Kematian
Tulisan ini dipicu oleh Surat Perpisahan Roger Ebert yang saya baca beberapa minggu lalu. Roger Ebert adalah salah satu kritikus yang paling dihormati dan dijadikan referensi kualitas film-film. Kalau kita beli dvd terus ada tanda bintang rekomendasi atau komentar dari Ruper &Ebert di sampulnya, iya itu Roger Ebert. Surat yang ditulisnya sebelum meninggal berjudul I do not fear death bikin saya berkontemplasi terus menerus. Waktu di motor, sebelum kuliah, setelah siaran, di bioskop, di wc, di mesjid, dan di tempat tidur. Jujur, saya merinding dan menitikan air mata saat membaca tulisannya. Dia menunjukan bahwa kematian bukan seperti apa yang ditakutkan setiap orang. Pada akhirnya ia akan datang kepada setiap yang bernyawa.
Gambar diambil dari sini |
Saya ingat waktu kecil ada film Ari Hanggara yang saya tonton siang hari saat ibu sedang lelap tertidur. Setelah selesai menonton, Ibu terbangun mendengar suara saya yang menangis keras. Saat dia bertanya ada apa, saya menjawab bahwa Ari, tokoh anak kecil itu, mati disiksa oleh ayahnya sendiri. Ia dituduh mencuri padahal tidak. Saya menangis sesenggukan. Bukan karena saya takut diperlakukan seperti itu tapi karena simpati saya terhadap Ari. Ibu menenangkan saya dengan berkata, "Itu cuma akting. Ari yang asli masih hidup. Itu cuma film." Berulang kali Ibu berkata seperti itu, saya tetap menangis dan tak mau makan. Saya benar-benar merasa iba. Beberapa bulan setelahnya, saya baru bisa mencerna arti kata akting dan cuma film setelah saya melihat tokoh Ari di film atau iklan lain. Ia masih hidup. Awalnya saya berpikir, anak yang disiksa orang tuanya hingga mati akan mewujud lagi di kehidupan lain (baca:film lain). Tapi saya salah. Itu cuma film. Artinya pura-pura. Saat kecil, saya belum tahu bahwa seseorang bisa meninggal (kan) dunia ini dan beserta orang-orang tersayang. Orang pergi dan pasti kembali. Jika tidak bertemu lama, ia berarti sibuk. Lagi-lagi saya salah. Saya akhirnya tahu bahwa meninggal adalah kondisi saat saya tidak bisa bertemu dengan orang-orang lagi selamanya. Tapi pikiran itu tidak merepotkan saya. Seperti anak kecil lainnya, pikiran tersebut lenyap saat saya bermain bersama teman-teman saya.
Menginjak bangku SMP, saya kemudian membaca novel si Jamin dan si Johan karya Merari Siregar. Seharian membaca buku tersebut harus berakhir dengan air mata lagi. Bedanya, tak ada teriakan atau tangisan keras. Saya berairmata dalam sunyi di bawah dekapan bantal. Saya tidak bisa menerima kematian si Jamin, adik Johan yang bernasib malang itu. Dari situ saya berpikir lagi. Tidak semua anak hidup bahagia selayaknya anak yang bisa bermain dan belajar saja. Ada yang harus bekerja layaknya orang dewasa dan akhirnya meninggal. Meskipun cerita itu fiktif tapi berhasil membangkitkan lagi keingintahuan saya terhadap kematian. Apa itu kematian? Kenapa begitu menyakitkan?
Lagi-lagi kesibukan seperti anak kebanyakan lainnya membuat saya melupakan pertanyaan-pertanyaan itu. Menginjak SMA, saya melihat sedikit titik terang mengenai kematian. Dengan pelajaran agama tentang surga dan neraka, pahala dan dosa. Tak ketinggalan malaikat pencabut nyawa dan alam barzah yang akan kita lalui sebagai alam setelah kehidupan. Ilmu agama saya masih sangat dangkal tapi sampai sekarang saya masih percaya kepada Tuhan, Allah SWT. Saya juga percaya dengan adanya takdir yang meliputi kematian seperti yang tertera dalam Al-qur'an:
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.(3:145)
Tapi karena ilmu agama saya masih dangkal, biarkanlah saya membahas kematian ini dari sudut pandang naif saya.
