Sebenernya sudah lama saya ingin bikin iseng-isengan
ini: ngitung biaya yang dikeluarkan saya dan orang tua selama S1 dulu. Atau kasarnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan gelar S.IP? Menurut saya
iseng ini penting untuk dilakukan.
Kenapa penting? Karena hal ini berkaitan
dengan hal yang sangat prinsipil dam juga personal dalam hidup saya.
Saya pernah berpikir bahwa pendidikan tinggi
tidak sepenting yang orang-orang bilang. Bisa membaca dan menulis sudah cukup
buat saya. Lantas ya tidak usah tinggi-tinggi, SMA juga sudah cukup buat saya.
Kamu mungkin bertanya, “kamu gak punya cita-cita dong? Mimpi?” saya akan menjawab:
tentu saya punya mimpi dan cita-cita. Tapi tidak perlu pendidikan tinggi untuk
menggapainya. Cita-cita saya saat itu bisa hidup bahagia, berkecukupan, berguna
bagi orang lain tanpa harus menjadi beban bagi siapapun. Hidup dengan sederhana
tanpa harus begelimang harta menjadi cita-cita saya. Ya, cita-cita saya bukan menjadi
polisi, insinyur, atau dokter. Maka dari itu saya sering bingung saat guru atau
rekan saya menanyakan cita-cita saya. Saya hanya butuh satu kata yang bisa
membungkam pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Karena jika saya jelaskan panjang
lebar cita-cita saya maka mereka akan terus menyudutkan saya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang lebih ganas. Saya berpikir lagi ternyata yang mereka
maksud dengan cita-cita adalah pekerjaan. Yah, pekerjaan sih saya apapun yang
penting halal. Tapi tidak mungkin saya menjawab dengan seenteng itu. Karena saya
suka sekali membaca dan menulis, akhirnya jika orang memaksa saya bertanya apa
cita-cita saya, saya akan menjawab menjadi penulis. Penulis sehebat Mochtar
Lubis. Atau bahkan menjadi sastrawan sehebat Chairil Anwar dan W.S Rendra. Ya, saya
tetapkan ingin menjadi penulis saat saya menginjak kelas dua SMP. Tidak ada
lagi kening yang mengkerut jika ada pertanyaan apa cita-cita saya sebenarnya. Karena
saya punya satu kata yang menjadi jawaban yang tampaknya disetujui semua orang:
penulis.
Waktu bergulir dan kita berubah. Persepsi
kita dipengaruhi oleh persepsi masyarakat. Lingkungan sekitar saya mengatakan
bahwa menjadi sastrawan atau penulis bukanlah satu cita-cita yang dapat
diterima oleh keluarga yang konservatif. Padahal menginjak SMA saya benar-benar
sedang asyik tenggelam di dalam dunia sastra. Saya belajar menulis puisi,
cerpen, dan esay kemudian saya coba mengirimkannya ke media massa. Saya juga
mulai membaca buku-buku ringan tentang humanisme, filsafat, dan kesusateraan. Saya
tidak mengindahkan kritik di lingkungan sekitar tentang saya yang ingin menjadi
penulis atau sastrawan. Kritik seperti: menjadi penulis itu bisa jadi
sampingan, jadi sastrawan itu tidak menghasilkan. ‘Tidak’ selalu saya katakan dalam
hati walaupun saya terpaksa mengangguk mengiyakan.
Semua harus benar-benar berubah saat keluarga saya kolaps secara finansial.
Sebenarnya hal ini sudah berawal sejak krisis moneter tahun 2000an. Tanpa saya
duga, efeknya sangat dalam dan juga krusial bagi finansial keluarga saya. Di
tahun-tahun berikutnya orang tua berusaha bangkit namun ternyata sulit. Saya
mengetahui itu saat saya sedang duduk di bangku kelas 2 SMA. Sebagai seorang
yang sangat benci menyusahkan orang lain, saya lantas tahu apa yang harus saya
lakukan: bekerja. Saya mulai bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji,
warnet, warung playstation, apapun itu saya lakukan sampai menjadi pengambil piring
kotor di pernikahan orang. Saya sudah biasa bekerja berlebihan. Pukul lima pagi
selesai shift jaga warnet, saya bisa langsung pergi sekolah walau nanti di
kelas saya tertidur pulas.
