Senja di Gunung Lawu |
Udara dingin berkoar-koar jelas di telingaku. Pohon Cantigi dan Edelweiss tumbuh menghiasi jalan bebatuan menuju puncak Gunung Lawu. Aku sempat kehabisan napas dan berhenti sejenak untuk memusatkan kembali napasku. Berbeda saat summit dini hari, aku dan ketiga temanku mencoba mengunjungi puncak Gunung Lawu menjelang matahari terbenam. Imbasnya, perubahan temperatur dari hangat menjadi dingin melepaskan angin yang berlari kencang di sekitar kami dan menebar gigil yang mengintimidasi. Setelah setengah jam haiking dari tempat terakhir kami mendirikan tenda, kami tiba di Hargo Dumilah yang merupakan puncak tertinggi Gunung Lawu. Tidak seperti kebanyakan gunung dengan kawah yang terbuka dan bisa dijelajah, Hargo Dumilah memiliki ruang datar cukup lebar yang bisa digunakan untuk berkemah. Ada sebuah tugu yang menandai puncak gunung yang dipotret bersama para pendaki.
Menjejakkan kaki di ketinggian 3265 meter dari permukaan laut, suasana syahdu Gunung Lawu mulai merasuk sukma. Terlebih matahari kemerahan diiringi gumpalan perlahan menghilang manja dari horison penglihatan. Siul angin menebar pesonanya dan mulai memanggilku merdu.
Aku memisahkan diri dari rombongan untuk berduaan mesra dengan momen ini.
Aku berjalan menuju sebuah tebing yang sangat cocok untuk mengagumi matahari tenggelam. Ada beberapa pendaki yang sedang berfoto. Aku menyetel tripod dan membiarkan kameraku merekam dalam mode timelapse. Aku kemudian duduk bersila mencoba berzikir sambil mensenyapkan diri.
Selama lima belas menit kurang lebih aku merasa hilang dan sepi. Bukan hilang yang sebelumnya aku rasakan; begitu membingungkan dan menyakitkan. Melainkan hilang yang syahdu dan menenangkan. Bukan sepi yang merongrong jiwa; begitu kering dan mengucilkan. Melain sepi yang memeluk dalam damai. Kita adalah pengembara di dunia asing yang tak kita hendaki: pertemuan dan perpisahan sebiasa kesakitan dan kehilangan.
Air mataku hangat membasahi pipi.
Tiga tahun terakhir ini banyak yang terjadi. Saat menuliskan kalimat tersebut, aku sempat tertawa. Karena ya setiap tahun pasti banyak yang terjadi, lebih dari tahun sebelumnya, yang tak mudah. Namun aku menyadari juga bahwa tak semuanya susah. Banyak suka yang beriiringan dengan duka dan aku bersyukur, sangat bersyukur, bahwa aku masih bisa diberikan kenikmatan untuk merasakan suka yang melimpah dan memeras pelajaran dari duka yang meruah. Aku gembira masih bisa menyaksikan senja di ketinggian yang membuat hidupku begitu kecil dan mengingatkanku bahwa egoku yang besar itu sebenarnya memang kerdil dan aku tak berarti apa-apa.
Saat aku membuka mata, teman-temanku berjalan ke arahku. Aku menyetel beberapa lagu alam agar suasana menjadi lebih romantis dan mengeluarkan mi instan yang aku remuk sebagai camilan. Kami mengudap sambil mengabadikan momen ini sampai matahari sudah sepenuhnya tenggelam di belakang awan yang bergumul disertai angin malam mulai membuat gigi kami gemertak kedinginan.
Menelusuri Jalur Candi Cetho
Empat hari menjelang puasa Ramadan, tepatnya Kamis malam, aku bersama dua sahabat – Tedi dan Kodok – secara spontan memutuskan untuk haiking Gunung Lawu via Candi Cetho. Bertolak dengan kereta dari Bandung menuju Solo selama hampir sembilan jam, kami tiba di Stasiun Solo Balapan Jumat subuh. Perut minta diisi dan kami dengan senang hati memenuhi permintaannya. Aku menjaga tas dan barang bawaan kami sementara dua temanku mencari logistik dan perbekalan. Kami mendapat informasi kalau teman Tedi yang bernama Eki tertarik ikut mendaki. Saat itu posisinya ada di Yogyakarta, jadi kami harus menunggu cukup lama. Setelah semua beres, kami mencari taman kota untuk menunggu Eki yang berangkat dari Yogyakarta.
