Apa itu perjalanan diri? |
Menghargai waktu adalah salah satu mata
kuliah dalam silabus hidup yang terus aku ambil. Terutama dalam satu
tahun terakhir, pembelajaran tersebut terus bersedimentasi dengan pengalaman dan
perasaan yang campur aduk dengan kehilangan, kesabaran, penerimaan, dan penemuan diri. Dalam satu tahun ini aku merasa beruntung bisa mendapatkan ruang dan
waktu lebih banyak untuk belajar memahami resiliensi dan kapasitas diri. Menurut hematku, aku tak jauh beda
dengan makhluk hidup lainnya untuk tumbuh dan berkembang, seperti tanaman yang
perlu disiram rutin dan mendapat cahaya matahari untuk tumbuh atau seperti
binatang yang instingnya terus berkembang dalam memenuhi kebutuhan biologisnya.
Lantas penyadaran diri perlu untuk bisa mengoptimalkan kapasitas tumbuh dan
berkembang di tengah hari-hari yang monokrom.
Selayaknya kontrak sosial yang
sudah mendarah daging dalam manusia, aku (sebagai manusia) pasti bertemu dengan
berbagai pilihan dan keputusan yang menemaniku pada berbagai romantisisme penemuan
diri. Salah satu keputusan tahun ini, yang juga salah satu keputusan paling
berani dalam hidupku adalah memutus kontrak kerja ku selama empat tahun
sebelumnya yang kemudian mendorong kakiku untuk melangkah dalam jeda karir pada
tahun 2016 hingga tahun 2017 di negara kanguru. Jika harus merangkum satu tahun
tersebut dalam satu kata, aku akan memilih kata asing. Asing yang merujuk pada tersisih, terpencil, dan
teralienasi. Bukan secara literal seperti dalam misi menguji diri di Antartika
atau seperti dalam film 100 days of
Solitude. Bayangkan kamu berada di lingkungan yang baru dengan banyak nilai yang tak bisa kamu internalisasi dalam waktu singkat sehingga hanya raga yang bergerak sementara jiwa terlunta-lunta. Kamu merasa bukan dirimu. Secara personal, rasa asing ini memang sudah familiar dan tersemat dalam konversasi sehari-hari: kegamangan yang kita - aku dan kamu - rasakan bersama. Pada periode jeda karirku, rasa asing itu mewujud jelas. Potongan ceritanya hadir di sini.
Sekembalinya dari Australia November tahun lalu, aku mencoba
menata diri lebih baik dengan membuat prioritas apa yang ingin aku lakukan. Hal
ini aku lakukan karena dalam jeda karir tahun sebelumnya ruang gerak dan waktu justru
menjadi sangat terbatas. Rencana jeda karir satu tahun yang bertujuan mulia
untuk maturasi diri berlangsung paradoks. Dalam konteks katarsis diri, ia
menjadi ruang yang melapangkan pengalaman batin namun menyempitkan pengindraan
terhadap sekitar. Dalam konteks waktu, periode itu berlangsung sangat lama pada
saat perasaan asing tersebut menggauli
keseharian, namun terasa begitu cepat saat sudah di ujung tahun. Oleh karena
itu, saat satu tahun itu ditutup, rencana menyambung kembali karir yang terjeda sebentar itu sempat kembali menyembul, tapi rupanya Dia punya rencana
lain.
Aku menurut. Selebihnya aku hanya berusaha dan berimprovisasi.
Pekerjaan
Awal tahun ini, aku membulatkan
tekad untuk rehat kerja. Selain belum siap untuk berkomitmen dengan satu
perusahaan dalam jangka waktu panjang, aku merasa bekerja penuh waktu saat ini
hanya akan memerah pelajaran sama dalam rutinitas pekerjaan sebelumnya: padat, tak
ada ruang dan waktu yang bisa aku kustomisasi untuk diri sendiri. Aku tidak
menampik bahwa selama hampir lima tahun aku bekerja sebagai jurnalis, aku berlatih
banyak kemampuan diri baik personal maupun profesional. Pelatihan dan
kesempatan untuk meningkatkan kemampuan ini aku jalani dengan sungguh-sungguh
karena aku memang menyukai dunia jurnalistik. Meski demikian, kepadatan
pekerjaan ini sebagian besar hanya berupa pengasahan kemampuan praktis bidang
pekerjaaan. Gagasan dan pemikiran tentang hidup dan diri sendiri benar-benar melebur dalam monotonitas kerja sehingga hanya menjadi angin lalu.
Satu hal yang tidak aku sadari yang
menjadi pembeda dengan tahun sebelum-sebelumnya adalah saat itu aku tidak memiliki
kesempatan untuk menjeda hidupku. Seperti menonton film di bioskop, film tersebut terus berputar walau kita sudah kebelet buang air. Begitu pula menafkahi diri yang terasa nisbi. Ditambah lagi, salah satu produk overthinking ku adalah terbatasnya waktu untuk sadar dan
mengenal diri sendiri lebih dekat.