Saat saya kelas tiga, saya dihadapkan pada apa
yang setiap siswa kelas tiga SMA hadapi: UAN dan SPMB. UAN adalah satu
kewajiban jika ingin lulus SMA. Sedangkan SPMB adalah satu kewajiban jika ingin
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yang kedua saya tidak
terlalu peduli. Saya fokus pada UAN. Setelah saya bertanya pada guru, tutor,
teman, dan keluarga, ternyata kuliah di perguruan tinggi itu sangat mahal. Termasuk
perguruan tinggi negeri. Saya tidak muluk-muluk atau menuntut untuk ikut
kuliah. Bapak sudah tidak bekerja, pengangguran. Ibu hanya bertugas rumah tangga. Seringkali
merangkap buruh. Saya tidak mau menyusahkan kakak yang baru saja lulus kuliah
ataupun orang lain. Beberapa orang
menyarankan beasiswa. Tapi saya sadar diri, saya bukanlah murid yang cerdas dan
berprestasi. I wasn’t an outstanding student. Saya memutuskan untuk
tidak kuliah. Terlebih ketika saya kerja paruh waktu, saya bertemu dengan
orang-orang yang humble. Mereka yang saya temui bekerja di pabrik atau
kerja di restoran selalu tampak ceria. Menikmati hidup mereka. Mereka pasti
menginginkan hidup yang lebih baik namun bukan berarti hidup yang mereka miliki
sekarang tidak baik. Mereka sudah bisa gembira jika bisa menghasilkan uang
sendiri dan memiliki teman, mengingatkan bahwa mereka tidak sendiri. Saya terharu.
Saya tahu mereka ingin kuliah ataupun mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Tapi mereka tidak egois. Mereka bisa saja mengabaikan tanggung jawab mereka
terhadap keluarga dan diri mereka sendiri tapi mereka sadar bahwa keluarga
mereka hanya bisa membantu mereka sampai situ. Sampai SMA. Dari situ mereka
harus berjuang sendiri. Masih basah di
ingatan saya saat saya selesai membersihkan meja restoran pagi buta pada akhir
pekan, seorang senior saya mengajak saya dan teman-teman lainnya untuk merokok.
Saya terbatuk-batuk, tidak terbiasa dan mereka tertawa. Salah satu dari mereka
berceloteh, “kalau memang gak bisa merokok, jangan dipaksa merokok. Kalau
memang gak mau merokok, jangan dipaksa merokok.” Akhirnya dia memberikan air
minum pada saya yang terbatuk-batuk. Kebersamaan seperti itu yang menurut saya solid.
Kebersamaan yang tidak bisa saya dapatkan dalam keseharian pejabat pemerintah
ataupun korporasi. Lantas saya berpikir lagi. Buat apa saya meneruskan kuliah
kalau saya tidak mampu? Kalau saya tidak mau? Cita-cita saya menjadi penulis.
Yang bisa diwujudkan tanpa harus kuliah. Mimpi saya hidup bahagia tanpa menyusahkan
orang lain. Yang bisa dilaksanakan tanpa harus kuliah. Keputusan saya bulat. Setelah pengumuman nilai UAN dan UAS yang disampaikan pada wisuda, saya mengutarakan keputusan saya.
Kelas yang menyenangkan. persahabatan yang juga mengesankan. Apa kabar kalian? :) |
Saat saya mengutarakan niat itu kepada orang
tua. Mereka sedikit sedih dan banyak tercengang. Mereka tidak menyangka bahwa saya
tidak mau kuliah. Awalnya mereka
menerima. Namun keputusan mereka berubah drastis di hari-hari berikutya. Mereka
mengharapkan saya untuk kuliah. Mereka bilang kuliah dapat meningkatkan taraf
hidup. Meningkatkan derajat sosial seseorang. Saya pikir itu lucu. Karena taraf
hidup dan derajat sosial seseorang tidak ditentukan oleh orang itu kuliah
ataupun tidak. Banyak orang saya tahu kuliah tidak mencerminkan bahwa mereka
adalah intelektual muda. Foya-foya dan mental konsumerisme. Tapi harus ada argumen
logis yang dilontarkan supaya mereka percaya. Sayapun melontarkan biaya yang
mahal sebagai argumen yang bagus untuk menghancurkan harapan mereka. Tapi
mereka tetap meyakinkan saya bahwa saya harus kuliah, urusan biaya, urusan
dana, itu semua bisa diurus belakangan. Setelah berdebat akhirnya kami sepakat
bahwa saya akan kuliah jika diterima di perguruan tinggi negeri. Ada niat untuk
menyabotase ujian SPMB saya sendiri yaitu dengan hanya mengisi satu nomor saja.
