Buanglah janji pada tempatnya
Banyak yang bilang hidup ini adalah pilihan tapi saya belum pernah mendengar bahwa hidup ini adalah tanggung jawab. Apa dengan memilih lantas kita sudah bisa dicap bertanggung jawab? apa sebuah pilihan sudah pasti memuat tanggung jawab?
Pertanyaan itu saya pikirkan berulang-ulang beberapa hari lalu. Saat itu jam menunjukan pukul empat sore dan saya bergegas pulang sehabis kuliah. Saya memilih tidak membawa motor hari itu karena destinasi saya hari itu hanya di wilayah Dipatiukur. Selain itu menghemat footprint, juga dengan menggunakan angkot saya bisa tiba di rumah bertepatan dengan waktu berbuka puasa. Lumayan, ngabuburit di jalan.
Sambil menunggu angkot di halte Dipatiukur, saya merenungkan kembali omongan Prof. Oekan saat kuliah terakhir. Ia mengajar mata kuliah Ekologi Manusia dan menurut saya beliau adalah orang yang benar-benar hebat. Ia adalah lulusan University of Berkeley dan pernah bekerja di beberapa organisasi internasional. Saya senang bisa mendapatkan ilmu dari orang sekaliber beliau. Lanjut, beliau mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah benar-benar diuntungkan dengan adanya rezim lingkungan. Produk seperti UNFCCC, UNCBD, atau REDD + hanya mengeksploitasi kita secara tidak langsung. Misalnya UNFCCC berbicara mengenai penuruan emisi dari 12% menjadi 6% dan negara-negara maju harus memberikan dana kepada negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis melalui carbon trade. Namun jumlah yang jelas mengenai dana yang harus diberikan belum mencapai detil yang jelas. Seolah Indonesia hanya menginginkan hibah dari negara maju. Sampai sekarang implementasi dari UNFCCC itu belum juga jelas. Indonesia juga meratifikasi UNCBD yang menyoroti pentingnya kekayaan biodiversitas namun konversi lahan telah menyebabkan hutan beralih fungsi atau bahkan terdegradasi. Binatang-binatang mulai kehilangan habitat dan ekosistem mulai terganggu. Tidak usah mengupas REDD + yang seolah menyaratkan Indonesia untuk meningkatkan kualitas produk ekspornya melalui ecolabelling. Indonesia jelas kalah saing. Kayu meranti kita berkualitas prima untuk diekspor dalam bentuk bahan jadi seperti mebel. Namun Uni Eropa berkilah bahwa produk tersebut belum ramah lingkungan dan mendapat ecolabelling sehingga banyak pengusaha ekspor mebel kita lari ke Singapura yang bisa memberikan ecolabelling dengan mudah. Yah, kita sudah memilih terjerumus dalam kerangkeng permaninan politik internasional.
Sambil masih menunggu angkot Ciroyom-Ciburial yang selangka orang yang buang sampah pada tempatnya, saya lantas mengilas balik saat saya menjadi tutor mata kuliah Enviromentalisme dalam Hubungan Internasional. Saat itu saya dengan teman-teman junior berdiskusi mengenai etika lingkungan hidup. Saya memberi introduksi filosofi etika lingkungan hidup mulai dari antroposentrisme sampai ekosentrisme diakhiri dengan pertanyaan, "Jika di bumi ini cuma tersisa lima pohon dengan pertumbuhan penduduk yang konstan, apa yang akan kita lakukan?"
Sebagian besar dari mereka berkata tentang proteksi dan limitasi. Proteksi sumber daya yang ada dan limitasi penggunaannya. Satu orang berkata, "Ya, ga usah digimana-gimanain toh pada akhirnya lima pohon itu juga bakal layu." Perdebatan dan diskusi muncul sendiri di antara mereka dari pernyataan tersebut.
Saya kemudian mengakhiri dengan pertanyaan, "Kita bisa memilih untuk hidup, apakah sebuah pohon bisa memilih untuk hidup?"
