MENGAPA PON (TAK) HARUS ADA?
Lili dan Lala, maskot PON 19, diambil dari sini |
Kamis lalu Pekan Olahraga
Nasional XIX atau PON XIX (selanjutnya ditulis PON 19) di Jawa Barat resmi
ditutup dengan penyerahan pataka dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan
kepada Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai simbol penyelenggaraan PON XX yang
dituanrumahi Papua di tahun 2020. PON 19 ini menimbulkan eforia warga Jabar yang
luber ke mana-mana. Ada yang semangat kedaerahannya mendadak meningkat. Ada
pula yang latah menyukai olahraga. Termasuk saya.
'Eforia' ini sebenarnya muncul pada
awal bulan September saat saya ditugaskan liputan PON 19. Saya sempat menolak tugas tersebut dengan alasan saya bukan reporter
olahraga. Saya beralasan akan lebih baik jika liputan diserahkan pada reporter olahraga atau yang memang menyukai dunia olahraga. Atau setidaknya melek dunia olahraga.
Sebetulnya saya suka dengan olahraga.
Saya suka renang, joging, atau bermain futsal hanya saja sebagai gerakan olah
raga atau momen sosialisasi. Setelah memberikan beberapa nama sebagai pengganti saya, saya tetap ditugaskan untuk meliput PON ini. Jadilah saya punya eforia menerima tugas liputan PON 19
ini.
Eforia saya bercampur dengan rasa khawatir. Ada 44 cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan dan
setidaknya saya harus menguasai aturan dan istilah dasar dalam cabang tersebut.
Karena itu saya coba mencari referensi mengenai setiap cabor, termasuk
menelusuri PON sebelumnya. Saya akui saya termasuk mereka yang pesimis dengan PON. Jujur, anggarannya yang fantastis membuat saya berpikir kalau PON ini hanyalah
bagi-bagi jatah saja. PON 19 ini contohnya, anggarannya mencapai 3 triliun rupiah.
Saya berpikir keras bahwa dana sebesar ini memungkinkan celah penggunaan dana yang tidak
efektif jika tidak diawasi dengan saksama.
Jika memang tujuannya untuk
memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat, harusnya yang dibangun
sejak dahulu adalah infrastruktur seperti gelanggang atau lapangan olahraga yang
menarik dan strategis. Jadi tidak ada alasan warga tidak olahraga karena tidak
ada akses sarana dan prasarana. Jujur, dibenak saya, PON 19 hanyalah pesta
olahraga yang sesuai dengan namanya pesta
yang berupa perayaan atau selebrasi dengan hanya mengutamakan keramaian.
Saya tidak bermaksud menyudutkan
siapapun. Saya percaya semua yang terlibat punya harapan yang serupa:
berprestasi dalam olahraga dan membina bibit-bibit unggul dalam bidang olahraga. Tapi
saya juga tidak mau menutup mata. Saya harus bilang bahwa PON ini
diselenggarakan dengan APBD dan bantuan dari APBN dengan dana yang tidak sedikit. Karena itu sebaga warga yang
membayar pajak, saya memiliki beberapa
catatan penting. Plus, apa yang saya ketahui secara empiris ini didapat dari pengalaman
saya menyaksikan beberapa cabor yaitu renang, dancesport, sepeda gunung, tenis
lapangan, squash, biliar, dan sepatu roda dari tanggal 17 – 29 September.
Sarana dan Prasarana
Ada 16 kota-kabupaten yang
menjadi gelanggang (venue) dari 44
cabang olahraga yang diselenggarakan di Jawa Barat ini. Dengan memperebutkan 2492
medali yang terdiri dari 756 emas, 756 perak, dan 980 perunggu. Ada sekitar
9000 atlet yang ikut berpartisipasi dan sekitar 4000 ofisial yang menyertai
mereka. Sebagai tuan rumah, Jawa Barat telah berbenah mempercantik diri selama
dua tahun terakhir ini. Pemprov Jabar menyiapkan 2 triliun untuk membangun
infrastruktur termasuk di dalamnya adalah membangun 13 gelanggang baru (6 milik
pemprov, 7 milik pemkab/pemkot), 38 gelanggang rehabilitasi, dan 8 gelanggang
sewa milik swasta. Sayangnya seminggu sebelum PON 19 dimulai, masih ada
beberapa venue yang belum siap digunakan. Termasuk juga stadion Gelora Bandung
Lautan Api yang menjadi tempat pembukaan dan tempat penutupan. Bahkan untuk
upacara pembukaan dan penutup saja memakan dana kurang lebih 200 miliyar.
