Solilokui
Angin Katabatik
Aku terlahir karena adanya perbedaan
tekanan. Bagaikan cinta, aku kasat mata namun terasa; transparan. Bersamaan
dengan kelelawar dan burung hantu yang terbang lirih, setiap malam aku
mengembara dari Tangkuban Parahu ke Kawah Putih. Aku adalah angin Katabatik
Aku bersemayam di Tangkuban Parahu. Dan
kota ini adalah taman bermain bagiku. Dulu orang dengan ramai menyebutnya kota
kembang. Suatu malam aku menyusuri liukan Cikapundung yang airnya bening. Aku bisa
melihat beningnya air yang mengalir, menyentuh kepolosan batuan gamping, dan merasakan
kecerian ikan-ikan kecil. Saat ku ikuti liukan sungai itu hingga memotong jalan
Asia Afrika, aku terperangah. Kulihat sekuntum bunga tegak menjulang di atas
permukaan air. Kelopak-kelopaknya besar dan tebal. Warnanya seperti lembayung. Ia
dikelilingi oleh daun-daun air yang hijau segar. Dalam gelap, putiknya berpendar
seperti mata anak-anak. Orang memuji dan mengamatinya. Ia adalah bunga Seroja. Dan aku jatuh cinta padanya.
Setiap malam aku menemuinya untuk
membantu menyebarkan benih dari putiknya yang mungil. Setiap malam aku
melindunginya dari tangan-tangan jahil. Tapi seiring waktu, sampah mulai
menggunduk. Air sungai menjadi cokelat pekat. Ia pun layu dan akhirnya mati. Aku
hanyalah angin lalu. Aku mungkin tak berbentuk tapi hatiku bisa remuk redam.
-----
Aku mengitari kota ini sekejap mata, memelesat
bagaikan peluru.
Kemudian malam menjadi muram.
Aku berdialog dengan bulan.
Katanya, ia juga merekam.
Ia berduka. Tak ada lagi anak-anak yang
bermain riang gembira di bawah cahayanya. Tak ada lagi suara tetembangan yang
mengiringinya. Yang ada hanyalah suara klakson, suara mesin dan alat berat yang menyaru dengan cekikikan di kafe. Yang
ada hanyalah ricuh dan hingar bingar pembangunan dan pemerintahan.
Dulu, aku sering keluar siang hari dan
memperhatikan anak-anak yang bermain bola di lapangan Gajahlumantung. Ku
embuskan diriku saat mereka basah oleh peluh supaya segar. Ku goyangkan
dedaunan pohon Karet, supaya mereka merasa teduh saat istirahat. Dan kubisikan
sepoi-sepoi rerumputan agar mereka bisa merasa tentram dan damai. Tidak hanya
itu, aku juga pernah menjadi kegemaraan anak-anak saat bermain layangan. Aku bercengkrama
dengan anak-anak yang bermain layangan di Pasirkaliki. Ku bawa layangan mereka
menjulang tinggi menyentuh langit biru. Ku dengar tawa mereka yang renyah.
Kini tak ada lagi lapangan tempat
bermain bola. Tak ada lagi pepohonan tempat berteduh. Tak ada lagi langit
kosong. Yang ada hanyalah barisan mal, toko, dan kabel listrik yang melintang
di langit.
Kini tak kutemukan lagi air, batuan,
dan ikan-ikan yang dulu. Yang ada hanyalah sampah, sampah, dan sampah. Kini tak
ada lagi Seroja di sungai. Tergantikan oleh sampah, sampah, dan sampah.
Lama-lama, aku merasa gelisah. Ada
dendam yang berkecamuk. Aku benar-benar ingin mengamuk. Tapi aku malah terdiam
dan tertunduk bisu di tempat aku dan Seroja bersua. Aku menangis.
Tiba-tiba aku mendengar rintihan orang
menangis di sana. Aku mendekat. Kulihat mereka duduk bersimpuh di trotoar. Ku
lihat mereka tua dan matanya selalu kuyu. Mereka lelah. Menunggu sesuatu untuk
berubah. Trotoar itu menjadi rumah bagi mereka yang kehilangan rumah. Mereka yang lelah dan kehilangan arah. Mereka
yang tidak bisa marah. Aku ingat Seroja.
Aku adalah angin Katabatik.
Kini, aku bersemayam di Jalan Asia
Afrika.
Bandung, Juli 2010.
*dipublikasikan dalam Antologi Puisi Negeri Sembilan Matahari*
Comments
Post a Comment