Setelah menunggu hampir lima jam, kami bertemu Eki dan tak lama kemudian kami berangkat ke Candi Cetho menggunakan mobil sewaan. Transportasi umum menuju basecamp Gunung Lawu masih agak sulit. Ternyata pergi berkelompok membuat persoalan akomodasi lebih mudah dan murah. Kami memutuskan lewat Candi Cetho karena treknya paling indah walau perjalanan bisa bertambah empat hingga lima jam dibandingkan lewat jalur Cemoro Sewu. Tak butuh waktu lama bermobil dari Solo ke Candi Cetho, kurang dari dua jam saja.
Tiba di basecamp Cetho, kami istirahat untuk salat dan makan. Setelah itu kami bersiap-siap melakukan pendakian. Aku mengecek ulang perlengkapan yang aku bawa, termasuk sebuah buku yang menemaniku di perjalanan: Caribou Island karya David Vann yang ternyata tak begitu cocok dengan selera membacaku. Pukul 15.00 kami sudah ada di pos masuk, kami membayar biaya registrasi sebesar Rp15.000,00. Kami juga memberitahu petugas bahwa kami akan turun lewat Cemoro Sewu dua hari berikutnya.
Awal-awal berjalan dari pintu masuk masih terasa suasana wisata dan candi. Tak jauh dari pintu masuk ada pembangunan jalan setapak. Medan masih landai dan tumbuhan didominasi vegetasi terbuka Pinus Gunung (Pinus merkusii). Kami masih bisa mengobrol dengan muka ceria karena perjalanan masih sangat awal, belum melelahkan. Sejam kemudian kami tiba di sebuah selter di kiri jalur pendakian yang menandakan Pos 1 alias Mbah Branti. Tanpa istirahat kami lanjut menuju Pos 2.
Perjalanan menuju Pos 2 atau Brak Seng memakan waktu sekitar 90 menit. Di perjalanan menuju pos 2 vegetasi mulai bervariasi. Aku mulai melihat banyak pohon Damar (Agathis dammara) dan Puspa Kayu (Schima wallichii). Medan pun mulai menanjak terjal. Peluh perlahan mengalir dalam kesejukan gunung yang membalut kami. Di Pos 2 terdapat selter dan lahan terbuka yang dapat digunakan sebagai area berkemah. Kami istirahat sebentar di sini untuk menunaikan salat asar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju Pos 3 yang disebut Cemoro Dowo mulai terjal dan panjang. Di jalur ini kami melihat ada tenda darurat karena seorang pendaki mengalami dislokasi lengan. Sudah ada temannya yang turun ke pos registrasi untuk meminta bantuan. Kami mengingatkan diri kami sendiri untuk alon alon asal kelakon. Betul saja, kami beberapa kali harus berhenti sejenak karena kelelahan dan menyesuaikan dengan ritme napas masing-masing. Satu grup pendaki muda mendahului kami dan menanti kami di Pos 3. Well, umur dan lingkar perut tak bisa bohong. Tak perlu ego untuk berkompetisi itu.
Untuk mendistraksi rasa lelah, aku biasanya suka memerhatikan pohon, langit, dan tanah yang aku pijak. Vegetasi di jalur menuju Pos 3 didominasi Akasia Gunung (Acacia decurrens) yang biasanya tumbuh pada ketinggian 2200 mdpl. Awal-awal haiking, pikiran masih segar dan masih bisa berkoordinasi baik dengan tubuh. Sementara saat lelah, pikiran jadi lengah dan mulai kehilangan fokus. Pikiranku berkelana ke mana-mana sampai rasa lelah tak lagi terasa. Untungnya Eki membawa GPS untuk melihat ketinggian dan jarak antartitik pos sehingga kami tidak lagi merasa ditipu harapan kosong saat bertemu pendaki yang turun dan berkata bahwa pos selanjutnya sudah dekat. Di gunung ada sebuah konsensus di antara pendaki saat ditanya, “Pos sekian masih jauh gak?”, jawabannya adalah, “Sudah dekat, kok.”
