Aku berkenalan dengan minimalisme sekitar 2013 saat sedang mengambil kuliah lingkungan. Butuh waktu satu hingga dua tahun sejak saat itu bagiku untuk memutuskan mengenal lebih dalam dan menerapkannya. Kini perlahan-lahan aku sedang menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebelumnya aku tidak pernah beranggapan bahwa menimbun barang yang tidak terpakai dan yang hanya fokus estetika memiliki dampak terhadap kesadaran ruang dan emosional. Ruang tempat tinggalku sangat terbatas, begitu pula dalam pikiranku. Menimbun barang baru dan lama, termasuk yang memiliki nilai sentimental, ternyata mengambil ruang yang cukup besar. Butuh waktu untuk menyadari hal tersebut dan ketekunan untuk menerapkan gaya hidup minimalisme.
Minimalisme menjadi paham yang sedang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir dan laku dijual sebagai gaya hidup alternatif. Dalam Minimalism: Essential Essays 2011, Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus mendefinisikan minimalisme sebagai pemahaman untuk mengklaim ulang kebebasan yang kita berikan pada benda-benda yang membuat kita merasa khawatir, takut, dan bersalah. Minimalisme tidak membatasi kita dalam memperoleh sesuatu yang menurut kita penting karena minimalisme adalah sebuah alat untuk mencapai pemenuhan dan kebahagiaan dalam hidup. Minimalisme berkaitan dengan sadar dengan momen saat ini, kesehatan emosional dan mental, dan pertumbuhan diri. Sementara Greg McKeown dalam Essentialism: The Pursuit of Less 2014 memilih menggunakan esensialisme sebagai pendamping minimalisme. Menurutnya esensialisme adalah cara berpikir 'aku harus', 'semuanya penting', dan 'aku bisa mengerjakan semuanya' menjadi 'aku memilih', 'hanya sebagian saja sangat penting', dan 'aku bisa melakukan apa saja, tapi tidak semuanya'. Esensialisme fokus pada apa yang penting untuk kita dalam kehidupan sehari-hari.
Beragam definisi minimalisme menekankan pada gaya hidup ‘less is better’ yang sekarang digandrungi banyak orang sebagai antitesis konsumerisme. Ada yang berpendapat seorang minimalis harus membatasi kepemilikan benda hanya sampai dengan 100 item. Ada yang hanya 20 saja. Ada yang hanya 10 saja tetapi mengganti barang sebelumnya yang dimiliki dengan barang-barang minimalis atau ramah lingkungan. Walaupun barang pribadiku kurang dari 100 item, aku masih belum bisa menerapkan minimalisme dengan konsisten. Dan menurutku kuantitas tidak menjamin keberhasilan seseorang dalam menjalankan minimalisme.
Kyle Chayka dalam The Longing for Less: Living with Minimalism 2020 mengkritik bahwa minimalisme sudah dikomodifikasi jauh dari tujuannya sehingga sering kali jadi lebih trendi daripada praktis. Tidak sedikit orang yang tertarik dengan minimalisme tanpa mempraktikannya sama sekali. Bahkan, ada juga praktik facade minimalism, yaitu dalam merek dan penampilan visual yang mengeksploitasi ketidakbahagiaan seseorang sebagai akar dari segalanya sehingga barang baru dengan nilai minimalisme dianggap jadi lebih baik.
Produksi barang baru dengan nilai baru selalu dianggap lebih baik sehingga setiap iklan mengimplikasikan bahwa kita butuh sesuatu yang baru untuk mengubah kita. Atau seperti yang Pier Vittoria Aureli tekankan, bahwa ‘less is more’ dapat menjadi sebuah bentuk ekploitasi kapitalis yang mendorong pekerja untuk memproduksi lebih banyak produk yang mengusung kampanye 'less is more' sehingga meningkatkan profit petinggi perusahaan dan mengurangi benefit konsumen (bayangkan ponsel premium yang tidak lagi mengikutsertakan pengisi daya dan kabelnya dengan label ramah lingkungan sementara harga retailnya tetap jauh lebih tinggi dari produk sebelumnya).
