Pagi di Masigit Kareumbi |
Menjelang pengujung 2019 lalu saya berkesempatan mengikuti kegiatan Wali Pohon Masigit Kareumbi di Taman Buru Masigit Kareumbi. Diawali keinginan saya untuk menanam tanaman pohon
(berkayu) di halaman rumah, namun terkendala lahan terbatas yang hanya bisa
ditanami tanaman hias di pot, membuat saya harus mengugurkan keinginan saya. Pohon
memiliki banyak fungsi vital dalam kehidupan, seperti fungsi orologis, hidrologis,
dan sekuestrasi karbon. Bagi saya menanam tanaman adalah manifestasi kesadaran diri untuk menahan laju pemanasan global secara mikro, selain juga mengurangi jejak karbon.
Berbekal internet dan waktu luang, saya menelusuri bagaimana caranya
menanam pohon di lahan publik. Keinginan saya kembali merekah saat saya
menemukan program wali pohon yang diadakan di Taman Buru Masigit Kareumbi
(TBMK). Setelah sedikit mendalami tentang wali pohon, ternyata program ini sudah
dikenal lama di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kenya, Brazil, dan
Australia, dengan istilah tree adoption
program. Programnya sederhana: kita mengadopsi sejumlah pohon dengan
membayar sejumlah uang untuk memeliharanya di satu kawasan yang sudah
ditentukan.
Tentu saja saya langsung mendaftar. Beruntungnya, program wali pohon di
TBMK ini berkelindan dengan kegiatan Sekolah Kader Konservasi yang
diselenggarakan WANADRI dan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan di akhir 2019. Selain bisa jadi wali pohon, saya juga
berkesempatan ikut sekolah kader konservasi.
Wali Pohon Masigit Kareumbi
Enam tahun kuliah di Jatinangor, keberadaan TBMK ini luput dari batang hidung saya. Karena itu, sebelum mengenalkan program wali pohon, mari kita mengenal TBMK.
Taman Buru
Masigit Kareumbi secara administratif terletak di tiga kabupaten, yaitu
Sumedang, Kabupaten Bandung, dan Garut. Akses masuk bisa dicapai lewat beberapa jalan: Rancaekek, Sumedang, dan Limbangan. Saat saya berkunjung ke sana akses jalan utama via Bypass Cicalengka, tepatnya Sindangwangi - Curug Sinulang, sedang mengalami perbaikan jalan hotmix. Saya diarahkan lewat jalur alternatif, yaitu lewat Parakan
Muncang via Cimanggung dan Tanjungwangi. Namun, saat tulisan ini dibuat, saya mengecek kembali informasi terbaru dan mendapatkan jalur curug Sinulang sudah bisa dilalui. Butuh waktu satu jam dari Parakan Muncang hingga tiba di pintu masuk TBMK. Jalan utama Curug Sinulang sudah bagus dan laik jajal.
Sesuai namanya Taman Buru ini awalnya didesain untuk kegiatan
berburu terbatas untuk spesies tertentu. Namun begitu, akibat tekanan yang begitu
besar TBMK ini diubah statusnya menjadi kawasan konservasi. TBMK memiliki beragam flora dan fauna, seperti Rasamala dan Pasang, serta Macan Tutul dan Lutung. Sayangnya sampai 2008, TBMK mengalami perambahan dan pembalakan liar. Banyak fasilitas yang terbengkalai dan infrastruktur yang dirusak atau dicuri. Namun sejak 2008, kondisi TMBK sudah mulai membaik dari segi sarana dan prasarana, serta manajemen kawasan.
Ada beberapa cara untuk berpartisipasi dalam kegiatan di TBMK. Salah satunya dengan menjadi wali pohon. Menjadi wali pohon di TMBK sangat praktis: cukup melakukan registrasi daring dan
membayar biaya pemeliharaan Rp50.000,00/bibit pohon. Biaya tersebut akan digunakan untuk memelihara pohon yang kita adopsi. Penanamannya bisa diwakilkan atau bisa juga ditanam sendiri langsung di lokasi.