Menjelang magrib, aku berjalan di depan. Mungkin Tedi merasakan sesuatu yang tidak bisa aku rasakan. Udara mulai dingin dan kami tidak berhenti lama-lama. Beberapa kali mataku menangkap sesuatu yang bergerak melintas di depanku dengan bentuk yang absurd. Saat aku dekati ternyata batang pohon atau dedaunan yang bergoyang. Aku punya kebiasaan tak sadar sekeliling. Biasanya karena asyik memerhatikan sesuatu, aku sampai lupa berjalan jauh dari rombongan. Beberapa kali Tedi harus memanggilku agar berhenti tak terlalu jauh dari barisan belakang. Menjelang pukul 19.30 kami istirahat di pos bayangan tempat mata air mengalir deras. Di sini kami salat Isya dan istirahat. Air di sini selain dingin membekukan, juga terasa luar biasa menyegarkan. Aku sempat meminum satu botol penuh berisi mata air ini dan mengisi ulang satu botol 1500 ml dengan air di sini. Tak ada lagi sumber air yang bisa kami gunakan sampai Hargo Dalem tempat warung Mbo’ Yem berada. Jadi kami harus mengisi penuh untuk keperluan minum hingga besok sore.
Eki memiliki target untuk tiba di Pos 5 tengah malam alias pukul 00.00. Melihat kondisinya dan kami bertiga yang staminanya jauh merosot, aku sudah pesimis duluan. Sejujurnya naga dalam perutku sudah keroncongan sejak tadi sore. Kerongkonganku juga mendambakan teh panas dengan buah lemon dan markisa. Aku menjawab, lihat situasi nanti di Pos 3. Kalau kuat (yang aku yakin tidak), ya bisa terus jalan sampai Pos 5.
Kami mulai melanjutkan haiking pukul 20.00.
Medan semakin terjal. Aku bisa mendengar jelas deru napasku yang terengah-engah diiringi senandung binatang malam. Aku juga bisa mendengar napas Tedi, Kodok, dan Eki di belakang. Tedi mengingatkanku untuk mengatur napas. Kami berhenti sejenak untuk istirahat sambil melihat pemandangan kota di malam hari yang penuh dengan lampu berpendar. Bulan membulat penuh menemani kami. Aku merasa tersemangati dan ingin segera memasak mi rebus sambil berselonjor. Kami beranjak lagi dan meneruskan perjalanan.
Suara orang-orang mulai terdengar 90 menit kemudian saat kami mendekati Pos 3 alias Cemoro Dowo. Vegetasi Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana) sangat padat di Cemoro Dowo (Cemoro artinya Cemara, Dowo artinya Panjang). Waktu menunjukan pukul 21.30 dan kami memutuskan untuk berkemah di Cemoro Dowo. Ada sekitar lima tenda yang sudah menempati lahan datar di pos ini. Sisanya tinggal selter. Salah satu etika di gunung adalah tidak kemping di selter kecuali dalam keadaan darurat. Jelas keadaan kami jauh dari darurat. Masih ada lahan agak miring dan berbatang yang bisa kami gunakan untuk bertenda. Untuk memastikan, aku dan Tedi sempat berjalan 15 menit ke depan mencari lahan kosong tapi nihil. Akhirnya kami mendirikan tenda di lahan miring ini dengan membabat akar yang menonjol. Kami menggunakan tenda punya Eki yang memiliki vestibule. Di sini aku dan Dimas takjub dengan istilah vestibule yang biasa kami sebut halaman tenda. Vestibule sudah diserap ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi vestibula yang memiliki tiga arti: 1) ruang kecil; lobi; beranda; serambi; 2) pintu sambungan antardua gerbong dalam kereta api yang tertutup, dan 3) rongga yang ada di tengah-tengah labirin telinga. Dari sini aku juga tahu bahwa pintu sambungan gerbong kereta api bernama vestibula. Bukan bordes. Bordes berarti tangga untuk naik ke pintu kereta api. Ya hal-hal trivial seperti ini bisa menjadi lucu saat badan sudah letih.
