Hari Kedua: Banjar – Kebumen (162 km)
Mondo dan Federalnya |
Cuaca pagi itu sedikit mendung disertai udara sejuk yang mulai menanam kesyahduan
perjalanan. Kami gowes santai sambil mencari sarapan. Sebetulnya aku belum
butuh sarapan karena sambil gowes aku sambil menyantap roti yang aku beli
semalam. Sementara yang lain butuh nasi dan harus nasi sebagai bensin utama perut
pagi hari. Warung-warung yang kami lewati masih tutup. Mungkin karena masih
pagi, mungkin juga karena PPKM, atau karena keduanya.
Tugu Batas Jawa Barat dan Jawa Tengah |
Persis di sebelah pom bensin batas provinsi, kami menemukan warung kecil dan
musala tempat istirahat para supir truk. Teman-teman memesan nasi rames,
sementara aku meminum secangkir kopi saja. Menurut Mondo, navigator jalan,
perut harus terisi penuh karena jalur di depan cukup tangguh, yaitu berupa
tanjakkan: Cukangleuleus, Majenang, dan Lumbir. Namun apa mau dikata, perutku
masih berkata penuh. Aku berharap roti dan kopi bisa jadi kombinasi tenaga pagi
hari.
Selesai sarapan, kami memacu sepeda menuju Cukangleuleus. Aku hanya mengenal kata “leuleus” yang berarti lemas. Namun, jalanan tidak sebrutal penamaannya. Beberapa tanjakan pendek dan landai kami lewati. Persawahan luas terhampar di kiri-kanan jalan. Setelah melewati Cukangleuleus, kami berhenti sejenak di alun-alun Majenang. Aku memesan gorengan dan buah nenas manis yang harganya hanya lima rupiah saja.
Dari Majenang, kami teruskan ke arah Karangpucung. Menjelang tengah hari, matahari
serasa ada tepat di atas ubun-ubun. Cuaca semakin terik. Sebelum mulai menjajal
tanjakkan Lumbir, kami sepakat berhenti dulu di Masjid Sabilul Huda,
Karangpucung, untuk salat dan istirahat. Di seberang masjid ada warung kecil.
Kami mengisi perbekalan di sana, terlebih air mineral. Sungguh cuacanya terik
sekali membuat kami kewalahan. Tapi kalau kami tidak ngereyeuh (jalan
sedikit-sedikit), kami tidak akan juga sampai.
Menjelang pukul 13.00 WIB, kami bersiap-siap untuk kembali menyusuri aspal.
Aku membeli banyak air mineral dari warung dekat masjid dan mengganti sepatuku
dengan sandal supaya kakiku tidak terlalu terjebak panas. Aku dan Mondo jalan
terlebih dahulu, sementara yang lain mengikuti di belakang. Dari tempat kami
istirahat jalanan langsung menanjak di tengah cuaca panas. Entah mengapa,
lama-kelamaan aku semakin senang dengan rasa panas tersebut. Aku senang dengan terik
matahari yang membuatku bersemangat mengayuh pedal sepeda. Akhirnya aku minta
izin kepada teman-teman untuk sedikit memacu kecepatan dan mereka pun mengizinkan.
Kami sepakat bertemu di Puncak Lumbir.
Menuju Lumbir |
Tanjakan Lumbir |
Aku mulai bisa merasakan, kemudian mensyukuri. Mensyukuri udara panas yang
membuatku berkeringat. Angin sepoy-sepoy yang menerpa saat ada turunan. Peluh
yang pedih di mata. Anak-anak kecil yang melambaikan tangan dari pinggir jalan.
Pepohonan hijau yang tegak berdiri. Mobil-mobil yang melewatiku. Langit luas
berwarna biru. Tanjakan dan turunan yang silih bergantian. Sepeda yang bergulir
di jalan. Aspal dan kerikil yang bergesekan dengan ban sepeda. Irama napas yang
menyatu dengan detak jantung. Kaki yang mengayuh. Tangan yang mencengkram stang
sepeda. Mata yang melihat lekukan jalan di depan. Telinga yang mendengar
gesekan angin. Jemari yang refleks mengatur rem dan perpindahan gigi. Kacamata
yang melorot dari batang hidung.
Betapa anggunnya kehidupan ini.
Tanpa aku sadari air mata perlahan mengalir membasahi pipi. Terus. Dan
terus. Mengalir.
Aku merasa hidup.
Karena fokus pada yang terjadi pada diri, aku sampai lupa memerhatikan
Puncak Lumbir. Aku mulai memecah fokus untuk melihat Puncak Lumbir, namun tidak
bisa menemukannya. Akhirnya aku kayuh terus sampai menemukan masjid di Wangon,
yaitu masjid Al-Imla. Aku mengabari teman-temanku untuk bertemu di masjid
tersebut. Baru setelah tiba di masjid, aku mengecek jam tangan: pukul 14.00
WIB.
