Siang
hari hujan mulai mencumbu tanah Gunung Halu. Aku dan kedua temanku bergegas
menuju parkiran motor untuk pulang. Satu jam yang lalu kami baru saja membereskan
tenda setelah bermalam di Curug Malela, Gunung Halu. Kami tahu kami harus
bergegas saat matahari mulai dibayangi awan-awan kelabu yang berat akan rindu.
Seolah adu cepat dengan alam, kami tak peduli saat di parkiran beberapa oknum
menagih tiga lembar sepuluh ribu rupiah sebagai jasa meminjamkan tanah tempat kami bertenda. Mengendarai dua motor, kami
sudah mengenakan jas hujan karena tinggal masalah waktu saja hingga hujan
turun. Aku sebenarnya sudah khawatir sejak kemarin karena jika hujan turun,
jalan keluar yang masih jelek dipenuhi batuan besar dan tanah besar itu pasti akan
menyulitkan motor kami.
Sesaat Sebelum Hujan |
Melewati
tanjakan pertama, tiga orang penjaga parkir membantu mendorong motor kami
karena motor kami beberapa kali slip dan hampir terjatuh. Beruntung motor kami memang
terbiasa dibawa ke medan seperti itu, tidak seperti beberapa motor yang terpaksa digiring pengemudinya. Melewati tanjakan pertama, hujan mulai
turun dan tanpa basa-basi menjadi sangat deras. Saat berangkat aku membonceng satu
temanku dan kini aku hanya membonceng tas besarku saja. Kedua temanku agak
kesulitan karena beban mereka lebih berat, aku mendahului mereka agak jauh di
depan. Hujan deras membuat bebatuan jalan menjadi basah dan licin, begitupun
tanah yang berubah menajdi lumpur.
Ada
sedikit rasa malas melewati medan seperti ini, jalan berbatu dan licin sepanjang
kurang lebih dua puluh kilometer diiringi hujan deras. Muncul juga kekhawatiran
motor kami mogok. Aku mulai berharap Doraemon atau Blink bisa muncul menjadi
penyelamat. Beberapa detik kemudian harapan itu total hancur saat aku hampir
terjatuh dari motor karena sebuah batu besar dan tanah yang tidak rata aku
lewati.
Aku
berhenti sejenak. Memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Aku mendengar suara
hujan bercerita menjadi aliran air di himpitan bebatuan. Aku merasakan gigil
yang membuat jari tanganku mengkerut. Aku membuka mata dan melihat ke langit.
Tetesan hujan menyelinap di sela-sela kelopak mata dan bibirku. Kemudian aku melemparkan
pandangan ke sekitar. Pepohonan tinggi di kiri kanan jalan, hamparan sawah
diselimuti kabut dari kejauhan. Tak ada orang, kecuali aku dan kedua temanku
yang ternyata juga sedang kepayahan melewati jalanan ini.
Melihat
aku yang terdiam di tengah jalan, saat motor temanku menghampiri salah satu
dari mereka bertanya,
“Kunaon
euy?”
“Teu
kunanaon.”
Aku menjadi
lebih tenang. Menjadi lebih fokus.
“Eta
bensin maneh geus tereh beak.” Ucap salah seorang temanku yang lain sambil
memperhatikan indikator bensin motorku yang sudah di ambang bawah.
Aku
baru sadar.
“Mun
aya tukang bensin, ereun heula weh.” Jawabku datar.
Kami
melanjutkan perjalanan.
Terkadang kekhawatiran yang kita rasakan tidak mewakili
keadaan sebenarnya. Bisa lebih, bisa kurang. Aku sadar kekhawatiran itu punya tuas yang dapat kita kendalikan sepenuhnya. Saat itu aku memilih untuk tidak
khawatir berlebihan. Jika bensin motor yang sedang aku tumpangi ini habis, ya sedih deh tapi ya mo gimana lagi tinggal dorong.
Seperti
satu malam minggu sepulang kerja rantai motorku terputus dan terhempas ke udara.
Beruntung ia tidak melukai orang atau kendaraan di sekitarku. Lantas aku
mendorong motor sejauh sepuluh kilometer menuju rumah. Bengkel-bengkel pinggir
jalan tentunya tak sanggup menyambung kembali rantai motor yang sudah putus
itu. Beberapa motor sempat berhenti sekadar bertanya bahwa apakah aku butuh bantuan.
Aku jawab dengan senyuman dan ucapakan tidak
terima kasih. Semoga Tuhan mencatat niat baik mereka.
Satu
malam minggu lainnya saat melewati puncak, Bogor, pukul dua belas malam lewat dan ban
motorku kempes. Hampir putus asa dan memutuskan untuk bermalam di salah satu
penginapan setelah menemukan beberapa tukang tambal ban sudah tutup. Tapi ada
suara di kepala yang terus mendorongku dengan, “Coba satu lagi. Di depan
mungkin ada yang masih buka.” Walau kenyataannya satu di depan yang aku temui
ternyata tutup, suara itu terus hadir. Sambil tetap mendorong motor, aku sudah mengira-ngira
uang tunai di dompet yang aku pastikan tidak akan cukup untuk membayar satu
malam di penginapan paling murah pun. Bajuku sudah basah oleh keringat. Aku
mulai membidik penginapan dengan logo visa, master, debit, kredit apapunlah
itu. Tepat saat aku akan membelokan motorku ke sebuah penginapan dan menghela
napas karena aku akan menginap di salah satu hotel yang cukup mewah di kawasan puncak
bogor bukan untuk liburan tapi terima
kasih kepada ban motor yang kempes, beberapa meter di depanku ada sebuah kios
tukang tambal ban yang masih buka. Aku senang bukan kepalang. Serius, aku
seringkali mencoba optimis tapi aku lebih menyukai menjadi seorang yang skeptis
atau sinis. Kita semua tahu, terlalu berharap terkadang berakhir menyakitkan.
Kembali ke Gunung Halu, aku sedang
bernasib baik sehingga tidak perlu mendorong motor karena kehabisan bensin. Di
ujung jalan jelek tersebut ada satu kios bensin yang memang menanti motor-motor
nyaris habis bensin. Hujan belum bosan mengguyur kami. Satu jam keluar dari daerah
Curug Maela dan menuju perkampungan warga, kami dihadang banjir hingga dengkul
kaki. Beberapa motor mogok, dan beberapa mobil enggan melintas. Aku sendiri
memaksakan untuk melintas dan hanya bisa berdoa knalpot motorku tidak kebanjiran.
Doaku dikabul Tuhan dan aku bersyukur.
Dua
jam setengah perjalanan dari Gunung Halu, kami berhenti di jembatan penuh warung
makan ramai pengunjung di daerah Nyalindung. Setelah mengisi perut yang
daritadi terlupakan adrenalin, kami meneruskan perjalanan pulang diiringi cerita
hujan yang kembali menghujam tanah. Pukul enam sore aku tiba di rumah. Setelah lepas tas dan baju, aku langsung loncat ke kasur bersembunyi di bawah selimut.
Malam
minggu dan aku tertidur pulas.
Comments
Post a Comment