Genap satu minggu saya menjejakan kaki di kota Sydney, kota paling padat penduduk di benua Australia. Saat ini sedang musim semi jadi cuaca masih bisa dianggap bagus. Walau cerah pada hari-hari biasanya, kadang diselingi hujan dan angin kencang. Untungnya saya sudah sempat mengunjungi Sydney Opera House dan Royal Botanical Garden saat hari sedang cerah dan jalan kaki mengelilingi kota. Dari pagi hingga malam, Sydney ini layaknya kota besar lainnya yang tak pernah tidur. Sibuk sepanjang hari sepanjang pekan. Saya sebenarnya bukan tipikal penyuka kota besar. Tinggal sebulan di Jakarta saja sudah buat saya pusing dan gak betah. Lantas apa yang sebenarnya saya lakukan di sini?
Sydney Opera House |
Semuanya bermula dari awal tahun saat saya banyak mengirimkan lamaran dan banyak menggali informasi beasiswa doktor. Saya beberapa kali melamar di beberapa perusahaan internasional dan media luar negeri sebagai jurnalis tapi gagal di beberapa tahap akhir. Jujur, saya sangat hancur dan kecewa saat itu. Saya pun berusaha mengobati kekecewaan saya dengan terus mengirimkan surat korespondensi dan melamar beberapa beasiswa. Kabar bagusnya, saya berhasil mendapatkan satu beasiswa dari satu kampus lima besar di Australia. Kabar buruknya, beasiswa yang saya dapat ini masih parsial. Saya harus mencari biaya hidup sendiri. Sepengalaman saya, kuliah sambil bekerja apalagi di negeri asing benar-benar menguras tenaga dan bakal keteteran.
Hingga pertengahan tahun, saya belum juga mendapatkan beasiswa penuh. Saya mulai gamang dan jenuh dengan rutinitas sehari-hari di Bandung. Jujur, saya orang yang mudah bosan. Jangankan sama orang lain, sama diri sendiri aja saya gampang bosan. Bukannya saya tidak menyukai rutinitas saya waktu di Bandung, tapi ada banyak hal yang membuat saya memang harus pindah dari Bandung, termasuk kebosanan saya ini. Sejak awal saya membulatkan tekad agar dapat beasiswa penuh dengan menunda rencana doktor plus catatan jika dalam waktu setahun saya tidak mendapatkan sponsor beasiswa penuh, ya saya mundur. Saya mengumpulkan keberanian dan mengirimkan surat permintaan penundaan enrollment ke pihak kampus dan disetujui.
Selain biaya, yang perlu saya ingat baik-baik adalah komitmen terhadap program. Karena jurusan yang saya ambil ini adalah Climate Change dengan program penuh waktu empat tahun, maka dapat ditebak program ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari diri sendiri. Four years will feel like forever. Jadi saya masih ragu mengambil program doktor ini apa memang karena kebutuhan saya atau hanya keinginan saya untuk melarikan diri dari rutinitas.
Pada saat-saat seperti ini saya berulang kali menilai apa kebutuhan saya ke depan sambil berkaca ke belakang, "Sekolah dari SD sampai kuliah nyambung terus. Abis lulus langsung kerja empat tahun jadi jurnalis dibarengin tiga tahun sekolah magister dan penelitian. Ini mah beneran butuh libur panjaaaaang."
Hal ini saya rasakan sebelum pertengahan tahun dan saya pun menyadari bahwa saya butuh career break, yaitu jeda rehat panjang setelah bekerja/berkarir cukup lama. Kalau sekolah, ada yang namanya gap year atau sabbatical year, yaitu jeda sebelum memulai sekolah lagi. Panjang rehatnya kira-kira setahun. Ada banyak pro dan kontra (seperti hal lainnya di dunia ini) mengenai career break atau gap year ini. Kalau mau baca yang pro bisa baca di sini. Kalau kontra bisa juga saya buat-buat seperti: nanti kalau udah beres susah lagi mulai kerjanya, ngapain nganggur lama-lama, buang waktu dan uang.