Masjid Al-Imla |
Perutku mulai berontak minta diisi dan kepalaku sudah mulai sedikit pusing.
Aku malah tertawa merasakan reaksi tubuhku. Aku juga baru sadar aku belum
makan besar seharian. Sambil menunggu teman-teman, aku mengobrol dengan penjaga
masjid yang menyapaku. Setelah satu jam menunggu, akhirnya satu persatu
teman-teman tiba di masjid. Aku sempat dimarahi karena tidak berhenti di Puncak
Lumbir. Ternyata yang dimaksud Puncak Lumbir itu adalah Tugu Batas Kota. Aku
meminta maaf karena tidak tahu.
Dari masjid kami bergeser sedikit ke rumah makan Tirta Gading tidak jauh
dari masjid. Ada teman Mondo yang merupkan ketua Federal Wangon ikut menemani
kami. Saat yang lain mengobrol, aku sibuk memesan banyak makanan. Saat makanan
tiba, yang lain tenggelam. Yang ada hanya makanan dan diriku saja. Beres makan,
tubuhku mulai bisa fokus mendengar omongan orang lain. Tahu-tahu kami sudah
harus memulai lagi perjalanan. Aku celongo dan melihat jam tangan. Tak terasa
sudah pukul 17.00 WIB. Aku segera mencari penginapan di aplikasi akomodasi dan
menemukan hotel hemat dengan harga Rp200.000,00 per malam, yaitu hotel Cadaka
di Kebumen, yang berjarak sekitar 55 km. Walau jauh, Mondo menyakinkan kami
bahwa jalanan tidak sebrutal sebelumya.
Pemandangan saat perjalanan |
Kami pamit kepada teman Mondo (jujur aku lupa namanya) dan mulai
merayap di jalanan. Karena jalanan cukup padat dan menjelang malam, kami
berlima merapatkan barisan. Saat azan magrib kami berhenti dulu sambil
beristirahat. Dampleng yang tidak mengenakan celana padding akhirnya
harus menyerah mencari pembalut sebagai padding darurat. Kami mampir ke
toko swalayan untuk membeli pembalut. Karena kebingungan kami bahkan sempat
bertanya apa saja pembalut yang bagus. Setelah Dampleng merasa sedikit lebih
nyaman dengan padding darurat, kami mulai lagi mengayuh sepeda.
Karena jalanan relatif datar, banyak mobil yang melaju dengan cepat. Selain
itu jalanan juga bergelombang sehingga tidak bersahabat untuk sepeda. Kami
harus bersepeda di pinggir sekali di sebelah kiri marka jalan kami. Ada dua
mobil ugal-ugalan dari arah berlawanan yang mencoba menyusul bus di depannya.
Dua mobil tersebut hampir menyenggol teman-temanku. Karena aku paling belakang,
spion mobil tersebut menyenggol lengan kananku sehingga aku terjerembab ke sisi
jalan yang berupa tanah lumpur. Aku sempat kaget, tapi mengucap syukur karena
tidak terluka. Semoga saja para penumpang mobil tersebut diberikan keselamatan.
Untuk menenangkan diri kami istirahat di pom bensin terdekat. Aku mengambil
air wudlu dan salat. Aku berusaha menenangkan diri. Aku sungguh malu karena
berencana salat setelah tiba di penginapan. Bagaimana jika mobil tadi
menabrakku dan aku menunda salat karena hal duniawi seperti bersepeda?
Setelah tenang, aku kembali ke rombongan. Kami mulai meneruskan perjalanan pukul 19.30 WIB. Jalan kembali mulus dan mudah dilewati, hanya saja tetap dengan penerangan jalan yang minimal. Saat melewati tanjakan pertama, aku pamit lagi untuk memacu sepedaku. Aku ingin segera istirahat dan jajan es krim dan cokelat. Karena saat PPKM, toko swalayan hanya buka hingga pukul 20.00 WIB, jadi aku harus tiba lebih dahulu untuk membeli persediaan malam itu. Walau jalanan sepi dan gelap, aku mencoba mengayuh sepedaku sekuat tenaga. Aku melewati jembatan yang sungguh gelap. Beruntung ada mobil yang menyinari jalanku. Mobil tersebut berisi muda-mudi yang mengajak aku mengobrol saat aku sedang gowes. Aku berpikiran positif, tapi tetap waspada. Aku berkata sedang menunggu teman-temanku di belakang dan menurunkan kecepatanku. Mereka kemudian pergi.
