadiku. Yang aku yakini, apa yang aku
jalani saat ini adalah yang terbaik untuk saat ini. Saat aku menjadi jurnalis,
itulah yang terbaik saat itu. Saat menjadi tukang kebab, itulah yang terbaik
saat itu.
Dalam bekerja, aku percaya pada proses pembelajaran kehidupan sebagai kelas
besar. Menurutku, pembelajaran tidak hanya terjadi di kelas yang dikelilingi dinding
konkret, dan tidak hanya sekadar bertukar pengetahuan, namun juga disertai
dengan transfer emosi dan energi sehingga ada timbal balik yang tulus di antara
partisipannya. Persoalannya, dalam konteks sebagai dosen, bagiku mengarahkan
satu kelas yang terdiri dari beragam kepala tidak semudah membacakan buku dongeng
atau menjelaskan presentasi begitu saja. Perlu ada semangat yang bisa memantik
keingintahuan mahasiswa dan mengasah keterampilan mereka. Terlebih di era
pandemi Covid-19 ini yang mendorong dosen untuk bisa membuat mahasiswa tetap terlibat aktif
dalam pembelajaran di kelas daring melalui ruang virtual dengan mengedepankan
empati.
Aku tidak akan terlalu fokus pada suka duka dua tahun menjadi dosen karena
kita semua tahu tiap pekerjaan memiliki kedua sisi tersebut. Aku ingin berbagi
pengalaman apa saja yang aku dapatkan selama dua tahun ke belakang dan pikiran
apa saja yang tumbuh saat menjadi dosen dengan menjalani tridharma Perguruan
Tinggi. Jika ada manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini, silakan ambil. Jika
mudharat yang hanya terlihat, tolong jangan diambil, tapi silakan untuk mengingatkan
aku.
Menjalani Tri Dharma Perguruan Tinggi
Sejak kuliah sarjana, aku sedikit familiar dengan tridharma Perguruan Tinggi.
Beberapa kali terlibat dengan kegiatan pendidikan dan penelitian dosen
membuatku sedikit memahaminya. Sebagai awalan, menurut Undang-undang No. 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, dosen didefinisikan sebagai pendidik profesional
dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. PP No. 37/2009 mengatur lebih detail lagi ketiga
hal ini yang menjadi dasar tridharma perguruan tinggi, yaitu darma pendidikan,
penelitian, dan juga pengabdian kepada masyarakat. Di dalamnya juga tertuang beban
kerja dosen. Disebutkan bahwa dosen memiliki beban kerja untuk melaksanakan tridharma
perguruan tinggi dengan beban kerja paling sedikit sepadan dengan 12 Satuan Kredit
Semester (SKS) dan paling banyak 16 SKS pada setiap semester sesuai dengan
kualifikasi akademiknya.
Menurut peraturan tersebut, dosen harus menjalani tridharma yang meliputi
pendidikan (pengajaran), penelitian, dan pengabdian. Idealnya, ketiganya
berjalan berdampingan tiap semester sesuai dengan kompetensi dan minat dosen
yang bersangkutan. Aku, misalnya, memiliki ketertarikan dan kompetensi pada
komunikasi lingkungan sehingga mata kuliah utama yang aku ampu adalah
Komunikasi Lingkungan, penelitianku berkutat pada partisipasi komunitas dalam
gerakan lingkungan, dan pengabdianku kepada masyarakat berupa lokakarya
literasi lingkungan. Idealnya ketiganya berjalan linier tiap semester sebanyak
16 SKS maksimal. Tidak menutup kemungkinan dosen juga mengajar mata kuliah
lainnya yang bukan kompetensi utamanya. Meski
sudah diatur dalam peraturan, kenyataannya banyak dosen di beragam perguruan tinggi
yang melaksanakan lebih dari 16 SKS.
Tidak hanya itu, dosen juga mendapat tugas penunjang. Contohnya, terlibat
dalam akreditasi, kepanitiaan acara nasional atau internasional, mengembangkan
kurikulum, menjadi pembimbing pekan kegiatan mahasiswa, dan sebagainya. Dalam
dua tahun ini aku juga terlibat dalam beberapa kegiatan yang menurutku bisa
memfasilitasiku untuk beradaptasi dengan budaya kerja dan rekan sejawat, dan
meningkatkan kemampuan interpersonalku.