Tapi niat itu ditemukan oleh ibu yang tidak akan ikhlas sampai mati jika saya
melakukannya. Sayapun berpikir jika saya berjuang dan tidak masuk, itupun tampaknya
cukup fair bagi mereka. Akhirnya saya belajar dengan sangat sangat
keras. Saya cuti bekerja untuk sementara. Hasil SPMBpun keluar setelah beberapa
bulan menunggu. Saya masuk ptn.
Awal masuk kuliah tidak semulus yang saya kira.
Biaya yang diusahakan oleh orang tua ternyata tidak cukup. Memang mereka menyediakan
uang bangunan yang harus diawal sebesar enam juta rupiah. Namun biaya ospek,
biaya untuk peralatan ospek, ongkos, dan sebagainya mereka memberikan dengan
jumlah yang sangat terbatas. Sayapun akhirnya kembali bekerja paruh waktu. Satu
tahun sebagai seorang freshman lebih saya habiskan di luar kampus untuk
mencari tambahan uang saku. Uang untuk membeli modul, buku, fotokopi, warnet,
cetak tugas, dan hal-hal yang tidak ingin orang tua ketahui. Saya berusaha
keras untuk menyeimbangkan keduanya. Lagi-lagi sulit. Saya ingat benar untuk
UAS antropologi, saya datang 15 menit sebelum ujian selesai. Saat itu saya sedang shift
pagi di salah satu minimarket dan ternyata UAS yang dijadwalkan siang dipindah
pagi karena kepentingan dosen. Jadi IPK tahun pertama tidak sebagus yang saya
harapkan. Saya yakin hal ini karena saya
kerja paruh waktu empat hari dalam seminggu. Saya mulai menguranginya. Saya tidak
mau meninggalkan kuliah dengan fokus pada bekerja karena ada harapan besar di
dalam 6 juta rupiah yang didapat dari mengutang ke sana-kemari. Saya tidak mau
menyia-nyiakan sesuatu. Saya tidak mau disia-siakan. Karena jumlah uang yang dikeluarkan selama saya kuliah tidaklah sedikit.
Jumlah biaya selama kuliah |
Total biaya yang dikeluarkan saya dan orang
tua adalah Rp. 17.700k dengan jumlah awal Rp. 48.100k. Sayamendapatkan beasiswa
pada tahun kedua hingga keempat dengan tiga jenis beasiswa. Pada tahun kedua saya mendapatkan
beasiswa PPA selama 2008-2010, KSE (Karya Salemba Empat) 2009-2010, dan BCA
Finance selama 2010-2011. Jika orang tua saya sedang ada uang lebih, saya mendapat
uang Rp.25k/hari dan jumlah itu menjadi patokan sebagai jumlah uang yang
dibutuhkan setiap hari. Asumsikan selama 3 tahun saya ke kampus 5 kali seminggunya.
Dan selama satu tahun setengah saya hanya ke kampus 2 kali seminggu. Saya tidak
kos jadi tidak ada uang yang digunakan untuk kos. Saya juga bekerja part-time seminggu dua
kali dan anggap saya hanya bekerja dalam waktu dua tahun saja. Ya itulah jumlah
total yang dikeluarkan. Saya cukup tercengang. 17 juta 700ribu rupiah bukanlah
jumlah yang sedikit untuk saya dan keluarga. Apalagi 40juta sekian. Tapi melalui
waktu dan ketekunan, kami berhasil membuat saya menjadi seorang sarjana. Saya bangga
saya bisa membayar kuliah itu lebih sedikit dari orang-orang kebanyakan itu.
