Saya dan Poster Penelitian saya |
Minggu lalu saya berkesempatan menghadiri Seminar Internasional Kebahasaan di Jakarta yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Beruntung karena pekan itu saya juga berencana ke Jakarta untuk ikut konsolidasi proyek yang sedang dikerjakan satu konsultan.
Berawal dari penelitian tentang
kebahasaan yang saya kerjakan, supervisor saya menyarankan saya untuk mengikuti
Seminar Internasional Kebahasaan ini sebagai bentuk evaluasi. Judul seminarnya cukup
panjang, yakni 'Memajukan Peran Bahasa dalam Kancah Kontemporer Indonesia:
Penguatan Strategi dan Diplomasi di Berbagai Bidang'. Walaupun tidak sebidang
dengan latar belakang pendidikan saya, saya tak menolak kesempatan ini. Oleh
karena itu saya ikuti proses submisi makalah. Setelah menunggu cukup lama, saya
mendapat kabar satu kali revisi untuk bisa terpilih menjadi salah satu
pemakalah poster.
Seminar Internasional Kebahasaan
ini bertempat di salah satu hotel di jalan Cikini. Ada empat subtema yang diusung,
yaitu 1) Bahasa dan Pengajaran, 2) Forensik Kebahasaan, 3) Penerjemahan, 4)
Kebinekaan dan Kekerabatan Bahasa. Saya memilihi subtema keempat walaupun
sebenarnya tertarik dengan subtema kedua dan ketiga. Seminar ini dihadiri akademisi
dan pegiat bahasa yang dirangkai dengan lokakarya. Saya berkenalan dengan
dosen, guru, dan pegawai Balai Bahasa dari beragam daerah. Saat melihat daftar
pemateri utama, teman saya berkomentar bahwa sebelas pemateri utama dalam
seminar ini memiliki kredibilitas tak diragukan di bidangnya baik secara
nasional maupun internasional. Walaupun begitu, nama mereka masih asing di
telinga saya.
Materi yang disajikan cukup
beragam sesuai dengan subtema masing-masing. Misalnya saja ada Prof. Emi
Emilia, M.Ed, Ph.D yang mewakili Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Prof.
Emi membahas tentang pengajaran bahasa di tengah era globalisasi. Kemudian
Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M. Pd dari Universitas Negeri Yogyakarta yang memaparkan
tentang media sosial sebagai sarana diplomasi di era milenial.
Profesor Sutrisna Membahas Media Sosial |
Jumlah jam yang dialokasikan untuk seminar sebanyak 21 jam dan untuk lokakarya 36 jam selama empat hari. Jadi totalnya 57 jam. Materi seminar sebanyak 21 jam disajikan secara pleno yang artinya tiap orang harus menyaksikan materi tersebut. Sementara lokakarya terbagi ke dalam 11 kelas berikut:
Dapat rupa-rupa pengetahuan linguistik |
Saat saya mengikuti kelas kebinekaan yang menelusuri kekerabatan bahasa Alor dengan Proto Melayu Polynesia, kepala saya lama-lama berdenyut pusing. Terlebih sebelumnya saya menelan kelas diakletologi dan linguistik diakronis. Walau dikemas dengan terminologi khusus dan teknis, menariknya kekerabatan Bahasa Alor ini dipresentasikan Prof. Dr. M. A. F. Klamer yang merupakan dosen lingustik University of Leiden. Ia mengemukakan materinya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih. Di sela-sela kelas, Prof. Klamer menanyakan latar belakang peserta yang ikut lokakarya ini. Dari peserta yang ada, hanya saya yang profesinya tidak berkaitan langsung dengan kebahasaan. Saya mengutarakan latar belakang pendidikan saya dan profesi saya yang tidak berhubungan erat dengan lingustik. Saya bilang saja bahwa saya memiliki antusiasme tinggi terhadap bahasa dan sastra. Profesor Klamer cukup terkejut mendengar cerita saya. Sama terkejutnya dengan saya yang mendengarkan kelasnya yang penuh terminologi linguistik teknis.
Profesor Klamer |
Di antara banyak kelas yang saya
ikuti, saya memfavoritkan Research on
Forensic Linguistics dan Translation
as Intercultural Communication. Kelas Research
on Forensic Linguistics: Approaches and Applications disajikan oleh Assoc.
Prof. Georgina Heydon dari RMIT University. Di kelas ini saya mendapatkan
pemahaman pragmatis dan teknis bagaimana linguistik (dan seorang linguis) bisa membantu
menyelesaikan perkara-perkara yang sifatnya interdisipliner. Kebahasaan
forensik bisa membantu menganalisis bukti tulisan atau rekaman dalam sidang,
invesitasi kepolisian, dan menggali informasi dari seseorang. Kemampuan
kebahasaan forensik ini menjadi spesialisasi seorang linguis dan interpreter.