Kamar hotel Cadaka |
Pukul 20.10 WIB aku tiba di hotel Cadaka. Aku menitipkan sepeda ke penjaga hotel dan bergegas mengujungi toko swalayan tepat di sebelah hotel. Beruntung toko tersebut buka hingga pukul 21.00 WIB. Setelah itu aku mengambil kunci kamar di resepsionis. Hotel Cadaka adalah hotel yang sangat luas dan sepi. Aku sempat berpikir bangunannya seperti bekas rumah sakit. Kamar kami terletak di pojok belakang. Sebelum aku masuk kamar, keluargaku menelepon sehingga aku mengobrol terlebih dahulu dengan mereka. Pukul 21.15 WIB teman-teman kemudian berdatangan. Aku sudah beli beberapa camilan dan air mineral. Kami juga memesan makanan dari aplikasi daring sebagai makan malam kami. Setelah mengobrol dan mengevaluasi perjalanan etape 2, kami masuk ke kamar masing-masing. Dengan harga yang sama, kamar yang kami tinggali empat kali lebih luas dari kamar hotel sebelumnya. Bahkan sepeda pun bisa masuk kamar. Kamar mandinya besar (dan memang seperti kamar mandi rumah sakit). Lampu temaram dan Wi-Fi tidak bisa terlalu diandalkan. Beres bersih-bersih dan salat, aku menulis jurnal sambil memakan es krim, cokelat, dan susu dingin. Melewati Jawa Tengah dan Jawa Timur membuatku sedikit melankolis. Aku teringat tentang perjalanan dan kenangan yang pernah aku lalui selama sepuluh tahun terakhir. Salah satunya tahun 2015 saat perjalanan mengambil data untuk tesis.
Saat itu aku bertemu beberapa orang baik. Salah satunya seorang musafir. Satu
siang aku sedang transit di terminal Kediri. Aku mencari warung kecil dan
memesan mi rebus. Aku kemudian duduk di trotoar dekat warung tersebut. Aku
menurunkan tas 60 literku dan aku sandingkan ke sebelahku. Di sebelahku ada
seorang pria dengan baju pangsi hitam dan sandal tarumpah sedang
duduk. Kira-kira usianya lebih tua dariku sedikit. Ia mengenakan kopiah hitam.
Di pundaknya terselip sarung yang dibuntal untuk membawa beberapa barang. Di depannya
botol mineral yang sudah buram berdiri setengah isi. Aku menyapanya dan
menawarinya mi rebus. Aku memesan satu mi rebus untuknya. Ia berterima kasih
dan kami bertukar cerita. Ternyata pria itu sedang mengembara sebagai bagian
dari perjalanan spiritualnya. Ia berasal dari salah satu pondok di Tasikmalaya
dan sudah mengelilingi Jawa lewat bagian Utara ke arah Selatan kemudian Barat.
Ia hanya sedikit bercerita, banyak senyum. Yang membuatku terkejut dan kagum
adalah ia sama sekali tidak membawa uang dan ia tidak mau meminta kecuali
ditawarkan. Ia berkata padaku bahwa dari pagi ia belum makan, dan saat aku
menawarinya (bahkan sedikit memaksa) makan mi rebus, ia percaya itu bukan
sebuah kebetulan. Ia bercerita selama ini ia menemui banyak orang baik dan sisi
baik dari orang yang dianggap tidak baik. Pada saat itu aku masih skeptis
terhadap hal seperti itu. I just shrugged it off and replied it was
only a bowl of instant noodles. Tapi ia, berterima kasih kepadaku. Kami
berpisah karena busku sudah tiba.
Lamat-lamat dalam hidup, pengalaman itu berkelindan dan menguntai menjadi
satu pemahaman. Termasuk gowes ke Yogyakarta yang tiap hari memberikan pelajaran berbeda. Aku beruntung sering menulis perasaan dan pengalamanku ke dalam buku harian karena dengan begitu aku bisa mengevaluasi dan menghidupkan kembali apa yang pernah aku rasa, baik dan buruk. Mengingat kenangan, perasaan, dan juga pengalaman menumbuhkan
pemahaman akan pemaknaan hidup. Bagi sebagian orang pemaknaan bisa diraih
sejengkal tangannya. Bagi sebagian lagi harus melewati gunung dan menyebrangi
lautan. Keduanya adalah berkah. Tak ada yang kurang, dan tak ada yang lebih.
Karena pemahaman itu diberikan, bukan didapatkan.
Pemahaman itu, buatku, diberikan oleh pengalaman-pengalaman kehidupan di
luar sana. Bertemu orang-orang, perjalanan diri, dan dinamika pergantian
perseptual akan baik dan buruk. Mendengarkan kisah-kisah orang di perjalanan,
mendengarkan kesendirian dan kebisingan yang silih berganti. Sebelum tidur, aku
mengutip salah seorang aktivis lingkungan yang aku kagumi, Mark Baumer, yang
berjalan telanjang kaki mengelilingi Amerika. Pada hari ke 94 ia berjalan kaki
mengelilingi Amerika, ia menulis:
“It's amazing how often we all forget this is the only opportunity we are ever going to have to live this life.”
Tulisan Mark Baumer inilah yang aku kutip dan garis bawahi di buku harianku dan aku bawa tidur ke dalam mimpi.
Bersambung ke Hari Ketiga.
Comments
Post a Comment