Menurut Bank Dunia, angka harapan
hidup Indonesia tahun 2016 mencapai 69,19 tahun. Sementara menurut publikasi
tahun 2018 dari Organisasi Kesehatan Dunia, angka harapan hidup Indonesia
mencapai 69,3 tahun yang terdiri dari
pria 67,3 sementara wanita 71,4 tahun. Berdasarkan asumsi tersebut, berarti di
usiaku yang hampir kepala tiga, angka harapan hidupku sudah terpakai hampir
setengahnya. Dari hampir setengahnya itu 28 tahunnya aku habiskan untuk sekolah
dan mencari nafkah. Satu tahun taman kanak-kanak. Enam tahun sekolah dasar.
Enam tahun menengah pertama dan atas. Empat tahun sarjana. Empat tahun dua
magister. Termasuk bekerja paruh waktu sejak usia 16 tahun. Belum lagi
kemungkinan aku mati mendadak. Pemikiran ini cukup mengganggu sehingga akhirnya aku nekat untuk permisi ke toilet walau filmnya sedang berlangsung.
Bekerja Lepas |
Berkilas balik jauh ke belakang aku
menemukan diri berlari mengejar waktu. Sementara itu dunia mendorongku untuk
melangkah lebih cepat. Terus, terus, dan terus, berusaha menyamakan langkah
hingga terseok-seok. Mungkin pada tahun-tahun tersebut, kesempatan dan sumber
daya sangat terbatas sehingga memacu aku untuk hidup minimal saja. Dari sini
aku menyadari bahwa peluang untuk bisa memilih jeda adalah satu bentuk
kemewahan. Aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Memenuhi kebutuhan dasar menjadi prioritas hidup. Tak heran, perasaan tertinggal, menganggur, melepaskan diri, dan diam sejenak merupakan
salah satu ketakutan yang baru aku sadari tertanam jauh di dalam alam bawah sadar. Ketakutan ini diperburuk dengan
persepsiku akan kenyataan bahwa kita berbatas dan waktu terbatas.
Kombinasi ketakutan dan kenyataan bahwa kita
sangatlah terbatas bergulir menjadi satu konklusi bahwa banyak hal berada di luar
kendali kita. Usaha keras kita dalam mengendalikan hal tersebut membutuhkan
energi yang sangat besar yang tanpa kita sadari ternyata di luar kapasitas diri. Pertentangan ini menjadi
dilema bagi aku yang baru lulus sarjana. Di satu sisi kita belajar menjadi fatalis, di sisi lain kita dituntut memahami
indeterminisme. Sejauh mana takdir bisa kita percaya dan sejauh mana kehendak
bebas bisa mengubah takdir kita. Pergulatan ini awalnya menjadi tolok ukur
penting dalam menentukan keputusanku yang terdahulu. Seiring berjalan waktu, aku memahami
bahwa keduanya (dan bahkan faktor lain dalam hidup) turut membentuk diri dengan
porsi masing-masing. Bukan bertentangan, tapi beriringan. Pada satu titik aku merasa ingin berserah tanpa menyerah. Perasaan
ini aku genapi dengan bacaan-bacaan yang bisa memberikan sedikit pencerahan
tentang apa sebenarnya perjalanan ini.
Secara praktis, pada tahun ini aku
memberanikan diri menggunakan tabungan selama lima tahun ke belakang untuk
membantu penghidupanku sesuai dengan jalan yang aku mau dengan tetap membantu keluarga
untuk setidaknya lima tahun ke depan. Bertindak semaunya tanpa harus
menyulitkan orang lain adalah pembelajaran yang juga sedang aku geluti. Karena dengan begitu, aku belajar untuk sedikit tidak egois. Kondisi
ini aku sampaikan dengan pengertian dan perlahan kepada keluarga karena banyak
yang menganggap mengganti karir atau bekerja lepas di usia kepala tiga merupakan
bunuh diri secara profesional. Namun aku meyakinkan mereka bahwa rezeki selalu diatur
untuk orang yang berusaha.
Hal ini setidaknya aku buktikan
dengan tidak berhenti mencoba kerja. Walau rehat, aku mencoba bekerja lepas
untuk tetap mengasah kemampuan profesionalku dan mengisi saku jajanku. Tak
banyak tapi cukup. Beberapa proyek mulai dari dokumentasi amdal, liputan lepas,
masuk kelas, atau sekadar menjadi pewara dan moderator aku jalani sekadarnya.