Cabor Biliar di Graha Manggala Siliwangi |
Gelanggang renang, tenis, sepatu
roda, dan squash memang sudah direnovasi baik untuk penonton maupun atlet.
Untuk cabor biliar dan dancesport, gelanggang yang digunakan menyewa Graha
Manggala Siliwangi dan Ballroom Hotel Harris. Menurut saya gelanggang yang saya
kunjungi memang sudah cukup mengakomodasi. Yang cukup mengherankan saya, entah
kenapa, pada saat penyelenggaran PON di kota Bandung, trotoar di kawasan
perbelanjaan seperti Dago, Cibaduyut, Martadinata, dan Sudirman, sedang dalam
perbaikan yang masif. Otomatis terlihat carut marut. Saya juga mendapat keluhan
dari atlet dan ofisial dari luar Jawa, kok
bisa trotoarnya rusak dan sedang diperbaiki? Beberapa dari mereka harus
berjalan menyisir jalan utama karena tidak bisa melalui trotoar.
Cabor Renang di UPI |
Cabor Squash |
Penyelenggaraan dan Kepanitiaan
Jawa Barat menargetkan catur
sukses dalam PON 19: sukses prestasi, sukses penyelenggaraan/pertandingan, sukses
pemberdayaan ekonomi, dan sukses administrasi. Saat upacara penutupan Gubernur
Jawa Barat mengklaim tiga sukses sudah berhasil diraih yaitu sukses prestasi
terbukti Jawa Barat bisa merealisasikan Jabar Kahijinya, sukses penyelenggaraan
yang meningkat dibandingkan tahun lalu, dan sukses pemberdayaan ekonomi. Sementara sukses administrasi masih harus menunggu laporan PON selesai diaudit. Melihat dari kuantitas, betul
jika penyelenggaraan PON ini lebih rapi dibandingkan PON Riau. Dari 5025
pertandingan, hanya ada 0,2 % yang mengalami kendala. Sementara perkara yang
diajukan kepada Dewan Hakim PON 19 ini hanya mencapai 9 perkara, menurun
dari PON sebelumnya yang mencapai 21
perkara. Hanya saja, menurut saya ini tidak bisa dijadikan standar sukses. Ada
beberapa kontingen yang merasa dirugikan karena penyelenggaraan yang tidak
matang. Seperti di gelanggang sepatu roda di Saparua yang belum menggunakan
timer digital otomatis untuk mencatat waktu finis. Hal ini tentu berpotensi
konflik saat catatan waktu wasit berbeda dengan catatan waktu ofisial atlet.
Ditambah lagi, pada saat pencatatan waktu, ada jeda cukup lama dari catatan
waktu yang diterima hingga ditampilkan. Aroma kecurangan pun sempat merebak. Persoalan ini sempat memanjang hingga
ada kontingen yang tidak jadi berlomba atau bertanding karena mereka yakin akan
dikalahkan bukan kalah. Hal seperti
ini harusnya sudah bisa diantisipasi sejak lama. Komplain soal fairness dan
sportivitas menurut saya bukan sekadar angka perkara tapi persoalan besar.
Karena PON ingin dinilai sebagai olahraga prestasi, bukan sekadar rekreasi. Namun tidak semua gelanggang seperti itu, ada juga yang dipersiapkan dengan matang. Gelanggang cabor menembak misalnya, saya juga
harus mengapresiasi sistem digital yang sudah diterapkan di sana sehingga kecurangan pun bisa diminimalisasi.
Tidak hanya menembak, dancesport juga sudah menerapkan
penilaian sistem digital real time
dengan standar internasional. Awalnya saya agak bingung bagaimana juri bisa
menilai gerakan yang begitu atraktif dengan menjaga objektivitas. Kalau saya
jadi juri, saya jadikan juara semuanya atau tidak ada yang menang. Ya karena
gerakan setiap atlet memang bagus. Untung saya bukan juri. Setelah saya
wawancarai ketua pelaksana ternyata penilaian dancesport sudah menggunakan
sistem Dallas International System yang terkenal diperuntukan penilaian dancesport. Dengan sistem tersebut,
subjektivitas bisa diminimalisasi dengan rekam jejak penilaian satu juri dengan
juri lainnya terhadap satu atlet. Belum lagi juri tidak bisa berkompromi
karena nilai langsung diinput secara real time setelah juri memberikan nilai.
