Kesendirian adalah hal alamiah. Ia bagian tak terpisahkan dari diri dan kehidupan. |
Seringnya pertanyaan konstan yang kita lontarkan ke diri sendiri berdasarkan persepsi dan pemikiran kita terhadap apa yang kita alami. Dialog dengan diri dalam pikiran terjadi sebagai respon terhadap beragam pertanyaan yang menjadi bagian dari kuriositas saja atau jelmaan
kegelisahan diri. Kadang pertanyaan tersebut menemukan jawaban, kadang tidak
berjawaban adalah jawabannya. Kali ini aku ingin mendedah pertanyaan yang menurutku
menarik:
Apakah kita mampu menerima kesendirian kita? Mengapa
kita takut akan kesendirian? Apakah kita memang benar-benar sendiri?
Agak ambisius sepertinya jika pengalaman dan pemikiranku yang dangkal ini
bisa menjawab pertanyaan tersebut. Setidaknya, untuk bisa memahami pertanyaan
tersebut saja sudah cukup. Aku ingin mundur mengingat satu pengalaman yang cukup berarti dalam
hidupku. Suatu hari di tahun 2015 aku berjalan sendirian di tengah hutan Meru
Betiri di Banyuwangi dalam rangka mengumpulkan data untuk tesisku. Di pundakku
bertengger tas gunung 60 liter, sementara kedua tanganku membawa catatan
observasi. Berjalan kaki 40 km dengan beban berat di punggung buatku adalah
perkara sulit. Namun yang lebih sulit dari memanggul beban konkret adalah
memanggul kesendirian. Saat itu aku baru menyadari bahwa alam memberikan ruang
yang begitu luas dan kesempatan bertubi-tubi agar aku bisa berdialog dengan
pikiranku dan memandang hidup dari (d)alam. Seringnya kesendirian ini
menumbuhkan kesepian. Bagi beberapa teman-temanku, perjalanan ke lapangan mengambil
data sebagian besar merupakan pengalaman akademik. Sementara bagiku, kegiatan
tersebut malah menjelma jadi pengalaman unik yang membekas dan intim.
Pengalaman mendalami kesendirian dan kesepian pada 2015 itu tidak sempat
diinternalisasi oleh kesadaranku. Hanya ditulis di jurnal pribadi sebagai
pengalaman yang aku syukuri bisa terlewati. Namun, begitulah hidup: sepertinya
jika pelajarannya belum menempel erat, ia akan terus berulang dalam bentuk yang
lain. Pada 2016 akhir aku melancong ke Australia dan tinggal di Sydney. Di
tengah kota yang hiruk pikuknya ramai 24 jam, di tengah kesibukan bertahan
hidup, muncul lagi sensasi kesendirian ini. Lagi-lagi aku mencoba berefleksi
dengan pergi ke alam tiap akhir pekan. Untuk mengenal siapa aku sebenarnya dan menerka apa yang sebetulnya semesta sedang ajarkan.
Dalam perjalanan tersebut aku kemudian pindah ke Darwin, ibu kota negara bagian di Australia dengan populasi paling sedikit. Dalam hidupku, aku belum pernah
merasa sesendirian seperti aku saat di Darwin. Lagi-lagi alam menjadi
katalisator terbaik untuk berefleksi. Saat aku merasa sendiri, aku tersadar
bahwa aku tidak pernah sendirian. Aku tidak mengetahui alasannya, tapi intuisiku menuntunku untuk berpikir dan merasa begitu. Pengalaman yang aku tidak sukai ini menjadi
sangat berharga. Dan aku sangat bersyukur akan hal tersebut.
Perasaan yang hadir dalam hidupku dan berkaitan dengan kesendirian, mungkin juga pernah kamu rasakan.
Kesepian, kesendirian, kesunyian, keheningan, dan kelengangan yang saat hadir dalam
diri langsung kita nilai buruk. Kita mungkin menjadi tergesa-gesa untuk mengisi
kesendirian itu seperti atap bocor yang perlu ditambal. Pada hakikatnya manusia
terlahir dan mati sendiri. Namun secara prosesnya, aku dan kamu terlahir dari
rahim ibu. Pun dalam hidup, kita akan terus berinteraksi dengan manusia
lainnya. Sesedikit apapun, kita pasti pernah bertemu dengan orang lain.