Aku terus mengingatkan diri sendiri bahwa prioritas saat ini adalah memiliki
fleksibilitas untuk menyelami kegelisahan diri, mengendalikan ketakutan dan
kecemasan yang terpendam, serta berteman dengan ketidakpastian. Dengan begitu
aku juga bisa sedikit demi sedikit menertawakan keputusan-keputusan impulsif. Bisa
membiarkan diri menyesap kesedihan dan melankoli, lantas menarik napas tegas
dan menyukupinya tanpa berlarut.
Jeda seperti ini sangat berarti
untuk tumbuh kembang spiritual diri sekaligus sebagai refleksi pemaknaan perjalanan hidup. Namun, bukan berarti semua
harus menjalani jeda yang serupa. Jedaku dan jedamu bisa sangat berbeda. Yang aku tahu bahwa suatu saat nanti aku bisa saja kembali lagi menjangkarkan komitmenku pada satu tempat tertentu. Cepat atau
lambat tapi tidak sekarang. Hingga suatu saat nanti itu tiba, aku mempersiapkan diri. Tentunya aku bisa menoleh santai ke
belakang dan berkata dengan yakin bahwa tak ada hal yang perlu aku sesali.
Petualangan
Yang paling menggembirakan pada tahun
ini adalah banyak kesempatan untuk melakukan petualangan: pendakian
gunung-gunung, kemah di bawah langit bertabur bintang, road trip panjang, dan pertemanan baru. Aku berkesempatan mendaki beberapa
gunung tahun ini. Salah satunya menghabiskan tiga minggu perjalanan Jawa –
Flores dengan hidangan utama gunung Rinjani. Cerita-cerita ini aku tuangkan secara
detail dalam jurnal pribadi seperti road trip sendiri dengan kereta menuju
kota-kota di Jawa Tengah dan Timur, bermotor ke taman nasional, menyetir mobil
berjam-jam (belum berhari-hari), dan terjebak macet bersama teman-teman atau
bertukar pikiran saat berkemah. Petualangan dan pertemanan ini membuatku
belajar mengenal diri sendiri melalui orang lain, dan juga sebaliknya, memahami
orang lain melalui diri sendiri.
Kegemaranku untuk olahraga lari
dan berenang juga kembali menemukan wadahnya. Hingga tahun 2016, keduanya biasa
aku lakukan soliter namun reguler. Bahkan saat di Leeuwarden, renang dan lari sering
aku lakukan. Sementara itu enam bulan aku di Sydney aku bahkan tak pernah lari
sama sekali. Beruntung sesekali masih sempat berenang di pantai. Dalam setahun
ini, olahraga menjadi momentum seperti bertemu kekasih yang sudah lama tak bersua. Dalam berlari, aku bergabung dengan
komunitas lari dan secara mengejutkan menemukan bahwa mereka bukan hanya
sekadar komunitas atau teman lari belaka, tetapi juga keluarga. Mereka tak
hanya bersuka cita bersama, juga berduka bersama. Kami merayakan ulang tahun,
berdonasi, bercerita hidup di luar lari, berbagi motivasi lari, dan terus
menyemangati satu sama lain. Walaupun sederhana dan terlihat instan, dalam satu
tahun ini aku bisa perlahan membuka diri. Jika dulu lari hanya sendiri atau
berdua, kini ada teman-teman yang mendorongku mengasah batas fisik. Beberapa
momen seperti ini membuat perasaan hangat menyeruak di dada.
Tak hanya itu, aku memberanikan
diri ikut kursus menyelam, mengikuti beberapa kursus filsafat yang sangat aku
idamkan, dan mencoba mengenal kopi jauh lebih dekat dengan menjadi barista. Aku
juga beruntung bisa ikut fellowship jurnalistik
lingkungan dari organisasi yang sudah lama aku kagumi. Dari banyak episode
hidup yang sedih dan menyakitkan, masih banyak rupanya episode lainnya yang
membahagiakan. Keberadaan ini saling melengkapi hingga aku berpikir keinginan
untuk mengada dan kebutuhan ketiadaan diri adalah esensi manusia sebenarnya:
yang rumit juga sederhana, sebuah paradoks.
Ternyata aku masih harus belajar
banyak bersyukur.
Pertemanan
Sejak dulu aku tak pernah supel dalam berteman. Berteman dengan takaran yang dalam sehingga konteks mengenal seseorang berarti mengetahui sejauh apa pribadi orang tersebut, dan orang-orang di sekitarnya,
mimpi-mimpinya, dan penyesuaian hidupnya. Orang-orang aku kenal
karena takdir satu sekolah, satu tempat kerja, atau satu komunitas. Orang-orang hadir dan pergi tanpa jejak. Entah mengapa sejak dulu pertemanan dalam
benakku mewujud komoditas yang eksklusif. Ia seperti proses berkelanjutan menempa
besi yang butuh waktu, tekanan, dan energi tertentu untuk mentransformasinya
menjadi sesuatu yang tak hanya elok tapi juga fungsional dalam hidup. Karena waktu menjadi determinan penting, teman yang kita temui sejak atau saat kecil dan teman yang baru kita temui saat ini tentunya memiliki irisan yang berbeda. Semakin lama mengenal seseorang, setidaknya semakin banyak gambaran tentang orang tersebut. Hal ini yang coba aku pahami saat menyelami ketakutan kehilangan dalam pertemanan ini.