Di tengah usaha saya mencari beasiswa penuh, saya mencoba mendaftar WHV (Work and Holiday Visa) untuk Australia. Sesuai namanya, WHV merupakan program bilateral antara pemerintah Indonesia dan Australia yang memungkinkan pemegang visa untuk bekerja sekaligus berlibur selama satu tahun seperti dikutip dari situs resmi Ditjen Imigrasi Indonesia:
"Program Bekerja dan Berlibur (Visa)/Work and Holiday mendorong pertukaran budaya dan hubungan person to person yang lebih erat dengan memungkinkan pemuda-pemudi Indonesia untuk menghabiskan liburan panjang serta dapat melakukan pekerjaan jangka pendek di Australia. Program Bekerja dan Berlibur merupakan hasil kerjasama yang erat antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia sejak tahun 2009. Pada awal berlakunya kesepakatan, pemerintah kedua negara menyepakati kuota untuk program ini berjumlah 100 (seratus) orang. Namun berdasarkan hasil kunjungan Presiden RI ke Australia pada bulan Juli 2012 silam, jumlah kuota untuk Program Bekerja dan Berlibur (Visa)/Work and Holiday berjumlah 1000 (seribu) orang."
Intinya kalau memang hobi jalan-jalan dan punya dana selama satu tahun untuk hidup di Australia, ya silakan jalan-jalan setahun penuh. Kalau mau kerja terus setahun suntuk, ya silakan juga. Pemegang visa ini bisa masuk ke Australia berkali-kali (multiple entry) dan diberi waktu satu tahun untuk persiapan pergi sejak visanya dikeluarkan. Jadi bisa pulang kapan saja dan tak perlu buru-buru.
Setelah banyak baca dari blog orang dan tanya ke sana ke mari, saya coba-coba daftar akhir Juni. Walau jeda karir ini layak dicoba, saya sudah meniatkan nothing to lose. Kalaupun saya mendapat beasiswa penuh, saya harus merelakan WHV ini karena batas umur mendaftar adalah 30 tahun. Kalau saya lolos WHV, saya bisa jeda karir sambil cari beasiswa. Kalau tak lulus keduanya, ya tak apa juga. Masih ada jalan lain. Tak terasa karena daftarnya di tengah kerjaan sehari-hari, proses WHV ini pun berjalan cepat. Awal September visa saya keluar. Saya senang karena mendapatkan waktu satu tahun untuk kabur. Sekalian cari pengalaman baru, siapa tahu ada rezeki dapat beasiswa penuh.
Pengalaman baru yang saya cari itu langsung saya dapatkan. Tiba di kota yang sangat asing dengan berbekal uang terbatas untuk bertahan hidup sangatlah berbeda dengan pengalaman saya sekolah disponsori pemerintah. Tahun 2013 lalu, masih segar dalam ingatan saya, kedatangan saya dan teman-teman di bandara Schipol Amsterdam disambut pihak kampus. Fasilitas dan akomodasi disediakan mulai dari penjemputan, tempat tinggal, sampai denah toko retail/grosir halal pun diberikan. Saya benar-benar merasa aman. And i felt welcomed too.
Berbeda dengan pengalaman lalu, kali ini saya benar-benar sendiri. Walaupun terbiasa bepergian sendiri, saya agak gugup untuk memulai kehidupan di kota Sydney. Saya tiba di bandara Sydney tengah malam dan mencari rute ke rumah teman saya berbekal google map. Saya sempat menumpang sementara di rumahnya selama tiga hari. Setelah itu saya mencari tempat tinggal dan pekerjaan sendiri. Saat di Belanda, aktivitas saya hanya belajar (baca: tidur), makan, main, dan tidur (baca: tidur panjang). Saya tak perlu khawatir tak ada uang untuk bayar sewa rumah dan makan sehari-hari. Tiap bulan pasti ada pemasukan. Belum lagi kalau ada proyek atau kerjaan sampingan. Berbeda dengan kemudahan itu, di sini saya belajar berjuang agar bisa makan dan tidur. Rasa kagum tumbuh saat saya bertemu orang-orang Indonesia yang sedang menjalani masa WHV. Saya pun senang mendengar pengalaman dan cerita mereka setelah beberapa bulan tinggal di sini. Mereka memang benar-benar berjuang.
Saya jadi teringat saat beberapa teman mengucapkan selamat tinggal dengan berpesan, "Enjoy your adventure." atau, "Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu cari."
Kadang kita dituntut untuk terus berjalan, bahkan berlari ke depan, tanpa sanggup mengambil kuasa atas jeda napas kita sendiri. Padahal tiap orang butuh jeda dalam hidupnya, setidaknya sejenak. Dan saya percaya, setiap kita memiliki jedanya masing-masing. Inilah jeda saya.
Semoga kamu juga menikmati petualangan kamu, juga mendapatkan apa yang kamu cari.
Comments
Post a Comment