Untuk menunjang kompetensi pedagogis, dosen diharapkan untuk bisa
meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan berkala. Misalnya untuk dosen
pemula, ada Pelatihan Teknik Instruksional (PEKERTI) yang penting diambil untuk
mengembangkan profesionalisme dosen yang mencakup kegiatan pokok, yaitu
perencanaan, pelaksanaan proses, penilaian hasil pembelajaran, pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat serta tugas
tambahan di perguruan tinggi. Misalnya, untuk membuat Rencana Pembelajaran Semester
(RPS), kita harus memahami taksonomi Bloom, Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL),
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK), sampai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Yang lebih teknis, menurut ketentuan, ujian untuk mengevaluasi kemampuan
mahasiswa bisa menggunakan pilihan berganda dengan beberapa kondisi. Salah
satunya 1 soal harus mewakili 1 menit dalam SKS. Jadi jika aku mengajar mata
kuliah 3 SKS sebanyak 150 menit, berarti harus ada 150 soal yang diberikan
kepada mahasiswa sebagai bagian dari evaluasi jika menggunakan pilihan gandar,
terlepas dari tingkat kesulitan tiap soal tersebut.
Tidak hanya itu, dosen pun diharapkan untuk menyelesaikan hal administratif
seperti mengisi SISTER, SPADA, BKD, mengajukan Jabatan Fungsional, NIDN, dan
sebagainya. Ditambah lagi membimbing mahasiswa yang berada dalam naungannya
sebagai dosen wali. Menurutku ini poin penting dalam memberikan pengertian dan arahan kepada
mahasiswa.
Tantangan Terbesar Menjadi Dosen
Dua tahun menjadi dosen lagi-lagi hanya menggambarkan satu bagian kecil
yang tidak bisa menggeneralisasi satu bagian besar. Idealnya dosen menjadi
sebuah katalisator perubahan sosial, pemberdayaan, dan peningkatan kompetensi mahasiswanya.
Namun, ada dua tantangan besar untuk menuju hal tersebut.
Pertama, sulitnya menerapkan pendidikan transformatif. Hal ini berkaitan dengan
sisa-sisa kolonialisme dan poskolonialisme dalam sejarah pengetahuan yang melanda
Indonesia. Menurut Andrew Goss dalam bukunya The Floracrats State-Sponsored
Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia 2011 sistem
pendidikan dan penelitian di Indonesia sangat erat dengan sisa penjajahan Belanda
selama 350 tahun. Singkatnya, ia menirukan peneliti dan akademisi sebagai
perpanjangan pemerintahan kolonial dalam beragam aspek: geografi, ekonomi,
biologi, dsb. Ia memberikan contoh hasil observasinya terhadap ahli botani di
institusi riset di Indonesia. Menurutnya peneliti difungsikan sebagai floracrat,
yaitu pengurus kebun besar yang dimiliki pemerintah. Pemerintah bisa meminta
para floracrat ini untuk memenuhi kebutuhan negara seperti aklimatisasi kebun,
memberantas hama, atau membantu mencapai swasembada pangan. Hal ini bermanfaat
dalam skala kecil, namun begitu hal ini berarti bahwa negara memiliki kontrol
terhadap biologi sebagai satu cabang ilmu. Para elit pemerintah memiliki kuasa
untuk mengarahkan floracrat untuk melakukan pekerjaan dengan hasil yang kecil
dibandingkan perubahan yang transformatif. Inilah yang perlu diakui bahwa tidak
sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa banyak talenta Indonesia yang memilih
berkarir di luar negeri karena memang kesempatan untuk berkembang masih sulit
terbuka di Indonesia.
Para ilmuwan juga sulit bergerak dan memimpin riset yang bisa berhubungan
masyarakat secara holistik karena terbatas birokrasi dan hal administratif yang
mengakar secara sistemik. Hal ini menyebabkan transfer pengetahuan tidak
berjalan optimal karena para ilmuwan fokus membangun kerangka profesionalisme
dalam institusi pengetahuan daripada menjembatani pengetahuan dan masyarakat.
Belum lagi persoalan politik dan kekuasaan yang tidak jarang terjadi di
institusi riset dan pendidikan yang mungkin bisa kita bahas melalui segelas
kopi panas di lain waktu.
