Tiap barang memiliki masa guna pakainya. Ini adalah suatu kemutlakan. Tetapi apakah masa hidup tersebut ditentukan secara sengaja oleh produsennya atau ekses yang tidak disadari oleh produsen? Misalnya kita membeli suatu gawai dengan garansi dua tahun. Lantas tepat setelah dua tahun gawai tersebut sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki walaupun sebelumnya penggunaan dalam keadaan normal dan pemeliharaan sesuai dengan manual. Nah, masa guna pakai ini apakah setara dengan harga yang dibayar?
Secara teoritis hal ini bisa dinilai lewat ongkos produksi ataupun analisis
biaya-untung (cost-benefit analysis) sehingga nilai aslinya bisa dihitung. Namun, tidak menutup kemungkinan
produsen juga menerapkan planned obsolescence, yaitu kebijakan
perusahaan untuk merencanakan atau mendesain sebuah produk yang dengan secara
sengaja membatasi waktu guna produk tersebut lewat kerapuhan tertentu yang mengakibatkan
barang tersebut akan tidak berguna dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Dari sisi konsumen tak jarang kita juga merasa tidak puas akan produk yang kita
gunakan walaupun masih berfungsi normal. Kita memiliki tendensi untuk percaya
bahwa kita butuh produk yang lebih baik (updated version or upgraded
version) walaupun produk yang kita miliki saat ini masih berfungsi dengan
baik. Inilah perceived obsolescence.
Di sisi produsen planned obsolescence ini bisa dijustifikasi oleh Inovasi
Kurvas S. Inovasi Kurva S ini menggambarkan produk dan jasa yang awal
pembuatannya membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan biaya untuk bisa memiliki
dampak yang stabil. Jadi, perusahaan bisa beralasan pada saat satu produk
dikenalkan ke pasar, produk tersebut juga masih dalam pengembangan yang lebih
matang. Seringkali produk tersebut seiiring waktu akan semakin matang dan established.
Sayangnya ketika produk tersebut sudah matang, akan ada produk baru yang
dikenalkan lagi ke pasar. Tidak hanya Inovasi Kurva S, ada juga inovasi
inkremental dan model Henderson-Clark yang secara konseptual mendorong
perusahaan untuk terus berinovasi untuk terus berkembang. Secara teoritis, itulah
bagaimana inovasi terus diciptakan.
Aku tidak akan membahas dalam mengenai desain dan manajemen industri karena memang itu bukan keahlianku. Aku hanya ingin berbagi pandangan dari sudut pandang konsumen tentang masa guna pakai sebuah produk. Berkaitan dengan masa guna produk, ada produk yang membuatku selalu tertarik, yaitu produk yang ber-IP68 atau anti air.
Ketertarikan pada gawai yang anti air ini jadi agak berlebihan. Gawai anti air pertamaku adalah Ericsson R310 alias ponsel hiu. Ponsel ini anti air dan bisa digunakan untuk melempar orang yang menyebalkan. Ketertarikan tumbuh dan berkembang pada Sony Xperia Z2, Z3, Xperia X Performance, dan LG G6. Mereka dibekali IP68 yang secara definisi tahan debu dan air pada kedalaman 1.5 meter selama 30 menit di air tawar.
Pertama kali Xperia Z2 aku coba di kolam renang. Setelah pemakaian sesuai dengan petunjuk, kameranya blur. Alhasil harus dirawat di Sony Service Center selama tiga bulan. Kala itu pemakaian baru satu bulan saja. Seminggu setelah sembuh, aku coba lagi di kolam renang. Alhasil layarnya tidak berfungsi secara normal. Ia harus dirawat lagi selama dua bulan. Setelah itu petugas Service Center mengatakan padaku untuk tidak menggunakannya di kolam renang. Aku kemudian balas bertanya, “Kalau tidak bisa dipakai di kolam renang apa gunanya IP68?” Tentu saja pertanyaan itu hanya retoris belaka. Aku tidak berharap petugas itu menjawab pertanyaanku. Aku tahu ia hanya menunjukkan simpati padaku yang bolak balik menitipkan ponsel di situ.