Bertemu selagi ada kesempatan |
Tahun ini ada banyak oportunitas
yang bisa kurengkuh untuk menyambung ulang pertemanan dengan teman-teman lama. Awalnya
aku pikir teman yang baik itu seseorang yang selalu ada. Hal ini ternyata agak keliru
karena saat kita merasa seseorang itu tak ada, kita merasa kecewa. Dengan
definisi tersebut, maka ia bukanlah teman yang baik. Kekeliruan tersebut
berpangkal pada ekspektasi kita terhadap orang lain yang secara tidak sadar
menuntut mereka untuk selalu ada. Setiap orang memiliki jalan hidup dan
perjuangan masing-masing. Menuntut mereka untuk mengikuti jalan hidup kita
dengan selalu ada saat kita butuh menyempitkan arti pertemanan itu sendiri.
Berdasarkan logika ini aku menjadi guarded
dan pesimis terhadap pertemanan sehingga beranggapan bahwa teman tidaklah
penting. Yang penting hanyalah diri karena dirilah yang selalu ada. Anggapan tersebut berubah setelah aku
menyadari bahwa pertemanan itu tetap menyenangkan dan sakral walaupun ikatannya
sangat volatil.
Seiring waktu lingkar pertemanan semakin mengecil tapi kualitasnya menguat. Betul, ada kalanya irisan hidup kita dengan teman bisa berubah-ubah karena ya hidup itu memang masing-masing. Bukan berarti saat kita bertemu kembali, pertemanan itu pudar. Saat jarang bertemu, memang jodohnya hanya segitu. Suatu saat berjodoh lagi, kita rayakan pertemuan ini dengan semangat dan senyum yang sama seperti dulu. Hal ini aku rasakan saat menghadiri 15 pernikahan teman-temanku selama satu tahun ini (Desember ini jadi 16) di berbagai tempat, mulai dari Tasikmalaya, Kudus, Demak, Jakarta hingga Bali. Aku memang sengaja ingin bertukar kabar dan menghadiri momen penting mereka. Menyambung kembali pertemanan yang sempat terputus dan menggelar karpet baru untuk sekadar berkata bahwa aku siap berusaha ada. Hal ini juga berarti merelakan mereka yang ingin pisah jalan dan pindah haluan.
Seiring waktu lingkar pertemanan semakin mengecil tapi kualitasnya menguat. Betul, ada kalanya irisan hidup kita dengan teman bisa berubah-ubah karena ya hidup itu memang masing-masing. Bukan berarti saat kita bertemu kembali, pertemanan itu pudar. Saat jarang bertemu, memang jodohnya hanya segitu. Suatu saat berjodoh lagi, kita rayakan pertemuan ini dengan semangat dan senyum yang sama seperti dulu. Hal ini aku rasakan saat menghadiri 15 pernikahan teman-temanku selama satu tahun ini (Desember ini jadi 16) di berbagai tempat, mulai dari Tasikmalaya, Kudus, Demak, Jakarta hingga Bali. Aku memang sengaja ingin bertukar kabar dan menghadiri momen penting mereka. Menyambung kembali pertemanan yang sempat terputus dan menggelar karpet baru untuk sekadar berkata bahwa aku siap berusaha ada. Hal ini juga berarti merelakan mereka yang ingin pisah jalan dan pindah haluan.
Pengingat Diri
Taman Nasional Baluran |
Pada akhirnya kita akan bermuara
pada satu lautan yang sama melalui liku sungai dan aliran yang berbeda: saling bersilangan, berpisah,
menyatu, mengecil, membesar, tersendat, ataupun lancar. Atau seperti tanaman yang tumbuh, berbunga, kemudian layu. Bagiku sendiri,
memaknai aliran itu butuh proses yang kontinu. Tumbuh dan berkembang berarti menyadari diri diserap kehidupan melalui suka dan duka serta menerima apa adanya di tengah kontemplasi diri dan kejenakaan hidup.
Lebih banyak tersenyum, melepas, dan merelakan. Terus belajar, terus bertambah,
terus berbuat baik. Dengan begitu saat dunia begitu melelahkan, saat sepi terlalu
membelenggu, jeda sejenak ini bisa jadi pengingat untuk kalibrasi diri bahwa
perjalanan diri ini suatu saat akan berhenti.
Comments
Post a Comment