Kedua, pendidikan transaksional. Kita sering fokus kepada penyerapan
lulusan untuk bekerja sehingga kita menekankan pentingnya keterampilan dan
keahlian mahasiswa untuk menunjang industri. Dalam buku Pedagogy of The Oppresed
1970, Paulo Freire, seorang pendidik revolusioner asal Kuba, berpendapat bahwa
pendidikan dalam sistem kapitalisme itu dianggap meniru bank. Menurutku hal ini
masih relevan dengan kondisi pendidikan di dunia saat ini. Mahasiswa seringkali
dianggap sebagai peminjam modal, sementara institusi pendidikan (melalui dosen)
bertindak sebagai pemberi modal. Dalam hal ini hubungan mahasiswa-dosen menjadi
transaksional karena pendidikan dinilai bermanfaat melalui kacamata untung-rugi
melalui profit yang tampak jelas setelah lulus: bekerja. Tidak seluruhnya salah
karena perubahan sosial itu dimulai dari diri sendiri, termasuk peningkatan
kesejahteraan hidup. Namun ketika hubungan dosen-mahasiswa hanya berupa
transaksi belaka, tidak ada ruh yang tersemat dalam diri mahasiswa untuk
membangun perubahan seperti jargon yang terlalu sering digunakan dan mulai dilupakan,
yaitu mahasiswa sebagai agen perubahan. Pendidikan transaksional ini pun tidak
mencerminkan esensi dalam Ing Ngarso Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani yang bermakna: di depan memberi teladan, di tengah membimbing,
dan dibelakang mendorong.
Tidak jarang mahasiswa secara utama disiapkan sebagai angkatan kerja dengan kompetensi dan kemampuan industri tanpa memberikan ruang luas untuk berdaya pikir kritis, emansipatoris, dan empatis. Oleh karena itu memposisikan dosen sebagai hirarki tertinggi dalam kelas sebagai sosok yang all-knowing dan maha benar dalam kelas jelas sudah merupakan kekeliruan solipsistik. Karena mahasiswa merupakan being yang terpisah dari dosen itu sendiri yang tidak bisa dicetak seragam dan sama. Mahasiswa harus bisa berdaya dan kritis terhadap pilihan hidupnya yang berujung pada peningkatan kesejahteraan hidupnya. Hal ini mendorong dosen untuk menjadi akomodatif, kritis, dan juga terbuka terhadap pembelajaran dialogis di kelas sehingga menunjukkan perannya dengan menjadi teladan, pembimbing, dan pendorong.
Bergerak Maju
Menurutku profesi tidak selalu berhubungan dengan renjana. Apapun pekerjaannya jika dijalankan dengan bertanggung jawab akan berbuah manis. Dalam agama yang aku anut, salah satu amal yang pahalanya tidak terputus saat manusia meninggal adalah
ilmu yang bermanfaat. Betul bahwa ilmu yang bermanfaat ini bisa dilakukan dalam
konteks profesi apapun. Inilah yang memperkuat intensi dan fondasi dasar dalam melakukan setiap pekerjaanku. Sebagai dosen, kewajibanku sudah jelas sesuai dengan tridharma perguruan
tinggi. Lebih dari itu, sebagai seorang manusia, tugasku adalah membantu
mahasiswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi mereka. Ukuran
kuantitatif dan kualitatif sebagai penentu kecerdasan mereka hanya akan jadi
ruang hampa bila tidak dibekali dengan karakter integritas, kejujuran, dan
komitmen. Tidak kalah penting welas asih dan empati juga berusaha perlu disematkan
di kelas. Aku sempat berpikir, dengan perkembangan teknologi yang cepat dan
konvergensi media yang tidak terbendung, pembelajaran kini sudah ada di genggaman
ponsel. Kita bisa belajar dari YouTube, Google, E-Book, podcast, dan media
digital lainnya. Lantas apa yang membedakan aku sebagai fasilitator di kelas
dengan semuanya itu?
Dalam hal ini, aku banyak belajar dari mahasiswaku. Kami memiliki
perspektif dan pemahaman yang berbeda dalam mencerna dan menginternalisasi
pengalaman hidup. Kalimat seperti ‘enak anak-anak muda sekarang bisa .... ‘
tidak bisa dijadikan tameng untuk menyudutkan mereka karena tiap generasi
memiliki karakteristik tersendiri, semangat zaman tersendiri, dan juga
problematikanya tersendiri. Banyak tantangan dalam dunia pendidikan, dan jika
aku bisa menggunakan pesimisme Freire, aku juga bisa menggunakan optimisme
sendiri, bahwa dunia pendidikan saat ini bergerak ke arah yang lebih baik.
Semoga proses pembelajaran di kelas tidak hanya membawa mahasiswa sebagai agen
perubahan yang lebih baik, tetapi juga membawa dosen sebagai tuntunan yang
lebih baik juga.
Tabik.
Waw. Oh ya kak, yg penjajahan Belanda itu tak sampai 350 tahun kok kak. Walau persisnya saya juga masih ada bingung sih.
ReplyDelete