Pukul 22.30 kami sudah mendirikan tenda dan mulai memasak. Aku membantu Kodok memasak sambil bercanda ngalor ngidul. Tedi menjadi observer dalam tenda sementara Eki sudah terlelap terlebih dahulu. Mungkin dia lupa punya target tiba di Pos 5 pukul 00.00. Tak terbayang jika tiba di Pos 5 tengah malam ditambah mendirikan tenda dan memasak makan malam, kami bisa tidur pukul 01.00 lebih. Saat asyik makan, dua orang pendaki menghampiri tenda kami. Mereka dan rombongannya kemping di Gupakan Menjangan dan salah satu dari mereka merasa kedinginan dan tidak enak badan. Keduanya turun untuk mencari sinyal walkie talkie yang tak kunjung mereka dapatkan. Melihat tenda kami masih hidup dan berkegiatan, mereka duduk sejenak dan mengahangatkan diri. Kami mengobrol banyak dan mereka memberi kami stiker khas pecinta alam. Tak lama kemudian, mereka pamit balik ke tenda mereka dan kami mulai membereskan perlengkapan masak. Menjelang pukul 00.00 kami sudah berada di kantung tidur masing-masing dengan jaket yang membungkus badan. Saat yang lain sudah tertidur, aku masih bengong mematikan pikiran.
Mendekati pukul 06.00 aku bangun dan bergegas mengejar salat Subuh selagi sempat. Setelahnya aku turun untuk melihat panorama trio gunung Sumbing, Sindoro, dan Merbabu yang berdiri tegak menatap Lawu. Seekor Jalak Lawu atau Jalak Gading (Turdus poliocepjalus stressmanni Bartels) mendarat di tanah yang konton merupakan spesies endemik sini diselingi suara-suara hutan yang merdu, gigil dingin yang menguap dari mulut, dan cahaya matahari yang menyelinap di sela-sela Cemara. Jalak Lawu ini menyimpan cerita rakyat. Konon, Jalak Lawu adalah jelmaan pengikut setia Prabu Brawijaya V yang bernama Dipa Manggala yang juga disebut Kyai Jalak. Jalak Lawu ini dipercaya menjadi penunjuk jalan bagi para pendaki yang tersesat.
Aku lalu menyentuh tanah yang basah dengan tanganku dan duduk sebentar untuk grounding.
Saat pergi ke alam, aku biasanya melakukan grounding. Teknik grounding ini aku pelajari saat berada di Australia dengan mengikuti kelas meditasi alam bagi pemula. Sederhananya, grounding merupakan teknik untuk menyeleraskan frekuensi tubuh dengan bumi dan alam. Tujuannya untuk memusatkan pikiran pada kekinian dan merasa sadar diri dan sekitar. Biasanya aku lebih kalem, fokus, dan damai setelah melakukan ini. Kontak fisik antara tubuh kita dan alam menjadi esensial walau itu hanya duduk tanpa alas atau berdiri tanpa alas. Saat di Australia hampir seminggu sekali aku pergi sendirian ke alam dan melakukan grounding. Di Australia ada lookout alam yang khusus didesain untuk forest bathing dan skinny dipping. Aku belajar mengapresiasi alam layaknya mengapresiasi diri sendiri. Grounding ini jadi kebiasaan sehari-hari yang sering aku lakukan. Salah satu contoh sederhana, saat tangan menjadi panas karena terlalu sering bergumul dengan laptop dan ponsel, aku suka mencari pohon atau tanah dan menempelkan telapak tanganku ke sana.
Halo Jalak Lawu! |
Selesai dengan urusan pribadi, aku bergabung untuk sarapan seadanya (baca: mi instan) dan mulai beres-beres. Ada seorang bapak yang mendaki dengan anaknya dan memberikan kami beberapa butir jeruk. Sungguh menyenangkan. Kami akan menyusulnya di puncak karena mereka mendirikan tenda di Pos 3 dan meninggalkan barangnya di sana. Pukul 09.00 kami melipat kembali tenda dan bersiap-siap menuju Hargo Dalem.