Aku sempat berpikir bahwa banyak orang yang melakukan minimalisme pindah haluan setelah mereka sadar bahwa hidup mereka tidak bahagia di tengah gaya hidup konsumerisme. Pertanyaannya adalah apakah mereka akan tetap menjadi minimalis jika gaya hidup konsumerisme justru membuat mereka bahagia? Itu yang menjadi dasar antitesis dari orang-orang yang tidak setuju dengan minimalisme, yaitu maksimalisme.
Menjadi minimalis melalui komersialisasi buku, podcast, dan produk membuat ide minimalisme itu sendiri dikomodifikasi dan diubah menjadi sumber penghasilan. Hal tersebut sah-sah saja, setiap orang butuh hidup, namun menjual ide sebagai solusi ketidakbahagiaan orang lain merupakan bentuk lain dari eksploitasi (dan hipokrit) dalam kapitalisme. Minimalisme mungkin sebuah konsep yang populer di Barat, namun secara praktik minimalisme sudah berakar pada tradisi komunitas lokal dan masyarakat adat di berbagai daerah, termasuk di Indonesia. Aku beruntung pernah mengunjungi beberapa komunitas lokal dan masyarakat adat dan belajar dari mereka. Misalnya masyarakat Baduy yang menerapkan cara hidup, sistem kepercayaan, dan nilai yang diturunkan dan dipraktikkan dengan menekankan 'kebercukupan' yang menjadi identitas mereka yang ternyata selaras dengan minimalisme. Dalam satu kunjungan kuliah, aku dan teman-teman belajar banyak dari masyarakat Baduy tentang bagaimana mereka mengelola waktu dan hidup mereka secara sederhana dan efisien baik dalam segi pertanian, pendidikan, dan juga membangun hubungan dengan sesama baik internal maupun eksternal. Atau misalnya masyarakat Kampung Naga yang juga hidup selaras dengan alam, padahal pintu masuk perkampungannya berada tak jauh dari jalan besar dan kehidupan modern. Masyarakat Kampung Naga juga sangat menghargai kesederhanaan dan kebercukupan dalam hidup mereka, termasuk dalam sandang, pangan, dan papan. Atau masyarakat Kampung Cirendeu yang mempertahankan keswasembadaan pangan melalui tradisi dan gaya hidup dengan memegang erat nilai leluhur mereka. Walau gempuran modernisasi memaksa mereka untuk mengalami transformasi sosial dan teknologi, mereka setidaknya tetap merasa cukup. Perasaan cukup dan kesederhanaan yang dianut secara kokoh ini sulit didapatkan dalam kehidupan kota. Aku sangat kagum saat bertamu ke halaman mereka, dan sejujurnya ada perasaan malu; entah karena diri ini belum bisa mempraktikkan hidup selaras dengan alam atau merasa belum merasa cukup dengan apa yang ada.
Minimalisme pernah aku singgung di sini:
Sadar Ruang.
Minimalisme juga berlaku dalam konteks digital. Mengurangi jejak digital memang sulit dilakukan, terlebih jika kita terbiasa berinteraksi dan bekerja di dunia digital. Minimalisme digital berkaitan dengan detoksifikasi digital yang juga pernah aku tulis di sini:
Detoksifikasi Media Sosial
Berbincang tentang minimalisme digital, aku teringat seorang teman perempuan yang sejak 2016 perlahan-lahan menghilang di dunia digital. Tidak hanya bermain pasif di media sosial, tapi ia juga pelan-pelan menghapus jejak digitalnya di mesin pencarian. Saat ditanya alasannya, ia menjawab bahwa ia butuh spasi luas di dunia nyata sampai akhirnya ia tak terlalu terganggu dengan dunia maya. Kini jika aku mencari namanya di Google, namanya tak lagi muncul. Orang-orang hanya bisa menghubunginya secara pribadi. Puan tersebut tidak sendirian. Ada beberapa kenalan yang sengaja menghapus akun Twitter, Facebook, atau Instagram-nya untuk mengklaim ulang kebebasan di dunia nyata. Ada yang bertujuan menghindari penguntit digital (dunia maya belum sepenuhnya menjadi ruang aman, khususnya untuk perempuan), meningkatkan kesehatan mentalnya, atau sekadar meluangkan waktunya lebih banyak dengan orang-orang di dunia nyata.