Saya memilih menanam langsung di lokasi karena berbarengan dengan kegiatan di TBMK. Pohon yang saya adopsi adalah Ki Sireum atau yang bernama ilmiah Syzygium lineatum. Setelah resmi jadi wali pohon, saya mendapat sertifikat dan identitas daring untuk memantau perkembangannya.
Saya memilih menanam langsung di lokasi karena berbarengan dengan kegiatan di TBMK. Pohon yang saya adopsi adalah Ki Sireum atau yang bernama ilmiah Syzygium lineatum. Setelah resmi jadi wali pohon, saya mendapat sertifikat dan identitas daring untuk memantau perkembangannya.
Saya dan Ki Sireum |
Sertifikat Wali Pohon |
Sekolah Kader Konservasi
Pada saat mengikuti Wali Pohon, saya juga mendaftar program Sekolah
Kader Konservasi di TBMK yang diadakan selama tiga hari dua malam. Sekolah
Kader Konservasi yang diselenggarakan di sini merupakan tingkat pemula, yaitu hanya 25 jam pelajaran saja
termasuk teori dan praktik. Setelah pemula ada tingkatan lainnya, yaitu madya dengan 50 jam
pelajaran dan tingkat utama dengan 90 jam pelajaran.
Saya tiba di lokasi pukul 08.00 dan lanjut ke meja registrasi dan mengonfirmasi kehadiran saya. Saat itu belum terlalu banyak peserta yang hadir. Saya kemudian diarahkan menuju lapangan utama yang cukup luas untuk mendirikan tenda tempat
saya bermalam tiga hari ke depan. Di lapangan ini pula sebagian besar kegiatan
dilaksanakan. Saya begitu antusias kembali ke sekolah. Bukan dengan kungkungan
tembok dan kursi-kursi kayu, melainkan dengan atap langit dan udara terbuka
ditemani pepohononan dan suara burung. Walaupun kenyataannya materi kelas utama
tetap saja diadakan di tenda besar, saya tetap senang.
Belajar Konservasi |
Kegiatan baru dimulai setelah zuhur saat semua peserta sudah kumpul. Dalam
laporan panitia disebutkan 150 orang peserta menjadi peserta yang terdiri dari beragam komunitas pecinta
alam, profesional, mahasiswa, dengan variasi umur 14 tahun sampai 55 tahun yang
berasal dari beberapa daerah di luar Jawa, seperti Medan, Makassar, dan
Lampung. Setelah pembukaan selesai, peserta dibagi ke dalam 15 kelompok.
Hari pertama materi kegiatan berkutat di kelas utama yang mencakup Bina
Cinta Alam dari KLHK, Dasar-dasar Kepemimpinan dari Ketua Harian Satgas Citarum
Harum Mayjen TNI (Purn.) Dedi Kusnadi Thamim, dan seputar TMBK dari Manajer
TMBK Kang Echo. Kang Echo menjelaskan secara komprehensif mengenai kondisi TBMK
kini. Saya baru tahu kalau TMBK kini sudah tidak memiliki zona penyangga karena
besarnya tekanan alih fungsi lahan.
Dalam satu salindia yang Kang Echo jelaskan, ada
wilayah perbukitan yang dijadikan lahan tanam tanpa mengikuti kontur lahan dan tanpa zona penyangga.
Tanpa zona penyangga, lahan tersebut berpotensi longsor dan bisa berakibat
buruk pada permukiman warga. Karena itu partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam mengelola kawasan menjadi krusial. Penjelasan Kang Echo membuat saya agak tercenung sekaligus menutup hari pertama yang selesai
pukul 22.30. Semua peserta kembali ke masing-masing tenda.