Setelah garansi habis, aku coba sekali
lagi mencemplungkannya ke kolam renang dan sudah ikhlas dengan segala konsekuensinya. Ternyata
airnya rembes ke dalam ponsel dan LCD-nya harus diganti. Akhirnya aku museumkan
di rumah. Walau belajar dari pengalaman, aku belum jera menyukai ponsel anti
air. Suatu saat Xperia Z3 ada di tangan. Aku tahan untuk tidak membawanya ke dalam
air hingga suatu hari saat naik motor aku kehujanan. Bisa ditebak ponselku yang ada aku simpan di saku celanaku ikut basah dan langsung ngadat. Akhirnya aku titipkan lagi ke Sony Service Center. Ponsel ini
lumayan bertahan lama, yaitu dua tahun sampai akhirnya baterainya bermasalah dan tak bisa hidup lagi.
Dua ponselku terakhir Xperia X Performance dan LG G6 sudah bertahan hampir
tiga tahun hingga saat ini. Berkaca dari pengalaman ponsel Sony tidak pernah aku bawa
dekat-dekat dengan air. Sementara LG G6 beberapa kali aku bawa masuk ke kolam
renang masih lumayan tangguh. Hanya saja aku harus mengganti pelindung lensa
kameranya dua kali karena berembun akibat kondensasi di kolam renang.
Gawai lainnya yang ku kira tahan air adalah Go Pro 4 dan 5, serta Sony Walkman.
Go Pro 4 tidak bisa diajak berenang tanpa pelindung badannya, jadi tidak usah
dibicarakan. Go Pro 5 sebetulnya cukup memuaskan. Hanya saja saat dibawa
menyelam performanya jadi tidak stabil. Kadang tombolnya macet atau bahkan bisa
merekam otomatis selama dua jam setelah diajak menyelam.
Yang menarik buatku adalah gawai Sony Walkman NW-WS623 dan NW-WS413. Sony
NW-WS623 aku beli di JB HiFi Melbourne sekitar 249 AUD. Spesifikasinya lumayan:
ada Bluetooth untuk mendengarkan musik secara nirkabel dari ponsel (NFC),
bisa menerima telepon, ada noise cancellation, ambiance mode dan
memiliki memori internal sebesar 4 GB. Desain yang ergonomis membuatnya nyaman
dikenakan di telinga. Suaranya juga tidak terlalu buruk untuk dipakai saat lari
atau berenang karena dibekali earbuds khusus untuk berenang. Oh ya walkman
ini dilengkapi IP68 dan IP65. Malah Sony mengklaim walkman ini bisa diajak
berenang selama 30 menit di dalam air dengan kedalaman 2 meter, baik di dalam air
tawar maupun laut.
Mungkin ada yang bertanya buat apa mendengarkan musik saat berenang?
Jawabannya sama dengan buat apa mendengarkan musik saat berlari. Buatku mendengarkan
musik saat berenang bisa membuat badan lebih rileks dan nyaman di dalam air
sehingga waktu berenang bisa menjadi lebih lama.
Sayangnya hanya dalam waktu tiga bulan walkman tersebut sudah rusak.
Mati total. Padahal aku selalu menggunakannya sesuai instruksi, termasuk
setelah memakainya berenang. Mulai dari tidak dibawa menyelam lebih dari 30
menit dan lebih dari kedalaman 2 meter. Logikanya, aku tidak mungkin terus
berada di dalam air selama 30 menit tanpa jeda. Saat berenang pun aku selalu
menggunakan earbuds yang disediakan khusus untuk berenang. Pihak Sony
Australia menyebutkan bahwa garansinya berlaku global.
Saat itu aku memakainya berenang di Bandung dan rusak. Aku lantas mengunjungi Sony Service Center di Bandung, tapi mereka menolak dengan alasan walkman tersebut tidak disertai
garansi Indonesia. Akhirnya aku menunggu untuk memperbaikinya saat kembali di
Australia. Sekembalinya di Australia ternyata aku lupa menyimpan struk
pembelian di Bandung sehingga walkmanku tidak bisa diperbaiki. Yang terakhir
ini murni keteledoranku. Akhirnya walkman ini menjadi masuk ke dalam museum
pribadi.
Ketika aku pulang lagi ke Bandung, aku pergi ke satu mal dan melihat walkman
versi downgrade dari yang aku beli pertama, yaitu NW WS-423. Semuanya
fiturnya hampir serupa, hanya saja walkman ini tidak memiliki NFC/Bluetooth dan
tidak bisa menerima panggilan telepon. Karena aku suka dengan walkman ini untuk
berenang, fitur versi downgrade-nya pun bisa aku terima. Selain itu di
Australia harganya sekitar Rp2.100.00,00. Sementara di Indonesia harganya hanya
Rp1.499.000,00. Tanpa berpikir panjang, aku putuskan untuk membelinya. Seperti
kakaknya, performa walkman ini cukup memuaskan di kolam renang.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, aku berupaya ekstra hati-hati dalam menjaga
walkman ini. Lebih hati-hati daripada aku menjaga diriku sendiri. Aku sampai membeli
lap khusus untuk membersihkannya setelah berenang. Aku juga membiarkannya
kering selama tiga hari sebelum mengisi ulang dayanya.