Menurut Prof. Heydon, seorang linguis atau interpreter di Australia yang ingin
membantu persidangan atau investigasi setidaknya harus memiliki pendidikan
doktor dalam forensic linguistics. Meski
tidak beririsan besar, kebahasaan forensik ini cukup berkaitan dengan pekerjaan
lainnya seperti penerjemah, penulis, dan wartawan yang sering mentranskirpsi
rekaman dan menganalisis tulisan. Saya seketika terpesona dengan ilmu forensik
linguistik.
Tak hanya pemateri dari luar,
pemateri dari negeri sendiri tak kalah hebatnya. Saya menyukai pemaparan Prof. Dr.
Machsun, M.S dari Universitas Mataram mengenai Linguistik Dikaronis yang
merupakan ancangan alternatif bagi pengembangan strategi diplomasi dan
kebahasaan menuju Indonesia yang berkedamaian. Pemaparannya lugas, tegas, dan
sangat akademis. Selain itu ada juga Prof. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D dari
Universitas Sebelas Maret yang memaparkan Translation
in Systemic Functional Perspective. Saya mulai merasakan bahwa bahasa
(belum termasuk sastra) memiliki topik kajian yang super luas dan tak bisa
lepas dari kehidupan sehari-hari.
Hari terakhir adalah presentasi pemakalah poster disambung materi terakhir dari Prof. Dr.
Dr. H.C. Juliane House dari University of Hamburg. Prof. House berbicara tentang
Translation as Communication Across
Language dan Culture yang termasuk ke dalam materi favorit saya. Selain
pemaparannya yang sangat konkret, Prof. House bisa memberikan solusi spesifik
mengenai persoalan yang dihadapi interpreter atau translator. Di akhir materi,
saya berkesempatan berbincang dengan Prof. House dan mewawancarainya.
Materi dari Profesor House |
Berikut
cuplikan wawancara kami yang sudah saya terjemahkan ke bahasa Indonesia:
Apakah kemampuan interpretasi dan
translasi di luar dari komunitas linguistik atau mereka yang memiliki latar
belakang pendidikan bahasa itu penting dipelajari?
Walaupun tidak seakurat para linguis atau mereka yang memiliki latar belakang formal bidang kebahasaan, kemampuan dasar interpretasi dan translasi cukup penting bagi sejumlah profesi di era globalisasi ini. Diplomat, pebisnis, bahkan jurnalis harus mulai mengasah kemampuan mereka. Namun untuk topik yang spesifik dan akademik, tentunya anda tetap membutuhkan bantuan seorang linguis karena mereka lebih memahami konteks bahasa.
Bagaimana cara untuk meningkatkan
kemampuan interpretasi dan translasi bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang
kebahasaan?
Ya seperti anda ini. Latar belakang lingkungan dan jurnalistik tapi ikut menghadiri pelatihan kebahasaan. Sekarang kita juga bisa memahami bahasa lewat internet, terlebih dengan adanya Google Terjemahan. Kita bisa belajar hal yang paling dasar lewat internet. Yang terpenting adalah sejauh mana niat kita mau belajar.
Pesan-pesan apa yang bisa
diberikan kepada generasi muda Indonesia yang berkaitan dengan kebahasaan agar
mereka lebih percaya diri?
Saya pikir Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa daerah. Saya yakin anda bisa berbicara Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Pembelajaran bahasa ini harus difamiliarisasi sejak dini di lingkungan keluarga sehingga anda bisa bangga berbicara bahasa daerah seperti anda bangga berbicara bahasa asing. Saya senang bisa berbicara dengan anda karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional. Tapi anda akan lebih senang lagi berbicara dengan saya jika saya bisa berbicara bahasa daerah anda. Itulah kebanggaan yang perlu ditanamkan. Terlebih lagi di era globalisasi ini, teknologi, perangkat lunak, dan internet bisa digunakan dengan bebas. Mulailah dari situ.
Menyimak jawaban Prof. House
menambah rasa percaya diri saya. Walau kesulitan memahami terminologi dan
definisi kebahasaan secara teknis, saya masih bisa mengejar ketertinggalan
berbekal Google Terjemahan dan bertanya pada teman sebelah saya. Hal ini juga
berkaitan dengan beberapa proyek yang saya ikuti dan mengharuskan saya menjadi
interpreter sekaligus translator. Saat klien saya menanyakan latar belakang pendidikan
saya, mereka cukup kaget mendengar jawaban saya yang bukan berasal dari rumpun
bahasa dan sastra. Apalagi mendengar saya tidak pernah ikut kursus bahasa
Inggris, (hanya Perancis dan Belanda). Hal ini selalu
saya buktikan dengan mengantongi skor UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia),
IELTS, dan DELF (Diplôme
d’études en langue
Français) yang tidak
mengecewakan. Jadi klien saya juga bisa percaya secara profesional.
Satu hal yang pasti, kemampuan
berbahasa itu harus terus diasah dan digunakan. Baik secara lisan maupun
tulisan. Termasuk interpretasi dan translasi.
Seperti pepatah, alah bisa
karena biasa.
Keren pengalamannya. Terima kasih sudah menulis ini dan membagi ilmu yang di dapat
ReplyDelete