Selain itu yang bikin saya agak tercengang, jumlah juri yang banyak sekali yaitu
13 orang baik dari dalam maupun luar negeri. Dan biaya untuk mendatangkan juri
juga tidak sedikit, loh. Ternyata
objektivitas sepertinya memang mahal. Plusnya, saya jadi apal kalau dancesport itu merupakan olahraga yang dilombakan. Tapi kalau mau selaras dengan prestasi internasional, bukankah lebih efisien jika yang dimasukan ke dalam PON ini olahraga yang diikutsertakan dalam olimpiade?
Hal lain yang menyita perhatian
saya adalah target sukses pemberdayaan ekonomi. Tentu untuk
persoalan infrastruktur, suvenir, transportasi, dan lainnya dilelang
menggunakan sistem tender. Otomatis mereka yang mendapat tender ini yang
untung. Tapi bagaimana dengan pelaku UMKM di 16 kota dan kabupaten yang menjadi
tempat penyelengaraan PON ini? Usaha
Pemprov untuk membuat pameran dan PON Expo yang diisi oleh stan-stan UMKM ini
patut dihargai namun belum tepat sasaran. Daya beli masyarakat yang masih
rendah masih menjadi persoalan. Banyak expo dan pameran yang meramaikan PON 19
terlihat sepi dari pengunjung apalagi
pembeli karena segmentasi masyarakat sekitarnya tidak termasuk di dalam target pasar.
Malah ada satu expo yang 40 persen stan-nya kosong begitu saja tidak diisi oleh
apapun. Atelt pun sulit meluangkan waktu untuk mengunjungi stan-stan karena letaknya yang cukup jauh. Contohnya di kota Bandung, ada expo PON 19 di Cibaduyut yang letaknya kurang strategis. Selain itu, para atlet pun ternyata lebih memilih berbelanja di CiWalk, Dago, atau Riau. Satu atribut yang menurut saya sia-sia adalah dengan menyediakan bus-bus Lala dan Lili (maskot PON 19) dengan mengadopsi konsep hop on hop off yang berhenti di sejumlah titik di kota Bandung. Karena kenyataannya, bus-bus tersebut sepi penumpang. Tak heran, hari terakhir bus-bus tersebut dibebaskan untuk para pendukung yang ingin menonton pertandingan-perlombaan sisa.
Cabor Tenis Putra di Lapangan Tenis Maluku |
Di beberapa gelanggang seperti renang dan tenis, pada awalnya panitia
memberlakukan tiket tapi dibatalkan karena ya masa dengan budget 3 triliun
rupiah, warga juga masih harus bayar.
Katanya mau memasyarakatkan olahraga? Malah
untuk tenis lapangan, panitia mewajibkan pengunjung menggunakan gelang tiket
yang dibagikan secara gratis di hari kedua pertandingan hingga sampai beres. Bagi saya ini menjadi kritik keras bagi pemprov yang gagal memetakan antusiasme masyarakat untuk cabor-cabor tertentu sehingga optimisme mendapat pemasukan dari penjualan tiket menjadi kosong.
Selain itu, ada beberapa cabor yang kurang
persiapan dalam mengakomodasi masyarakat yang awam olahraga. Sebagai awam, saya
harus bolak-balik tanya panitia untuk tahu siapa tanding lawan siapa dan grup
partai mana yang sedang berlangsung di cabor tenis. Hal serupa terjadi di biliar. Panitia
biliar hanya memasang banner pengumuman jadwal pengumuman. Masih mending di
biliar bannenrya cukup besar, di lapangan tenis di Taman Maluku, panitia hanya
menempelkan sebuah kertas A4 yang berisikan jadwal pertandingan di meja mereka.
Tak jarang banyak orang berkumpul ingin melihat jadwal pertandingan. Saya sih berpikir
positif, mungkin mereka menerapkan green
printing. Gak mungkin ya? Di sisi lain saya saya mengapresiasi panitia renang yang sangat
responsif dan kooperatif. Mereka menyediakan buku acara berisi informasi
susunan acara dan atlet dari masing-masing kontingen termasuk catatan waktu dan
biodata dasar para atlet. Hal ini penting sekali agar masyarakat bisa mengenal
atlet atau ikon cabor renang. Juga di cabor MTB. Panitia gesit sekali
memberikan kertas informasi atlet dan
susunan acara. Mengenai informasi, pembaharuan informasi website dan aplikasi PON - Peparnas ini juga cukup terkini, lengkap dengan informasi peraihan medali, berita terkini, dan info seputar lokasi gelanggang. Bahkan ada pula kuis dan dukungan dari pengguna aplikasi. Sayangnya ada beberapa tab yang isinya kosong. Misalnya ketika saya klik gelanggang tenis, tidak ada informasi khusus yang muncul. Selain itu ada beberapa jadwal pertandingan yang jamnya tidak sesuai dengan yang diselenggarakan.
