Di stasiun
ini, cuping hidungmu bergerak-gerak membaui aroma lelah yang menyeruak dari
orang-orang lalu lalang. Bola matamu mencerminkan kekosongan orang-orang
berpapasan. Raut mukamu berubah masam, merangkum kegelisahan orang-orang duduk dan
mematung menanti malam. Mereka membangun sekat transparan dengan deretan
telepon genggam, bacaan, atau penyuara kuping yang ditanamkan dalam-dalam. Saat kau hanya bisa sedikit berharap untuk membangun ruang sendiri, mereka sudah tenggelam. Kita putus asa untuk melocot kebisingan yang sudah mengerak di bawah kulit kita.
Di stasiun ini, orang-orang berdesakan pulang dan menunggu pulang. Mereka begeming dengan
pikiran-pikiran yang terbang melesat jauh tanpa arah, kemudian bertabrakan satu
sama lain menyisakan kejemuan atau isak kehilangan.
Tumpukan buku-buku tebal dengan
debu,
catatan harian mulai terlupakan
waktu-waktu semakin menyibukkan,
sepanjang perjalanan,
kau menerka-nerka
kisah ini
menyenangkan atau
menyesakkan.
Hingga
kereta datang dan kita hanya ingin pulang. Aku dan kau berhimpitan dan saling menatap, berharap ada cukup sisa
waktu untuk dibagi. Tapi kita memilih menundukan kepala. Sesekali menutup mata,
menyerah pada kantuk dan irama kereta yang bergoyang ke kiri-kanan.
Tak ada lagi
kasad untuk menjalani petualangan yang selama ini menjadi duri dalam hati.
Tak lama.
Orang-orang
tiba di rumah.
Mereka
menemukan
kenyamanan-kenyamanan,
kenangan-kenangan,
penyesalan-penyesalan,
dan
hari berulang-ulang.
Bandung, 06
Agustus 2016.
Comments
Post a Comment