Media sosial seringkali berkelindan dengan kehidupan digital. Kita terbiasa dengan istilah gaptek alias gagap teknologi. Untuk mengatasinya kita sebisa mungkin memiliki literasi digital dengan tanggap terhadap teknologi. Namun sayangnya tanpa kita sadari ‘tanggap digital’ ini juga bisa menjadi pedang bermata dua yang justru menggerus kita, atau bahkan membentuk ulang kita sesuai dengan algoritma media sosial. Kita menumpahkan sebagian identitas dan eksistensi kita melalui media sosial: Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dll. Kita pun tak jarang medefinisikan ulang diri sendiri melalui media sosial dan membentuk persona yang berbeda-beda.
Castells dalam The Power of Identity: The Information Age Economy, Society, and Culture Vol. II 2010 menyorot hubungan media sosial dengan penggunanya yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks identitas. Identitas menjadi sumber pemaknaan bagi para penggunanya (dalam bahasa Castell: aktor) yang diperoleh melalui individuasi tempat orang itu tinggal, bekerja, atau berinteraksi. Individuasi ini, menurutnya, dipengaruhi globalisasi dan informasionalisasi yang dibangun oleh jejaring kekayaan, teknologi, dan kekuasaan. Keduanya mentransformasi dunia nyata melalui media (sosial) melalui tatanan yang disebut Global New Order. Sebagai reaksi akan tatanan baru ini, muncul perjuangan untuk mengklaim ulang dunia maya melalui beragam gerakan. Awalnya penggunaan media sosial sebagai media perjuangan bebas dari kontrol negara, tapi berakhir semu setelah ditemukan representasi negara yang mempersempit batasan penggunaan media sosial. Contohnya, di Indonesia kini sudah ada UU ITE yang cukup problematik. Di sisi lain, dalam obrolan ringan dengan kolega dari Filipina yang menyelesaikan disertasinya tentang media sosial, ia menekankan bahwa banyak orang, khususnya generasi milenial dan Z menggunakan media sosial untuk mendapatkan validasi dari orang lain.
Mengapa kita perlu mengenal minimalisme baik di dunia nyata dan dunia maya?
Salah satu pendapat menarik yang barangkali bisa menjadi jawaban tentang hubungan konsumsi dengan kebahagiaan semu sudah lama dikemukakan Christopher Lasch dalam The Minimal Self: Psychic Survival in Troubled Times 1984. Menurutnya produksi dan konsumsi masal membentuk pola kebergantungan, disorientasi, dan kehilangan kontrol. Konsumsi yang tidak terkendali dan fokus pada profit pemilik modal mengekang kesadaran dan resiliensi terhadap keputusan kepemilikan produk, yang malah hanya mendorong kebergantungan, pasivitas, dan pemikiran penonton (spectatorial state of mind) dalam ranah domestik dan publik. Hal ini dapat juga dipahami melalui argumen Daniel Bell dalam The Cultural Contradictions of Capitalism 1976 yang mengemukakan bahwa budaya konsumerisme mendorong normalisasi hedonisme yang menggerus disiplin dalam hubungan industri yang adil. Konsumerisme berakar dari kapitalisme yang membutuhkan konsumen yang bisa mengikuti arus dan tren pasar. Karena itu seringnya kebutuhan konsumen itu dibuat sedemikian rupa tanpa kesadaran konsumen akan apa yang sebetulnya dibutuhkan olehnya. Kita tidak bisa secara naif lagi percaya bahwa media sosial bisa saja menjadi positif bergantung dengan penggunanya ketika algortima dan kecerdasan buatan dalam platform media sosial memang dibuat untuk mendorong kita pada suatu sikap dan pandangan tertentu.