Bagi kebanyakan orang menempuh sarjana merupakan
hal yang sangat biasa: tetes air di lautan atau titik kecil dalam sebuah garis.
Tapi saya menangis seharian saat saya selesai sidang karena ini bukan kerja keras
saya semata. Saya menjadi bagian dari satu tetes dan satu titik itu. Ada doa dan dukungan baik orang yang saya kenal maupun tidak. Saat saya butuh
laptop untuk mengetik, saat saya butuh uang untuk kuliah, atau saat saya butuh
dorongan saat saya lelah, saat saya butuh kamu untuk berkeluh kesah. Meski
menjadi seorang sarjana adalah hal umum bagi banyak orang, saya merasa memiliki
banyak hutang kepada kalian semua. Dan untuk itu saya berjanji akan berusaha mengamalkan
ilmu saya untuk banyak orang.
Saya bersyukur saya bisa melewati ini semua.
Adapun hal yang saya tidak sukai dari kuliah
yang mengubah saya adalah saya menjadi sangat penasaran, haus akan pengetahuan. Ada
kesadaran yang perlahan tumbuh bahwa semakin saya tahu, semakin saya tidak tahu.
Entah ini bisa menjadi sisi negatif ataupun bukan. Yang jelas pengalaman kuliah
merupakan pengalaman saya yang paling menakjubkan: pergerakan mahasiswa, dunia literatur,
pertemanan, cinta, dan banyak lagi tahapan penting saat itu yang membantu
proses maturasi saya. Sampai sekarang, saya selalu mendorong saudara, teman,
temannya teman, atau siapapun itu yang saya kenal untuk kuliah – membuka
cakrawala pengetahuan kita untuk lebih luas. Setidaknya di ptn, jika mereka
mampu ya pts.
Saya tidak tahu apakah saya berhasil menjadi sarjana yang diinginkan
oleh orang tua saya: lulus kuliah, dapat pekerjaan yang bagus, punya karir dan
uang, menikah, punya cucu dan menjadi tua. Meningkatkan
taraf hidup dan derajat sosial saya sendiri. Saya benar-benar tidak tahu. Dan
kalau saya belum menjadi sarjana yang orang tua saya inginkan, saya benar-benar
meminta maaf kepada mereka dan Tuhan. Namun jika ada orang bertanya apa
cita-cita saya, sayaakan tetap menjawab saya ingin menjadi penulis. Penulis
hebat seperti Mochtar Lubis, Merari Siregar. Dan jika ada orang bertanya apa
mimpi saya, saya akan menjawab hidup bahagia dan berkecukupan. Atau mati
berusaha.
didedikasikan untuk semua yang sudah hadir dalam hidup saya |
Tulisan ini dipersembahkan untuk para sposnor kuliah saya terutama (Alm) R. Hj. Agus Upi. Semoga Tuhan membalas amal kalian.
menulislah terus, aku yakin kamu pasti bisa menjadi penulis yang hebat, seperti yang kamu mau.
ReplyDeletelagi berselancar cari materi buat bahan ajar dan akhirnya terdampar di blog ini, pertama baca artikel "kita (manusia) dan lingkungan", gaya penulisannya buat isi dari artikel itu nggak seberat judulnya untuk dibaca tetapi esensinya tetep aja bikin jlebb...
ReplyDeleteakhirnya ga sampe di satu artikel tersebut, saya buka lagi aneka artikel di blog ini, suka banget dengan bahasan tentang cita-cita dan pekerjaan, ngena banget buat saya yang masih "pendatang baru" di dunia kerja, saya yang masih labil dan bertanya-tanya "apa ini pekerjaan dan atau cita-cita yang saya harapkan selama ini?",
ditambah lagi sama artikel ini yang membuat saya bisa bersyukur dan terus mencoba ya paling tidak dengan kondisi saya saat ini hingga suatu saat nanti bisa mencapai tujuan hidup saya..
hehe.. panjang lebar, intinya saya salut sama tulisan2 di blog ini.. keren..!