Kematian seseorang sudah digariskan dan tak bisa dihindari. Menjalani kehidupan seperti ini menjadi menunggu waktu saja. Kita menunggu kereta yang menjemput kita. Menunggu mobil jemputan pada saatnya tiba. Tanpa kita ketahui jadwal dan waktunya. Terbukti ketika teman saya harus pergi tanpa sempat mengucap perpisahan sebelumnya. Dini hari itu saya terbangun karena mimpi buruk tentang seseorang yang mengalami kecelakaan. Kaget dan berkeringat, saya mencoba menenangkan diri dengan meminum air putih dan kembali tidur. Karena itu saya agak terlambat datang ke sekolah. Saat pelajaran kosong dan saya sedang ngobrol dengan teman-teman saya, teman saya datang menghampiri saya di kelas dengan muka pucat dan mata berair. Dia mengabarkan bahwa seorang teman kami meninggal karena kecelakaan. Teman yang sehari sebelumnya bercanda tawa dengan saya dan yang lain. Teman yang sering membuat orang lain tertawa. Teman yang menyenangkan. Kemudian saya dan teman-teman langsung mengunjungi rumah dan mengantarkannya dikebumikan. Satu minggu kemudian, kami berbicara dan tidak melupakannya, mengenangnya dan masih berduka. Kami masih tidak percaya dia telah pergi untuk selamanya. Tak ada lagi tempat yang bisa kita datangi untuk bertemu dengannya selain makamnya. Ia benar-benar telah pergi. Jauh ke tempat yang tidak bisa kita jangkau selain dnegan doa. Satu bulan, dua bulan, dan tiga bulan kemudian teman-teman sudah mulai sibuk dengan pelajaran. Tak ada lagi yang mencoba mengenangnya. Saya yakin kini jika mereka ditanya tentang teman saya itu mereka pasti tidak akan lupa. Tapi mereka juga tidak mengingatnya. Hal itu menjadi kenangan SMA yang terkubur di hati masing-masing. Yang akan ada dengan menggali dulu kenangan tersebut. Sejak saat itu saat saya melihat konsep kematian: entah di film, lagu, ataupun melihat mobil jenazah, akan ada orang-orang yang pernah ada di hidup saya dan meninggalkan saya lebih dahulu.
Kehilangan sering kita alami melalui kematian. Saya kehilangan salah satu orang yang paling berpengaruh dalam hidup saya, nenek saya. Saya tidak yakin jika adik-adik saya masih mengenangnya dengan cara yang saya lakukan. Setiap kehilangan tersebut menyebabkan teman dan keluarga yang berduka, kenangan yang mulai pudar, dan kesedihan yang mendalam. Beberapa minggu lalu, saya mengalami kecelakaan. Saat kejadian itu, ada beberapa sekon yang membeku dan yang terlintas adalah kematian. Apakah ada yang akan menangisi kepergian saya. Apakah ada yang lupa siapa saya. Apakah kalian akan tetap tersenyum sembari membacakan puisi-puisi saya. Apakah kecelakaan ini akan menjadi penutup cerita saya. Nyatanya belum. Saya bersyukur. Saya sadar belum banyak kebajikan yang saya berikan dan jelas saya belum bisa berguna bagi orang tua dan orang-orang terdekat. Rasa bersyukur karena masih ada waktu untuk melakukan sesuatu sebelum jemputan saya datang. Seperti di film Single Man saat George kehilangan Jim. George merasa hidup kembali setelah mengalami depresi namun harus menemui ajalnya sebelum ia sanggup merengkuh rebound moment itu. Saya tidak ingin seperti itu, larut dalam kesedihan dan keputusasaan karena kehilangan. Dan saya berharap kalianpun tidak. Jika ingin meniru, tirula seperti tokoh Spock dalam Star Trek yang merengkuh kematian dengan berani dan pasrah. Bukan karena ia tidak merasa peduli meninggalkan orang-orangnya, tapi ia memilih untuk menghadapinya dengan berani walaupun orang salah mengartikan sikapnya. Selain itu sejatinya, setiap orang ingin kehidupannya berguna bagi orang lain sebelum menemui ajalnya. Begitu pula saya. Saya berdoa kepada Tuhan agar saya diberikan waktu yang cukup untuk melakukan tugas dan peran saya di dunia ini.
Terbiasa dengan mendengar kematian orang lain, saya tidak berpikir apa yang akan terjadi dengan kematian saya sendiri. Orang-orang akan sedih. Kemudian mereka melanjutkan hidup. Belum ada karya yang saya sempat telurkan. Belum ada kontribusi yang saya tularkan untuk orang sekitar. Jika ada hal yang saya takutkan dari kematian hal itu adalah oblivion. Dilupakan. Itu yang ditakutkan setiap orang termasuk saya. Ketika kita mati, raga kita akan menjadi mainan bakteri dekomposer. Dan akhirnya kembali menyatu dengan tanah.
Apa yang akan tetap ada saat itu tiba, saat kita tiada? apa yang ditinggalkan kematian selain kenangan?
V dalam V for Vendetta pernah berkata bahwa ideas are bulletproof. Itu yang menjadikan ide sesuatu yang membahayakan namun juga bisa membangun peradaban. Ketika kita tidak ada, ada memorablia yang dapat diingat dan berkembang menjadi sebuah gerakan, motivasi, atau percikan api ide-ide lainnya. Ide Horace bisa sampai ke generasi ini. Tidak salah jika Horace menuliskan carpe diem, quam minimum credula postero yang artinya seize the day, trusting as little as possible in the next (day)/future. Percayalah sedikit mungkin dengan hari esok. Mungkin dengan begitu kita akan melakukan apa yang harus kita lakukan. Berbuat baik atau menikmati hidup dalam cara yang optimis dan positif. Tidak ada yang akan kita sesali.
Tiada yang tahu jika hari ini adalah hari terakhir kita.
Dilupakan dan melupakan adalah hal yang akan selalu terjadi dalam kehidupan. Untuk menjadi yang tidak terlupakan meskipun setelah kematian adalah hal yang memungkinkan. karena manusia akan mengingat kembali setelah melupakan. Itulah kenangan. Lalu, mengapa harus takut akan kematian?
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete