Hari ketiga: Kebumen – Yogyakarta (128 Km)
Swafoto di halaman hotel Cadaka |
Alarm jam tangan membangunkanku pukul 05.30 WIB. Aku mengumpulkan kesadaran
pelan-pelan sambil beranjak meraih air minum. Kodok sudah ada di kamar mandi,
jadi aku mengambil air wudu dari wastafel kamar dan bersiap-siap salat. Selagi
menunggunya mandi, aku menyiapkan barang-barangku. Karena sepeda ada di dalam
ruang tamu kamar (di kamar ada ruang tamu yang cukup untuk dua sepeda), aku
tidak perlu repot melepas tas. Bongkar muat barang jadi lebih praktis. Setelah
Kodok selesai mandi, giliranku mandi. Setelah itu kami berkumpul di halaman
depan kamar. Teman-teman sudah mengeluarkan sepedanya masing-masing.
Dalam gowes kali itu sepeda kami bermacam-macam. Dampleng menggunakan MTB
Pacific, Mondo menggunakan Federal turing, Jawik menggunakan Marin turing, aku
dan Kodok sama-sama menggunakan United turing. Hanya beda seri. Ia membawa
Callister, sementara aku seri di bawahnya, yaitu Rockford. Setelah siap untuk
gowes, kami berfoto terlebih dahulu.
Rombongan memilih sarapan nasi di warung makan persis di pinggir hotel.
Sementara aku melipir ke toko swalayan untuk membeli roti dan susu. Selesai
sarapan, kami mulai gowes lagi. Ini adalah etape terakhir jadi kami gowes
sangat santai. Dari Kebumen kami menuju Purwerojo sebagai perhentian pertama.
Di sana Mondo ingin ziarah ke makan keluarganya terlebih dahulu.
Melewati ibu-ibu bersepeda dengan tertib |
Jalan dari Kebumen menuju Purworejo relatif landai. Hanya saja panas luar
biasa dan sedikit peopohonan besar. Ada panas yang berbayang dari aspal
kejauhan. mencari-cari toko swalayan atau warung namun belum melewati satu
pun, sementara botol airku sudah kosong. Aku bertemu beberapa warga sedang bersepeda dengan tertib. Aku sedikit menyusul mereka sambil menyapa mereka. Kemudian aku memacu sepeda agak cepat dan
berhenti di Alun-alun Prembun. Ada warung jus yang baru buka. Aku segera
memesan jus mangga dan jus naga. Masing-masing harganya Rp5000,00. Aku pesan
lagi segelas jus melon dan es kelapa muda. Penjual jus adalah pasangan suami
istri dengan satu orang anak. Mereka tertawa meihat aku minum sebegitu banyak.
Aku cerita saja sedang gowes dari Bandung. Dan aku baru tersadar teman-temanku
masih di belakang. Sambil menunggu aku berbaring di bawah pohon di alun-alun.
Tidak ada udara yang berembus dan membuatku ingin loncat ke dalam bak mandi.
Beberapa saat kemudian rombongan pun datang. Dampleng sudah kewalahan dan harus
banyak istirahat. Aku juga tidak boleh egois, aku harus menyesuaikan laju
sepedaku. Akhirnya kami istiiraht di alun-alun cukup lama. Kami minum jus,
makan bakso, dan aku menemukan warung di belakang masjid alun-alun. Aku beli
dua botol besar air mineral. Kami pun sempat tidur 30 menit di bawah pohon yang
cukup rindang.
Alun-alun Prembun |
Pukul 12.30 WIB aku terbangun karena pohon rindang pun tak lagi mampu melindungiku
dari panasnya sinar matahari yang menembus ranting-ranting. Aku segera pergi ke
masjid dan mengambil air wudu untuk salat. Rasanya ingin mandi, tapi pasti lumayan
makan waktu lagi. Aku urungkan niatku. Aku segerakan salat dan teman-teman yang
lain bergantian salat. Setelah menguatkan diri masing-m
Sekitar pukul 15.00 WIB kami sudah memasuki daerah Purwerejo. Panas sudah mulai
melunak dan udara sudah hilir mudik. Kami istirahat sebentar di warung kecil.
Aku membeli camilan dan nenas segar. Menurut Mondo, makam keluarganya sudah
tidak jauh dari warung tempat kami istirahat, yaitu sekitar 30 menit lagi. Kami
pun segera lanjut untuk mengefektifkan alokasi waktu perjalanan. Jalanan menuju
makam sungguh syahdu. Hamparan luas sawah hijau, matahari mulai lingsir dan
lindap dengan langit kemerahan. Memasuki area permakaman, ada senyum perjumpaan
seperti bertemu kerabat lama yang sudah lama tak jumpa. Mondo mengambil
waktunya untuk berziarah. Sementara aku menunggu di luar sambil memerhatikan
pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam diri. Aku teringat buku berjudul Starring
at the Sun: Overcoming the Terror of Death karya psikoterapis bernama Irvin
Yalom. Yalom membukukan pengalamannya tentang pasiennya mengenai ketakutan
mereka tentang kematian. Menurutnya seperti ini:
“Inevitably, most people speak of regret they have
over things they have not done – living an ‘unlived life’. The more you fail to
experience your life fully the more you will fear death.”
Menurutnya kematian harus diterima dengan lapang dan dibicarakan dengan
terbuka agar kita terbiasa memaknai hidup. Tidak hanya fokus pada cara untuk hidup,
tapi juga menerima kematian di depan makna. Kehidupan dan kematian sama halnya seperti
perjumpaan dan perpisahaan yang merupakan dua sisi hakiki dalam koin yang sama.
Sebagai makhluk mortal, kita tak bisa pisah dari keduanya.
Salah satu warung tempat istirahat kami |
Dari makam, kami mulai lanjut gowes lagi. Jarak dari Purwerejo ke
Yogyakarta masih lumayan jauh. Kami melewati jalan masuk ke Kulon Progo menuju
Wates. Di Kulon Progo kami tertahan buka-tutup jalan karena ada perbaikan jalan
untuk bandara yang baru yang sedang dibuat. Pukul 17.30 WIB kami tiba pintu
masuk Wates. Ada warung makan tempat para sopir yang sedang makan. Sambil
meunggu magrib, kami juga istirahat sebentar. Aku memesan ayam goreng dan ayam
bakar. Dan makan tiga buah pisang. Pemilik warung makan adalah pasangan suami
istri yang sangat ramah. Kami mengobrol cukup banyak tentang PPKM juga.
Setelah magrib lewat, kami mengayuh lagi sepeda kami. Jalanan, seperti
biasa, masih sangat minimal lampu penerangan jalan umum. Jadi kami
harus membagi rata lampu yang masih bisa menyala dan merapatkan barisan. Memasuki wilayah Yogyakarta,
kami istirahat di toko swalayan. Dampleng sudah tidak kuat lagi untuk mengayuh
sepeda. Kata Mondo, Tugu Yogyakarta sudah tinggal 7 km dan jam menunjukan pukul
20.40 WIB. Semangat kami tumbuh lagi dan kami mulai mengayuh sepeda dengan
lebih giat. Jawik berkata sambil gowes di sebelahku, “Nepi oge euy Dip!”
Mondo berkata Tugu Yogyakarta dicapai dengan mengikuti jalan lurus yang
kami lewati. Aku menambah tenaga untuk mengayuh karena ingin segera sampai. Aku
mengayuh dan mengayuh selama 30 menit, namun aku tidak juga tiba di Tugu. Jawik
meneleponku, “Dip, maneh di mana? Urang kabeh geus di Tugu.”
Aku menepi dan menoleh ke belakang, ternyata mereka tidak ada di belakangku.
Aku tertawa-tawa sendiri. Sudah dekat malah tersesat. Konyol.
Akhirnya aku membuka Google Maps dan mengikuti petunjuknya. Aku mengatur
napas dan mengelola ketidaksabaranku. Jangan sampai aku tersesat lagi. Pukul
21.35 aku bertemu dengan rombongan yang sudah tiba lebih dahulu di Tugu
Yogyakarta.
Tiba di Tugu Yogyakarta |
Malam itu Tugu Yogyakarta cukup ramai dikunjungi orang-orang. Kami tetap mengenakan
masker dan segera befoto. Setelah itu kami menuju hotel Kotta Go tempat kami
menginap beberapa hari ke depan. Kamarnya lebih modern dan nyaman dibandingkan
hotel sebelumnya dengan harga yang tak jauh beda. Kami memasuki kamar
masing-masing. Aku dan Kodok memesan makan lewat aplikasi daring. Setelah itu
Kodok pergi ke kamar Jawik dan lainnya untuk bermain game online. Sementara
aku leyeh-leyeh sambil menulis entri hari itu di kamar.
Sambil menulis jurnal harian, tak terasa air mataku berkaca-kaca. Mungkin sebagian orang berpikir gowes dari Bandung menuju Yogyakarta adalah perkara biasa saja. Aku juga yakin banyak orang yang gowes lebih cepat dan lebih jauh dari pada aku. Namun itulah hidup. Tiap orang punya laju dan jarak yang berbeda-beda. Jarak dan laju yang membawaku sampai saat ini adalah pelajaran dan pengalaman hidup aku. Aku sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah sangat murah hati memberikan kesempatan untuk bisa mengalami hari ini. Apalagi kami tiba di Yogyakarta dengan sehat dan selamat.
Aku belajar memahami laju diri, menikmati setiap peluh yang menetes, dan memerhatikan pikiran-pikiran yang berkecamuk selama perjalanan. Validitas dan egoisme masih banyak melingkupi diri, arogansi diri juga masih meleber ke mana-mana. Bahwa aku adalah makhluk lemah yang masih perlu banyak belajar mengelola emosi dan sentimen diri.
Alhamdulillah.
Comments
Post a Comment