Aku teringat liputan Vice tentang Fasutino Barrientos, manusia yang telah
hidup sendiri dan terisolasi dari peadaban selama 40 tahun di tepian danau
O'Higgins di Pegunungan Patagonia di Chili. Dalam liputannya, Vice bahkan
menarasikan Barrientos tidak tersentuh modernisasi dan waktu seakan berhenti
di Patagonia. Sambil melihat pemandangan Patagonia yang menawan, video
Barrientos bisa dicek di https://youtu.be/JZFp8ldcTx4.
Di sisi lain, ada liputan National Geographic tentang Billy Barr yang
tinggal di kabin kecil di Gothic, Colorado, yang merupakan salah satu kota
terdingin di Amerika Serikat. Kota ini disebut kota hantu karena telah
ditinggalkan orang-orang sejak 1920, namun Barr memilih tinggal di sana lebih dari 40 tahun
untuk merekam data salju sebagai bagian dari penelitian tren perubahan iklim.
Videonya bisa dicek di https://youtu.be/L72G8TLtTCk.
Aku tidak berusaha membandingkan diri dengan orang-orang macam Barrientos
atau Barr, apalagi mereka yang menempuh jalan sunyi dan senyap melalui
kesendiriannya. Tapi harus aku akui cerita mereka sangat menarik perhatianku. Bagaimana individualisme dan komunalisme di negara yang secara sejarah dan budaya berbeda bisa mengkonstruksi pemahaman kita tentang kesendirian.
Mari kita tengok beberapa literatur tentang kesendirian. Kesendirian dalam benak Rae Andre merupakan hal yang tak terpisahkan dari kesedihan, kekecewaan, dan merupakan bentuk dasar dari kesepian. Dalam bukunya Positive Solitude, Andre yang juga seorang psikolog, bertanya-tanya tentang makna kesepian. Apakah kesepian itu? Apakah ia adalah emosi, sesuatu yang biologis seperti amarah dan ketakutan? Ataukah ia sesatu yang kognitif seperti interpretasi kita terhadap kondisi saat kita sendirian?
Pertanyaan Andre ini beririsan dengan pertanyaanku. Pertanyaan dasar seperti,
apakah kita pernah bahagia sendirian? Apakah kita pernah menikmati jalan
sendiri menikmati langit yang cerah? Apakah kita pernah tersenyum saat
kehujanan sendiri di tengah perjalanan? Apakah kita pernah bahagia menikmati
hal yang sederhana sendirian? Makan di warung, baca buku di kafe, atau sekadar
merenung sendirian di kamar? Pernahkah kita merasa tenang dan damai saat
sendirian?
Andre berpendapat mungkin kita pernah merasa bahagia saat sendirian. Dan saat kita bisa bahagia dalam momen tersebut, berarti kita juga bisa memproduksi lagi momen bahagia dalan kesendirian itu.
Awalnya aku berpikir kesendirian ini sangat erat
kaitannya dengan extro/intro-version, namun ternyata tidak. Extro/intro-version
merujuk pada karakter seseorang dalam mengontrol informasi dan stimulan di sekitarnya.
Ekstrover memiliki tendensi untuk mencari stimulan eksternal karena memiliki
sensitivitas yang relatif rendah. Karena itu ekstrover bisa merasa mudah bosan
dan saat bosan memorinya bisa memunculkan pikiran-pikiran yang justru
dihindari. Dengan begitu ekstrover lebih memilih dikeliling orang banyak untuk
melepas emosinya dan mendapatkan stimulannya.
Sebaliknya, introver memiliki sensitivitas yang relatif tinggi sehingga
mereka akan secara berkelanjutan mengambil dan memproses informasi dan emosi dari
sekelilingnya, khususnya dari orang-orang. Karena sensitivitasnya yang relatif
tinggi, introver sering merasa kewalahan dalam memproses emosi dari orang-orang
di sekitarnya. Untuk mengatasi hal ini, introver perlu memproses emosi dari
sekelilingnya dan mengisi daya di tempat yang sepi. Jadi, bukan berarti
introver tidak membutuhkan interaksi sosial. Keduanya fokus pada menemukan
titik seimbang antara interaksi sosial dan waktu untuk dirinya sendiri.