Perjalanan menuju Pos 4 atau Penggik lebih terjal dari pos sebelumnya. Hanya saja jaraknya lebih pendek. Di sini vegetasi masih didominasi Pinus dan Cemara. Haiking menjelang siang terasa santai dan nyaman karena udara tidak terlalu dingin dan tak terlalu panas. Pukul 10.00 kami sudah tiba di Pos 4.
Perjalanan menuju Pos 5 tidak terlalu melelahkan karena jalur agak landai diiring lansekap menawan dan tumbuhan hang lebih beragam. Beberapa yang aku kenal ada Bandotan (Ageratum conyzoides), Alang-alang (Imperata cyclindrica), dan sabana. Sejak di Pos 4 kabut turun dan berpapasan dengan kami. Kadang ia menebal sampai menutup pandangan kami dan membuat kami harus menjeda pendakian. Satu jam kemudian kami tiba di Pos 5 yang merupakan Bulak (Brak) Peperangan. Di sini vegetasi didominasi Pinus dan sabana yang sudah mulai terbuka lebar. Kami beristirahat sambil mengambil foto di sana-sini. Tak ada tenda satu pun saat kami tiba.
Bandotan |
Pos 5 ini merupakan area terbuka yang luas dan dianggap bersejarah. Katanya (coba telusuri lewat Google), area ini merupakan tempat peperangan kerajaan Majapahit pimpinan Brawijaya V melawan kerajaan Demak pimpinan Raden Patah. Konon, pendaki yang bermalam di sini bisa mendengarkan suara peperangan. Tak heran, karena gunung Lawu adalah pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa yang berhubungan erat dengan Praja Mangkunegaran. Berdasarkan cerita dari juru kemudi mobil yang mengantar kami, kisah hilangnya pendaki di awal tahun 2019 erat kaitannya dengan aura mistis di gunung Lawu. Eki sempat maceuh foto-foto naik ke satu batu yang menurut Kodok bukan batu sembarangan. Saat foto di atas batu, Eki terpeleset dan jatuh. Untung tidak kenapa-kenapa. Yang menyedihkan, di sini masih saja ada vandalisme di pohon dan bebatuan. Aku sering berpikir bahwa vandalisme di alam dengan tujuan mengukuhkan eksistensi duniawi terpeleset menjadi bentuk sederhana aktualisasi diri yang destruktif. Aku paham bahwa sebagian dari kita begitu ingin (dan begitu desperate) untuk menorehkan bagian dirinya di realita dunia ini, namun tak mampu memiliki medium dan kanal penyalurannya yang tepat. Hence, vandalism.
Dari Pos 5 kami menuju Gupakan Menjangan yang merupakan area terbuka yang sering digunakan kemping. Jaraknya hanya 40 menit dari Pos 5 dengan medan yang agak terjal. Sepanjang jalur menuju Gupakan Menjangan dikelilingi Pinus dan sabana yang luas. Dekat area kemah ini ada sebuah telaga musiman yang bisa dijadikan sumber mata air saat musim hujan. Jika beruntung, akan ada kawanan Menjangan (rusa) di sekitar telaga. Sayangnya, saat kami ke sana, telaga sedang kering. Di sini kami istirahat agak lama. Menunaikan salat, memasak gorengan, berceloteh dan mengobrol dengan pendaki lainnya.
Beranjak dari Gupakan Menjangan pukul 13.00, kami menuju Pasar Dieng yang merupakan tempat paling mistis di gunung Lawu. Konon, Pasar Dieng merupakan tempat jual beli versi alam gaib atau yang dikenal dengan pasar setan. Berjarak 30 menit dari Gupakan Menjangan, Pasar Dieng merupakan tempat paling sunyi yang aku rasakan di Gunung Lawu. Ada banyak batuan yang tersusun yang dilarang disentuh dan disusun ulang. Saat melewatinya, aku matikan pemutar musikku dan lebih mawas diri. Aku melihat ada beberapa puntung rokok dan gelas plastik yang berisi kopi setengah penuh di sela-sela tumpukan batu. Para pendaki tidak disarankan melewati Pasar Dieng malam hari karena memiliki resiko disorientasi arah yang sangat tinggi disebabkan kabut yang sering menutup area ini malam hari. Menurut cerita pendaki, kalau saat melintasi Pasar Dieng ada batu yang tak sengaja jatuh atau mendengar suara gaduh seperti di pasar, kita harus melempar satu barang sebagai tanda barter.
Puji syukur kami melewati Pasar Dieng dengan mulus. Dari Pasar Dieng, kami bisa melihat Hargo Dalem dengan jelas. Bendera merah putih berkibar di langit yang biru. Dari Pasar Dieng butuh waktu 20 menit untuk berjalan ke Hargo Dalem. Sayang, di tengah alam yang cantik ini, banyak sampah yang berkumpul. Aku penasaran apakah tempat ini sengaja dijadikan tempat pembuangan sampah. Jawabannya tidak. Banyak pendaki yang tidak membawa turun sampah yang mereka hasilkan saat mendaki.
Sampah Sendiri Bawa Turun! |
Menjelang pukul 15.00 kami tiba di Hargo Dalem. Di Hargo Dalem terdapat beberapa rumah seng dan pondokan yang biasa digunakan untuk ritual. Di sini juga ada toko suvenir dan warung Mbo’ Yem yang terkenal. Kami mendirikan tenda di lahan kosong sebelah warung Mbo’ Yem. Sambil menunggu senja, kami istirahat dan berkegiatan masing-masing. Semakin sore semakin banyak pendaki yang berdatangan ke Hargo Dalem dari arah Cemoro Sewu.
Pukul 17.00 kami bersiap-siap melakukan summit attack. Kami tak membawa begitu banyak perlengkapan karena jarak dari Hargo Dalem menuju Hargo Dumilah tidak terlalu jauh. Aku hanya membawa kamera, mi instan, sebotol air mineral, dan lampu kepala.
Menuju Hargo Dumilah |
Perjalanan turun dari puncak terasa lebih cepat. Selain lebih mudah, kami juga sudah kelaparan. Kami berencana makan di Warung Mbo’ Yem. Saat kami tiba di Warung Mbo’ Yem, banyak pendaki yang sedang beristirahat tidur dan makan. Warung Mbo’ Yem hanya menyediakan makanan (dan segelas air bening) saja. Tak ada mi instan rebusan, yang ada hanya pop mie yang lebih praktis. Aku memesan nasi telur kecap dengan kerupuk seharga Rp12.000,00. Sementara nasi pecel dihargai Rp15.000,00. Air minum dijual di warung yang lain. Sebotol air mineral berukuran 1500 ml dihargai Rp25.000,00. Sementara yang berukuran 600 ml diharga Rp15.000,00. Aneka minuman bersoda dihargai Rp18.000,00. Mengingat jarak dan usaha untuk menhadirkan produk tersebut ke gunung, ada baiknya kita memborong jika memiliki uang berlebih.
Pukul 21.00 kami sudah masuk ke tenda sambil berbincang dan menghabiskan camilan. Udara terasa sangat dingin dan menusuk. Aku meremehkan dinginnya Gunung Lawu dengan hanya mengenakan sweater tipis dan celana long john saja. Alhasil semalaman aku berusaha tidur melawan rasa dingin.
Lansekap Indah Cemoro Sewu
Keesokannya kami mengulang pagi yang sama di gunung. Sarapan mi rebus dan teh panas menjadi kebiasaan yang patut disyukuri. Sambil menikmati cahaya matahari yang menghangatkan badan, aku kembali curhat di jurnal. Lewat pukul 09.00 kami beres-beres dan bersiap turun gunung melalui jalur Cemoro Sewu. Pukul 10.00 kami mengucap salam pisah dengan Hargo Dalem.
Tiga puluh menit berjalan menuju Pos 5 jalur Cemoro Sewu, ada sebuah sumur sakral yang airnya bisa diminum. Kami berhenti dan mencoba air tersebut. Di sini banyak juga pendaki yang mendirikan tenda dan ada sebuah warung yang menjual minuman dengan harga yang sedikit lebih murah dari yang dijual di Hargo Dalem.
Jalur haiking Cemoro Sewu ini jelas dan tunggal. Jalannya pun sudah berupa makadam. Pemandangan sepanjang jalan menuju Pos 4 sangat menakjubkan. Langit biru dan awan putih menjadi kombinasi yang memanjakan mata. Bunga Edelweiss jawa (Anaphalis javanicus) yang masih kuncup menemani di sisi jalan. Beberapa kali kami berhenti untuk mengabadikan momen. Kelak saat pikiran tak lagi tajam dan ingatan telah memudar, foto dan tulisan inilah yang menjadi penguat kenangan.
Lepas dari pemandangan indah, tangga menunggu kami untuk dijajal. Jalur menukik tajam hingga Pos 3. Tangga yang awalnya membantu kini malah membuat dengkul kesakitan. Aku memanfaatkan momentum dengan mempercepat langkahku. Naga di perutku sudah meminta jatah dan aku berharap di pos-pos bawah ada warung yang menyediakan camilan.
Eki, Kodok, saya, dan Tedi |
Setelah dua jam menuruni tangga bebatuan, aku tiba di Pos 3. Banyak pendaki yang sedang beristirahat di sini. Ada seorang ibu penjual gorengan dan buah-buahan. Aku memborong gorengan pisang yang harga satuannya hanya Rp1000,00. Selain memang sangat enak menurut lidahku, harganya sangat sangat sangat murah, tak jauh beda dengan harga di kota. Aku juga membeli sepotong semangka seharga Rp3000,00 untuk melepas dahaga. Selain menjual buah dan gorengan, ada juga nasi rames yang dijual Rp10.000,00. Teman-temanku yang tiba tiga puluh menit kemudian ikut jajan di ibu penjual makanan ini. Aku mencicipi nasi rames yang mereka beli dan rasanya enak dan isinya juga banyak.
Kami mulai berjalan lagi dari Pos 3 menuju Pos 2 yang memakan waktu satu jam. Sambil menahan dengkul yang pegal, kami ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal diselingi curhat terselubung. Kami sempat berhenti saat menemukan beri liar. Kami petik beberapa. Rasanya asam dan manis. Di sini kami bertemu pendaki yang kakinya keseleo dan harus dibebat. Aku mengelus-ngelus kakiku dan lebih waspada terhadap langkah yang aku ambil. Tiba di Pos 2, ada warung yang menjual makanan dan minuman. Aku segera memesan es teh manis dan mencampurnya dengan nata de coco yang aku bawa.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?
Tak berlama-lama, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 1 yang memakan waktu satu jam. Kodok dan Eki tertinggal di belakang, sementara aku dan Tedi memacu langkah kami. Dari sini aku mulai mengebut menuju basecamp Cemoro Sewu karena panggilan alam yang tak tertahankan. Beberapa kali aku sempat berlari dan menemukan bahwa toilet di basecamp ini tidak bisa digunakan. Aku harus berlari menuju toilet umum di masjid seberang jalan.
Setelah itu kami bergegas beres-beres karena Eki harus mengejar jadwal keretanya malam ini. Berhubung mobil yang menjemput kami sudah tiba, kami bertolak ke Solo pukul 16.30 dan tiba di Solo pukul 17.30. Kami mengantar Eki ke Stasiun Solo Balapan. Setelah itu kami menuju penginapan dekat Stasiun Purwosari. Kami masih punya waktu satu malam di Solo karena jadwal kereta kami ke Bandung pukul 17.15 keesokan harinya.
Tiba di penginapan kami bersih-bersih dan memulai salat tarawih. Setelahnya kami jalan-jalan mencari kuliner khas Solo sekalian mencari makanan untuk sahur esok hari. Keesokan harinya, kami keluar dari penginapan siang hari dan menunggu di masjid dekat stasiun. Sampai pukul 14.00 kami berjalan menuju stasiun sambil mencari makanan untuk berbuka. Kereta kami datang tepat waktu yaitu 17.15. Setelah adan magrib berkumandang, kami berbuka hari pertama puasa di kereta. Kereta yang kami tumpangi tiba di Bandung 30 menit lebih awal, yaitu pukul 04.00. Kami pun punya waktu untuk sahur dan subuh di stasiun. Setelah sahur bersama, kami berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
Hari kedua puasa aku tiba di rumah pukul enam pagi dan mendapati ibuku sedang menyapu halaman rumah.
Comments
Post a Comment