Merasa Cukup
Belajar menjadi minimalis berarti belajar merasa cukup. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Konsep sederhana yang sangat sulit dipraktikkan. Lalu apa indikator merasa cukup? Itulah yang coba didedah dalam minimalisme. Setiap orang memiliki indikator yang berbeda akan definisi 'cukup'. Misalnya, bagi seseorang cukup itu saat kebutuhan primer terpenuhi. Bagi orang lain saat kebutuhan tersier juga ikut terpenuhi. Bagi masyarakat adat dan komunitas lokal merasa cukup adalah merasa bahagia dengan apa yang mereka terima. Walau pada kenyataannya batas antara merasa cukup dan complacent adalah tipis. Apakah aku menjadi minimalisme karena memang pilihan? Atau memang tidak bisa hidup konsumtif (karena tidak punya uang)? Apakah minimalisme hanya konstruksi sebagian elit di Negara Pertama, sehingga warga termaginalisasi di Negara Ketiga sebetulnya sudah melakukan minimalisme? Terlepas dari perspektif ekonomi dan daya beli, minimalisme merupakan sebuah gejolak perlawanan pada konsumerisme. Misalnya Chayka mendefinisikan minimalisme sebagai emptiness atau ruang kosong yang dikomodifiksi lewat seni dan juga tulisan yang dalam konteks radikal, seorang minimalis tidak akan berkoar-koar akan pentingnya hidup minimalis.
Sama seperti banyak konsumen lainnya yang masih terjerat dalam mekanisme pasar, ada dorongan unutk lebih sadar terhadap hubungan produksi-konsumsi. Aku pun sedang belajar mengidentifikasi arti cukup bagiku dan merasakan kecukupan dalam hidup. Bagiku merasa cukup erat kaitannya dengan rasa syukur atas apa yang aku miliki dan tidak miliki. Salah satu konsep yang menjembatani produksi dan konsumsi yang efisien adalah tidak mengomodifikasi kebutuhan orang lain dan mulai berperan menjadi prosumer yang memiliki peran aktif dalam menata dan membuat kebutuhan diri sebagai bagian dari produsen agar tepat sasaran kita gunakan sebagai konsumen.
Terkadang keinginan hidup minimalis ini
menjadi ego tersendiri karena aku berusaha sangat keras untuk mewujudkannya. Sisi
baiknya, minimalisme membuatku untuk terus berefleksi. Aku jadi perlahan sadar bahwa aku memiliki obsesi terhadap kebebasan yang
ditawarkan dalam minimalisme dan aku sedang belajar menelusuri akar obsesiku
tersebut. Belajar merasa cukup dan merasakan syukur dalam diri sendiri tanpa
harus didefinisikan oleh kepemilikan bendawi merupakan perjalanan panjang. Aku
masih tidak bisa lepas dari membeli buku baru, sepatu, atau perlengkapan sepeda.
Walaupun aku menjustifikasinya secara fungsional, tetap saja menambah barang
berarti menambah kelekatan diri terhadap dunia material. Namun begitu, satu
yang aku sadari bahwa aku tidak pernah benar-benar memiliki – barang-barang itu
hanyalah titipan. Termasuk diri ini, termasuk orang lain. Aku hanya perlu
merawatnya dengan baik dan bisa memnfungsikannya dengan optimal, sampai satu
saat kepemilikan itu berpindah kepada Sang Pemilik Sejati, aku masih perlu
belajar merasa cukup, bersyukur, dan merelakan. Mungkin minimalisme yang sedang
aku maknai dalam hidupku ini.
Comments
Post a Comment