Secara harfiah ‘sepi’, ‘senyap’, ‘sendiri’, dan ‘lengang’ memiliki pengertian
serupa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lema tersebut bisa digunakan secara
tertukar dengan pengertian yang sama. Sementara itu dalam kamus
Merriam-Webster, semuanya memiliki makna masing-masing. ‘Loneliness’ atau
‘kesepian’ merujuk pada kerinduan akan seseorang untuk menemani. ‘Solitude’ atau
‘kesendirian’ didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang sendiri secara fisik
dan menunjukkan kondisi terpisah dari manusia lainnya untuk memutuskan
hubungannya dari perkumpulannya. ‘Isolation’ atau ‘isolasi’ merujuk pada
ketidaklekatan atau detachment dari orang lain yang biasanya bukan dari
kehendak sendiri. Sementara seclusion merupakan pemutusan atau penutupan
diri secara sengaja dari interaksi orang-orang dan dunia yang hingar bingar. ‘Lonesomeness’
lebih menekankan pada kesepian karena kesedihan dan kehilangan. ‘Desolation’
berarti kesunyian dahsyat karena duka dan kehilangan. ‘Forlorness’ menekankan
pada kesepian akibat perpisahan, penolakan, penyesalan, dan ketidaktertarikan
akibat kehilangan sesorang yang dicintai. Dari pengertian tersebut,
kesendirian, kesunyian, kesepian, dan kelengangan merupakan kondisi dengan
derajat dan spektrum yang beragam. Satu yang sama bahwa ada perasaan sendiri
di dalamnya.
Kesendirian tidak melulu kesepian. Pun sebaliknya, kesepian tidak melulu
kesendirian. Maka dari itu kita bisa merasa kesepian walaupun sedang tidak
sendiri. Juga kita bisa tidak merasa sepi walaupun sedang sendiri. Setidaknya
itu yang diungkapkan Thomas Merton dalam bukunya Thoughts in Solitude. Merton
mengungkapkan bahwa solitude atau kesendirian tidak berhubungan dengan
kebutuhan akan seseorang utuk menemani dirinya. Kesendirian membuka kesunyian
dan kesenyapan untuk berdialog dengan Tuhan dan juga menjembatani pemahaman
lebih dalam terhadap orang lain karena kesendiriannya itu terhubung dengan
kesendirian orang lain.
Merton juga mengaitkan kesendirian dengan kebebasan. Dan kebebasan itu
bergerak dinamis, tidak berada dalam ruang vakum. Koersi dari luar, inklinasi
terhadap orang lain, dan juga hasrat dalam diri sebetulnya tidak memengaruhi
kebebasan tersebut. Semua itu hanya mendefinisikan tindakan kita dalam
kebebasan itu karena sesungguhnya tidak ada individu yang benar-benar bebas.
Karena itu ada satu kerinduan akan
kebebasan yang ideal dalam diri kita yang tidak bisa kita dapatkan saat bersama
orang lain.
Jika Merton mengaitkan kesendirian dengan kebebasan, May Sarton mengaitkannya
dengan kesepian. Ia mendokumentasikan kesepian yang ia rasakan saat tinggal sendiri
melalui bukunya Journal of a Solitude. Di dalam bukunya Sarton mengekspresikan
emosinya saat hidup sendiri di New Hampshire. Di dalam kesendiriannya, ia
menemukan kesepian yang meremukkan. Ia juga berusaha mengatasi depresinya
terlebih saat musim dingin tiba. Dalam bukunya Sarton secara apik menggambarkan
kesedihan dan kesendirian seperti musim, bunga, dan siklus alam lainnya yang
memiliki waktunya masing-masing. Dalam bukunya ia menulis:
The ambience here is order and beauty. That is what frightens me when I am first alone again. I feel inadequate. I have made an open place, a place for meditation. What if I cannot find myself inside it? I think of these pages as a way of doing that. For a long time now, every meeting with another human being has been a collision. I feel too much, sense too much, am exhausted by the reverberations after even the simplest conversation. But the deep collision is and has been with my unregenerate, tormenting, and tormented self. I have written every poem, every novel, for the same purpose—to find out what I think, to know where I stand. I am unable to become what I see. I feel like an inadequate machine, a machine that breaks down at crucial moments, grinds to a dreadful halt, “won’t go,” or, even worse, explodes in some innocent person’s face.
Bisa kita simpulkan bahwa kesendirian memiliki banyak kaitannya dengan aspek personal dalam masing-masing individu. Kesendirian, dengan begitu, bisa dimaknai berbeda-beda.
Kapasitas Menyendiri
Antoni Storr, seorang Psikiater Inggris, dalam bukunya Solitude: A
Return to the Self menggarisbawahi kapasitas manusia untuk menyendiri. Ia
menganggap kesendirian itu sebagai kapasitas yang artinya ruang yang mampu
menampung kesendirian manusia. Menurutnya, manusia butuh berinteraksi dan
bersosialisasi. Namun begitu, manusia juga memiliki kapasitas untuk menerima
kesendiriannya.
Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kapasitas menyendiri. Menurut
Storr, pada masa balita dan pendewasaan diri, kemelekatan terhadap orang tua,
keluarga, atau penggantinya merupakan faktor penting bagi anak untuk bisa
bertahan hidup dan memiliki rasa aman untuk bisa menjalin kedekatan dengan
orang lain. Rasa aman, kemampuan menghargai diri sendiri, dan bertahan hidup
ini juga diperoleh dari interaksi sosial antara anak dengan teman-teman
seumurnya. Dalam hal ini, anak-anak jadi menyadari pentingnya orang lain dalam diri
mereka. Namun begitu, Storr mempertanyakan mengapa kemandirian anak-anak tidak
dilatih dengan memberikannya waktu sendiri. Ketika anak-anak terlalu nyaman
dengan orang lain, maka rasa amannya akan berubah menjadi ketergantungan.
Karena itu cukup penting memberikan anak-anak waktunya sendiri untuk bisa
mandiri atau sekadar mengenal dirinya sendiri. Hal itulah yang sering dirasakan
orang dewasa yang beranjak tua dengan lebih memilih sendiri atau meluangkan
banyak waktunya menyepi: untuk mendapatkan kesendirian yang belum pernah ia
dapatkan sewaktu kecil. Dengan begitu menyadari kapasitas untuk menyendiri
merupakan aspek penting dari kematangan emosional.
Kapasitas menyendiri pernah ditulis secara khusus seorang psikoanalis
Donald Winnicott dengan mengkritik literatur psikoanalisis:
Mungkin cukup tepat untuk mengatakan bahwa literatur psikoanalisis kebanyakan fokus pada ketakutan menyendiri (fear of being alone) atau keinginan menyendiri (wish to be alone), daripada kapasitas individu untuk menyendiri. Diskusi aspek positif kapasitas menyendiri ini menjadi penting untuk dilakukan.
Kapasitas menyendiri ini, menurut Winnicott, memiliki aspek positif yang dibentuk dari usia 6 bulan
hingga 5 tahun. Rasa aman yang terlalu banyak diberikan dengan bergantung pada
orang tua, khususnya ibu, akan berubah menjadi ekspektasi bahkan clinging
behavior yang menununjukan rasa ketidakamanan karena takut kehilangan rasa
nyaman. Karena itu anak-anak yang tidak mengizinkan ibunya lepas dari
pandangannya kurang bisa mengembangkan rasa percaya terhadap dirinya sendiri
maupun ibunya.
Kemampuan menyendiri di masa pendewasaan berasal dari pengalaman kanak-kanak
melalui menyendiri dengan kehadiran ibu. Artinya, jika anak sudah merasa
kebutuhannya akan makanan, kontak fisik, kehangatan, dll. sudah terpenuhi,
tidak ada alasan anak tersebut untuk menahan ibunya untuk tetap tinggal
bersamanya atau kekhawatiran ibunya untuk menyediakan segalanya. Winnicott
menuliskan kemampuan ini sebagai paradoks kapasitas menyendiri, yaitu kemampuan
menyendiri yang didapatkan dari pengalaman menyendiri saat ada kehadiran orang
lain. Secara sederhana, kebersamaan itu menjadi ornamen pelengkap saja, bukan
inti dari kemampuan untuk sendiri. Menurut Winnicott tanpa ada pengalaman ini,
kemampuan menyendiri pada masa pendewasaan sulit untuk berkembang.
Kapasitas menyendiri ini sering terlewati dalam konteks kehidupan masyarakat
urban yang fokus pada produktivitas dan profit. Sara Maitland, seorang
pengarang Inggris, dalam bukunya yang berjudul How to be Alone,
mempertanyakan masyarakat maju yang sulit menghargai dan menyadari kapasitas
mereka untuk menyendiri: sebagai masyarakat kita peduli akan banyak hal: HAM,
budaya, individualisme, tapi mengapa kita di saat yang bersamaan, kita menutup
mata terhadap ketakutan kita untuk menyendiri?
Maitland menunjukkan masyarakat modern sering mengantungkan eksistensinya
pada di luar dirinya sendiri sehingga kesendirian dan kesepian dianggap sebagai
hal yang harus dihindari dan tak bermakna. Padahal menurutnya, perlu adanya
keseimbangan untuk menyendiri dan bersosialisasi. Sama dengan berinteraksi
sosial yang juga memiliki banyak manfaat, memahami kesendirian juga dapat
menimbulkan kebahagiaan mendalam. Setidaknya ada lima kebahagiaan dalam
kesendirian: kesadaran lebih dalam akan diri sendiri, attunement lebih
khusyuk terhadap alam (attunement adalah penyelarasan diri untuk bereaksi
dengan emosi di luar diri), hubungan spiritual, peningkatan
kreativitas, dan peningkatan persepsi kebebasan.
Aku setuju bahwa kapasitas menyendiri menjadi kemampuan kita yang
paradoksikal. Di satu sisi ada kalanya kita merasa sendiri, padahal tidak. Di
sisi lainnya ada waktu saat kita merasa tidak sendiri, padahal kita sendiri. Kapasitas
menyendiri ini juga berkaitan bagaimana kita membangun relasi dengan orang
lain. Thomas Dumm, Profesor Ilmu Politik di Amhers College, berceletuk, “Diri
kita yang sepi akan selalu ada bersama kita. Ia adalah bagian elemental dari
manusia yang juga tidak bisa diapa-apakan. Selama kita hidup, maka kita juga
akan menyadari bahwa betapapun kita merasa sendirian, kita tidak pernah
sendirian.”
Mengakhiri Kesepian
Menambal kesepian dengan mencari orang lain bukan sebuah jawaban jangka panjang. Secara instan, ia mungkin bisa meredam kesepian. Tapi kesepian itu masih ada dalam diri dan bisa saja terakumulasi lebih pekat dan meledak suatu saat.
Kesendirian dan kesepian merupakan pengalaman yang sangat intim, destruktif
dan juga rekonstruktif. Terkadang kita meminta saran dari orang lain, buku,
bahkan ahli untuk tahu cara meredam kesendirian dan kesepian, baik yang ditimbulkan
dari kesedihan, patah hati, perpisahan, kehilangan, atau kebosanan sekalipun.
Seringnya, kita tidak mendapatkan saran yang benar-benar berarti dan cocok bagi kita.
Kita bisa saja kecewa karena orang yang kita anggap bisa membantu kita
sekalipun hanya bisa sedikit membantu kita. Kita malah merasa jadi lebih sepi
bahkan depresif karena merasa tidak ada yang bisa mengerti kita. Akhirnya kita
memilih jalan yang destruktif: mengebalkan sensitivitas terhadap kesepian,
misalnya, melalui alkohol.
Pengalaman destruktif seperti itu bisa berubah menjadi rekonstrukstif bila
kita menyadari bahwa yang kita perlukan adalah menerima kesendirian (dan
kawan-kawannya). Menerima kesendirian bukan berarti kita mengisolasi dari
interaksi sosial, bukan pula menutup diri dari hal-hal baru. Kapasitas
menyendiri bisa ditingkatkan dan dengan menyadari bahwa selama kita hidup kita
memiliki kapasitas tersebut, kita bisa menghargai keberadaan orang lain. Ini
yang dimaksud secara paradoks. Ketika kita merasa sendiri, keberadaan orang
lain tidak menjadi lokus utama, melainkan komplementer diri. Artinya, kita bisa
menghargai keberadaannya melalui kesendirian kita. Bukan meminta atau menuntut
keberadaannya menambal kesepian kita, atau bahkan mengisi kekosongan yang ada.
Proses menerima kesendirian dalam diri adalah panjang dan seumur hidup. Ia juga fokus pada bagaimana kita memproses sekeliling kita secara internal. Bukan selalu melihat ke luar, tetapi mencoba melihat mendalam ke dalam. Selama kita hidup, kesendirian adalah bayangan yang selalu menemani kita. Untuk menerima kesendirian masing-masing, hanya diri kita yang tahu. Namun, memilih kematian secara sengaja pun bukanlah sebuah pilihan untuk benar-benar mengakhiri kesendirian dan kesepian. Bagiku kematian adalah hadiah komplet – bonus – saat kita benar-benar berkomitmen penuh untuk menjalani kehidupan, seberapapun sepinya itu, seberapapun sendirinya itu.
Lagi dan lagi, kita yang sendiri ini, tidak pernah benar-benar sendiri. Semoga seiring waktu, hari demi hari, ada bagian dari diri kita yang sepi, sunyi, lengang, dan sendiri, bisa kita terima dengan berbahagia, lapang dada, dan besar hati.
Semoga.
Saat ini lagi ngerasa 'lonely' terus nemu tulisan ini, rasanya kayak ada yang ngerti diri ini :)
ReplyDelete