Hari Buruh 2013.
Tadi
pagi menjelang siang, saya sempat lewat Gedung Sate yang dipenuhi banyak orang
yang sedang demo. Banyak tuntutan yang mereka ajukan melalui spanduk dan papan
besar. Beberapa di antaranya: Kenaikan UMR, Tolak Kenaikan BBM, dan hapus
sistem kerja kontrak. Dari tahun ke tahun para buruh ini konsisten dan gigih untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Tapi apa dengan tuntutan
merek apa yang jika dipenuhi akan membuat mereka sejahtera?
Tuntutan
mereka tidaklah politis namun ekonomis. Mereka hanya ingin memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, dan papan. Dengan dieksploitasi seperti itu, siapa yang tidak
menginginkan kesejahteraan yang setidaknya bisa membuat mereka makan nasi dan
ayam goring sambil nonton sinetron pada malam hari sepulang mereka kerja di
rumah kontrakan. Jika dilihat dari UMR, kota Bandung berada di angka Rp.
1.538.703 lebih kecil dibandingkan Bogor atau Karawang yang berada di kisaran
Rp. 2000.000 tapi lebih besar dibandingkan Ciamis yang besarannya hanya Rp.
850.000. Dengan peningkatan indsutri besar di Jawa Barat yang mengeksploitasi pekerja
maupun lingkungannya, menurut saya wajar jika mereka menuntut kenaikan gaji. Hal
ini berdampak pada tuntutan mereka yang ingin menolak kenaikan BBM. Katakanlah
buruh di Bandung mendapatkan gaji UMR maka tiap harinya mereka memiliki jatah
pengeluaran sebesar Rp.50.000. Besar? Lumayan jika dilihat dari standar Bank
Dunia untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari yaitu sekitar Rp.
20.000/hari/orang. Tapi jika ia adalah tulang punggung keluarga yang terdiri
dari empat orang? Tentu saja tidak cukup. Kantor Kerjasama Internasional ITB
aja bilang kalau mahasiswa di Bandung itu, dengan gaya hidup yang biasa saja,
dapat menghabiskan Rp. 1000.000 sampai Rp. 1.500.000. Hal ini yang luput dari
perhatian pemerintah: Bagaimana memberdayakan setiap orang dalam keluarga buruh
sehingga memiliki keahlian untuk menghidupi diri mereka sendiri. Oleh karena
itu tuntutan penolakan kenaikan harga BBM masuk akal bagi mereka. Kebutuhan
mereka sudah sulit dengan harga yang sekarang. Apalagi dengan adanya kenaikan
BBM jika tidak diimbangipeningkatakn kesejahteraan buruh dan keluarganya. Hak
yang terakhir adalah penghapusan sistem kontrak. Banyak yang berpikir bahwa
sistem kontrak atau outsourcing adalah
perbudakan modern. Saya setuju tidak setuju. Maksud saya, banyak orang bekerja
di perusahaan asing dengan sistem kontrak atau outsourcing tanpa merasa kekurangan karena gaji mereka pada
dasarnya sudah besar. Mereka tidak merasa diperbudak. UMR saja sudah pas-pasan,
apalagi jika dipotong oleh perusahaan outsourcing.
Banyak juga buruh yang sudah mengabdi selama lebih dari duapuluh tahun
namun masih tetap berstatus pegawai kontrak. Tidak heran jika tuntutan itu
mereka lontarkan.
Saya
ingat seorang teman, sebut dia Indro. Saya berkenalan dengannya tahun 2007 di
sebuah pabrik di Padalarang. Saat itu saya juga bekerja sebagai buruh
menggantikan teman saya yang harus pindah kota namun sisa waktu kontraknya selama
dua bulan belum selesai. Dari Indro saya belajar banyak hal. Pertama,
sebenarnya tidak semua buruh berambisi menuntut ini-itu. Indro dan beberapa
teman-temannya sudah merasa berkecukupan dengan gaji Rp. 900.000 perbulan pada
saat itu. Mereka menyadari bahwa pendidikan mereka terbatas dan karena itu
jumlah gaji itu adalah yang pantas untuk mereka. Mereka bersyukur dengan
keadaan mereka. Kedua, mereka bekerja sepenuh hati. Jangan sangka jika dengan
gaji yang minim, mereka akan bekerja setengah-setengah. Jika teman sempat
melihat acara Undercover Boss,
beberapa buruh industri tertangkap kamera bekerja dengan sungguh-sungguh dan
teliti. Itupun terjadi di Indonesia. Ia
sering mengingatkan saya untuk tidak datang telat atau istirahat terlalu lama. Ia
giat dalam bekerja dan jarang mengeluh. Dan saat hari libur atau Minggu, ia
pergi dari Padalarang pukul delapan pagi menuju Bandung menggunakan kereta api.
Setiba di stasiun Bandung, Ia pergi ke Gramedia hanya untuk membaca buku yang
sampul plastiknya sudah terbuka. Ia belum bisa membeli buku yang harganya
duapuluh ribu. Karena dengan duapuluh ribu, ia dan ibunya bisa makan selama dua
hari. Setelah dua bulan, saya dan Indro harus berpisah karena masa kontrak saya
yang habis.
Lima tahun
berlalu.
Selama
itu saya berteman dengan banyak anak orang kaya yang sering ngeluh pekerjaan
yang mereka tidak suka. Pekerjaan mereka yang sampai malamlah, pekerjaan yang
tidak sesuai dengan passionlah, atasan mereka yang galaklah, atau gaji yang pas-pasanlah.
Mereka mengeluh tapi kenapa mereka tidak juga keluar dari tempat mereka
bekerja? Bukan karena mereka nyaman tapi karena itu pilihan mereka, jawab
mereka. Pilihan untuk menjadi seperti Indro yang bekerja untuk perusahaannya demi
menafkahi keluarganya. Tanggung jawab yang dipikul oleh mereka adalah menyokong
keluarganya.
Saya
terkadang heran dengan teman-teman yang dicekoki oleh pendidikan kampus dan
orang tua yang mencekoki anak-anak mereka dengan kebutuhan akan sebuah gelar.
Mereka mendambakan gaji besar, menjadi sarjana karena materi. Saya juga, orang
tua saya juga. Tapi yang saya sadari, apakah kita akan menjadi seperti Indro
yang tidak memiliki pendidikan tinggi tapi sama dengan kita, mengulang
rutinitas yang serupa dan disesaki kebutuhan dan kesibukan? Jawaban iya saru
meluncur dari teman-teman. Saya juga lupa betapa perguruan tinggi kadang serius
tidak mencap lulusannya dengan Tridharma Perguruan Tinggi: Pendidikan,
Penelitian, dan Pengabdian. Poin yang terakhir seringkali yang kita lupakan.
Comments
Post a Comment