Kebersamaan ini tampak menyenangkan hingga satu hari baru-baru ini. Satu
Sabtu yang cerah aku memutuskan untuk berenang ditemani lagu-lagu yang sudah
aku susun di walkmanku. Saat sedang berenang ditemani lagu kelima dari walkman
ini, tiba-tiba ia mati begitu saja. Aku pikir baterainya habis. Akhirnya aku
copot dan simpan di meja tempat aku menyimpan tasku. Kemudian aku melanjutkan
sesi renangku hingga dua jam lamanya (yang ternyata tanpa walkman ini pun aku
bisa berenang hingga dua jam lamanya).
Setibanya di rumah aku biarkan walkman untuk istirahat dulu selama delapan
jam sampai kering betul. Kemudian aku beranikan isi ulang dayanya. Lampu
indikator menyala oranye tanda ia berhasil diisi ulang. Aku tinggal kurang
lebih dua jam. Saat aku periksa kembali, ternyata lampu indikatornya mati.
Seharusnya jika dayanya penuh, lampu indikator menyala kuning. Aku coba menekan
tombol nyala. Ternyata tidak berfungsi. Aku coba menggunakan kepala pengisi
daya ulang yang lain. Tidak berfungsi juga. Aku coba menggunakan laptop juga
tidak bisa.
Padahal baru 18 bulan kebersamaan aku dengan walkman ini. Enam bulan
setelah garansinya habis. Aku beranikan diri lagi untuk membawanya ke Sony Service Center. Petugas di sana berkata bahwa walkman aku bisa diperbaiki dengan
harga sekitar Rp1.390.000,00. Hampir setara harga baru.
Aku cuma bisa menghela napas. Lantas aku ditawarkan lagi untuk membeli yang baru. Aku hitung-hitung jika 18 bulan hanya kebersamaan kami, berarti nilai perbulannya sekitar Rp84.000,00. Jika sebulan aku berenang empat kali, berarti satu kali berenang ditemani walkman ini bernilai Rp21.000,00. Lumayan menggiurkan.
Beli jangan?
Sebelum terburu-buru membeli produk yang sama, aku coba berpikir ulang
seberapa jauh aku membutuhkan walkman tersebut. Aku jadi berpikir bahwa semakin
berkembang teknologi, maka probabilitas semakin rapuh juga semakin besar. Satu hal
yang tidak pernah aku pikirkan adalah kesiapanku saat barang yang aku beli
rusak setelah habis garansinya dan tak bisa diperbaiki lagi. Apa memang barang yang
kita miliki bisa mendefinisikan kita? Atau ia sebetulnya hanya alat untuk
membantu kita?
Dengan pemakaian normal dan kondisi ceteris paribus, ada berapa barang yang
bisa kita perbaiki dan akhirnya bertahan lebih dari lima tahun? Atau ada berapa
banyak barang yang dalam lima tahun hanya teronggok menjadi bangkai yang tidak
bisa didaur ulang?
Ini yang memicu aku berpikir tentang planned obsolescence dalam
industri yang masif ini. Memang jarang produsen gawai yang memberikan garansi lebih
dari dua tahun. Setahuku untuk garansi yang cukup lama hanya diberikan pada
beberapa barang seperti pakaian saja. Bahkan L.L.Bean yang terkenal memberikan
garansi seumur hidup telah mengganti kebijakan garansinya pada 2018 yang
awalnya seumur hidup menjadi satu tahun saja. Di sisi lain konsumen juga harus
bisa bertanggung jawab terhadap pemakaian produk yang dimiliki karena ada
sebagian konsumen yang merasa berada dalam lindungan garansi sehingga
menggunakan barang seenak hati. Ini yang membuat L.L.Bean merevisi kebijakan
garansi seumur hidupnya.
Persoalan kepemilikan barang ini memang pelik. Barang memang bisa
menambah intensitas perasaan atau kepuasaan dalam menikmati suatu barang. Namun, ketergantungan pada suatu barang malah membuat hubungan kita dengan barang tersebut
jadi kebalikan: makna momen yang kita miliki malah harus didefinisikan
oleh kepemilikan suatu barang.
Jadi, beli jangan?
Comments
Post a Comment