Hari kedua saya bangun pukul 04.00. Walau mata masih berat, saya memaksakan menggerakkan tubuh untuk keluar tenda dan bersiap memulai kegiatan. Beruntung cuaca pagi di TBMK tidak terlalu mengundang gigil. Ketinggian di kawasan ini ada di Gunung Kerenceng dengan ketinggan 1763 mdpl. Saya menantikan materi hari kedua ini karena banyak praktik lapangan dengan materi kelas yang padat. Dimulai dengan salat subuh dan olahraga pukul 05.00, lanjut dengan praktik Dasar Ekologi oleh Penggiat Konservasi Agung Kusumanto, praktik Flora dan Fauna oleh Teh Evy dan Kang Chiko dari Wanadri, dan Kehutanan Umum oleh Kabid Wilayah 2 Soreang BBKSDA Jawa Barat Pupung Purnawan, Perubahan Iklim oleh Menteri Negara Lungkungan Hidup Indonesia (1993-1998) Sarwono Kusumatmadja, Wisata Alam dari Ketua Indecon (Indonesia Eco-tourism Network) Teh Indri, serta Forum Komunikasi Kader Konservasi Dedi Kurniawan.
Ki Sireum |
Hari kedua saya bangun pukul 04.00. Walau mata masih berat, saya memaksakan menggerakkan tubuh untuk keluar tenda dan bersiap memulai kegiatan. Beruntung cuaca pagi di TBMK tidak terlalu mengundang gigil. Ketinggian di kawasan ini ada di Gunung Kerenceng dengan ketinggan 1763 mdpl. Saya menantikan materi hari kedua ini karena banyak praktik lapangan dengan materi kelas yang padat. Dimulai dengan salat subuh dan olahraga pukul 05.00, lanjut dengan praktik Dasar Ekologi oleh Penggiat Konservasi Agung Kusumanto, praktik Flora dan Fauna oleh Teh Evy dan Kang Chiko dari Wanadri, dan Kehutanan Umum oleh Kabid Wilayah 2 Soreang BBKSDA Jawa Barat Pupung Purnawan, Perubahan Iklim oleh Menteri Negara Lungkungan Hidup Indonesia (1993-1998) Sarwono Kusumatmadja, Wisata Alam dari Ketua Indecon (Indonesia Eco-tourism Network) Teh Indri, serta Forum Komunikasi Kader Konservasi Dedi Kurniawan.
Setiap pemateri sangat antusias berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka,
begitu pula para peserta. Cuaca mendung dan hujan tidak menyurutkan antusiasme kami. Saya sendiri sangat tertarik dengan materi perubahan
iklim yang disampaikan Bapak Sarwono. Saya sempat bertanya dan berdiskusi
dengan beliau mengenai cara merawat optimisme dalam gerakan konservasi dan
kepedulian lingkungan di masyarakat akar rumput yang seringkali menjadi tidak
efektif saat berhadapan dengan keputusan elit politk yang sering
kontraproduktif dengan spirit konservasi. Beliau menjawab, “Tidak bisa
dipungkiri bahwa generasi terdahulu memiliki inersia yang sulit membuat
pergerakan begitu efektif dan selaras dengan semangat anak-anak muda sekarang,
namun jangan berkecil hati. Karena perubahan itu pasti terjadi dari bawah.”
Jawabannya cukup untuk menyiram optimisme dan merawat kewarasan saya mencintai
lingkungan dengan cara yang saya bisa.
Saya Melempar Pertanyaan. Sumber: dokumentasi panitia |
Setelah materi hari kedua ditutup pukul 23.00, kami segera kembali ke tenda
masing-masing. Kelar beres-beres, saya langsung masuk ke kantung tidur saya. Hari
kedua ini sungguh melelahkan tapi seru dan menarik.
Hari terakhir diawali rutinitas yang serupa dengan hari kedua: salat subuh dan
olahraga. Kemudian dilanjutkan materi P3K dari Atlas Medical Pioneer Unpad dan
Dasar Komunikasi Lapangan dari Basarnas. Acara diutup menjelang pukul 17.00.
Secara keseluruhan Sekolah Kader Konservasi ini memberikan banyak wawasan
lingkungan dan praktik konservasi. Pengorganisasian kegiatan pun padat dan
efisien secara waktu. Ya, harapannya sekolah seperti ini bisa menumbuhkan
penggiat konservasi untuk daerahnya masing-masing. Setidaknya untuk dirinya
sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Beberapa dokumentasi pribadi:
Beberapa dokumentasi pribadi:
Belajar Menanam Pohon |
Belajar Dasar Komunikasi Lapangan |
Belajar Dasar P3K |
Belajar Memasang Kamera Jebakan |
Comments
Post a Comment