Cabor Tenis Putri di Lapangan Tenis Siliwangi |
Di sisi pengamanan, 13 ribu
personil yang terdiri dari gabungan Polri, TNI, Pol PP, Pramuka, dan Satpam
dikerahkan. Meski demikian, tak bisa meredam kericuhan-kericuhan yang terjadi
di antara pendukung seperti di cabor gulat dan polo air. Saya sendiri sempat
menyaksikan kericuhan antar pendukung di cabor Squash hari terakhir yang
berlangsung tegang. Malah ada salah satu oknum yang menonjok provokator pendukung. Menurut saya kericuhan
seperti ini menodai pelaksanaan PON 19.
Kericuhan sempat terjadi |
(Tak) Harus Ada
Walau Jabar menjadi juara umum PON XIX, masih banyak yang perlu dievaluasi karena kenyataannya masih banyak yang beranggapan PON
hanyalah olahraga rekreasi. Pandangan itu datang tidak dari masyarakat awam saja tapi juga internal KONI. Awalnya saya berpendapat sama karena pesta olahraga
ini hanyalah hambur-hambur uang saja. Terlalu banyak seremonial dan aksesoris mercusuar. Ya, semoga saja PEPARNAS 15 bisa belajar lebih banyak dari PON 19.
Jika ditanya harus ada atau tidak, dengan argumen saya yang pertama, saya jawab tak harus ada. Namun, saya harus merevisi jawaban saya
ketika saya berkenalan dengan Triadi Fauzi, seorang perenang Jawa Barat yang
meraih delapan medali emas. Ada yang bilang, bahwa PON ini memang ajang atlet
untuk cari uang. Itu juga tidak semuanya salah. Tapi perenang Jawa Barat itu membuktikan kalau PON ini memang mengasah kemampuan atlet hingga mencapai optimalisasi. Saya juga merevisi jawaban saya (dan malu pada
prasangka saya dengan menyebut PON ini hanyalah ajang hambur uang). Saya juga sempat berkenalan dengan Izza dan Mega yang merupakan atlet
sepatu roda yang masih berusia 11 dan 15 tahun. Walau sudah punya banyak medali
dari turnamen sepatu roda baik dalam dan luar negeri, mereka kurang beruntung meraih medali bukan karena dikalahkan tapi
betulan kalah. Yang bikin saya terhenyak, mereka cukup sportif dan dewasa untuk mengakui kekalahan mereka. Walau kalah mereka bilang mereka merasa sangat
senang bisa ikut berjuang pada debut pertama mereka di PON ini. Mereka menyaksikan dan
mengalami sendiri masih banyak atlet senior berpengalaman yang bisa mereka
jadikan panutan. Mereka senang walaupun tidak mendapatkan medali. Lantas saya
balik nanya ke diri sendiri, apa kalau PON tidak ada, mereka masih bisa
memiliki pengalaman berharga seperti ini? Bukankah, ini yang menjadi esensi PON? Regenerasi atlet yang terpetakan antardaerah melalui satu kompetisi nasional sehingga timbul pembinaan bibit unggul secara kontinu agar bisa bersaing dengan atlet luar negeri?
Saya ingin mengakhiri pendapat saya dengan satu cerita baru-baru ini. Pada saat final sepakbola Jabar kontra Sulsel, saya berada di satu kafe yang menyelenggarakan nonton bareng.
Di sana ada kerumunan muda-mudi yang ikut nobar. Satu di antaranya nyeletuk.
“Ini bola apaan sih? turnamen apaan?” tanyanya dengan muka beneran gak tahu.
“Ini final PON. Jabar lawan
Sulsel.”
“Loh kok PON Jabar lawan Sulsel? Namanya juga PON 19 Jawa Barat. Berarti cuma se-Jawa Barat doang. Ngaco lu."
“Bukan, dodol. Ini tuh Pekan
Olahraga Nasional ke 19 yang diadain di Jawa Barat. Makanya disebut PON Jawa Barat. Lu
kok orang Bandung bisa gak ngerti gini sih?”
“Ya gua kan gak suka olahraga.
Wajar dong.”
********
Comments
Post a Comment