Ya, cuma manusia yang bisa mengolah informasi kemudia membuat pilihan. Kita seringkali menimbang sejumlah pilihan yang ada dengan konsekuensi logis yang bisa kita pikul. Tidak jarang juga dari kita yang memilih tanpa menimbang. Sebuah pohon bisa hidup lebih lama jika kita memilih untuk membantunya. Sayangnya kita selalu dihadapkan dengan sejumlah tradeoff yang memaksa kita untuk harus (bisa) memilih. Lebih memilih tanam pohon atau bangun apartemen?
Tuhan selalu memberikan kita pilihan karena kita memiliki akal dan dianugerahi free will. Jarang kita memaknai kemampuan memilih itu sebagai tanggung jawab untuk memilih. Saat Pemilu, kita diberikan pilihan golput namun cara kita mempertanggung jawabkan hal tersebutlah yang sebenarnya nanti menjadi persoalan personal bagi kita sendiri, horizontal dengan masyarakat kini, dan vertikal dengan Dia Yang Maha Mengetahui.
Kemudian saya berpikir lagi jika secara idealis seseorang bisa berkontribusi dengan yang ia miliki maka ia sudah memilih untuk bertanggung jawab. Misalnya teman saya seorang sarjana astronomi ingin bekerja di badan meteorologi dan geofisika karena hal itu bisa menuntaskan kewajibannya sebagai seorang akademisi yang memiliki hasrat di bidang yang ia geluti. Tapi sayang kenyataannya berbeda, ia bekerja di sebuah bank di Jerman dengan bidang yang sangat jauh berbeda dengan yang ia geluti selama ini karena gaji di sana berlipat-lipat dibandingkan di sini. Awalnya saya berpikir ia tidak bertanggung jawab terhadap apa yang sebelumnya ia geluti. Namun setelah mengemukakan alasannya yaitu, "Gw milih kerja di bank sana karena realistis. Gw ingin ngbantu orang tua gw dan sebagai anak sulung gw punya kewajiban untuk ngebiayain empat orang adik-adik gw. Lagian gw ama cewe gw juga udah ngrencanain untuk nikah dalam waktu dekat."
Bagai ditimpuk batu bata, saya tersadar. Ternyata meskipun dia tidak memilih untuk bertanggung jawab sesuai dengan koridor akademik yang pernah ia lalui, ia telah memilih bertanggung jawab terhadap orang tua, adik-adik, dan pacarnya. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa itu memang sebuah tanggung jawab.
Saya pernah menegur orang membuang cup soft-drink ukuran besar di jalan, ia merespon, "sewot amat. Ntar juga dibersihin petugas kebersihan." Saya tidak memperpanjangnya karena saya juga malu. Bukan karena saya menegurnya tapi karena saya tidak memungut sampah yang ia buang. Jadi kalau sampah cuma perlu ditangani oleh departemen kebersihan? masalah kemiskinan cuma perlu ditangani oleh departemen sosial?
Dulu, menjelang sidang, saya galau bukan main. Penyebab utamanya adalah karena saya tidak tahu mau apa setelah lulus. Saya ingin bekerja di BUMN agar mapan. Tapi saya memiliki hasrat di bidang jurnalistik dan ingin sekali bekerja di LSM yang bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Tapi saya juga ingin sekali bekerja di pemerintahan dan mencoba memperbaiki sistem yang ada bersama Arian Empire demi Indonesia yang lebih banyak (bisa dibaca di blognya aros). Saya ingin kerja di bidang pelestarian lingkungan tapi juga ingin masuk ke ranah birokrasi.
Ah, ternyata saya seorang pribadi yang loba kahayang. Saat saya melihat jam, sudah sejam saya menunggu angkot sambil melamun ngaler ngidul. Saya mencoba menyimpulan renungan saya sore itu, ternyata tanggung jawab terhadap diri sendiri adalah hal yang penting. Kalau saya memilih untuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan apa yang kita pilih, saya yakin tanggung jawab terhadap orang lain pun berangsur-angsur akan terpenuhi.
Saat masih asyik melamun, angkot Ciroyom-Ciburial yang sudah lama ditunggu-tunggu itu melintas di depan mata saya begitu saja.
Yah, nasib.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteGue suka tulisan ini. Selain karena pembahasannya berhubungan dengan lingkungan hidup. Gue juga tertarik dengan petikan kalimat yang berbunyi:
ReplyDelete"Jika di bumi ini cuma tersisa lima pohon dengan pertumbuhan penduduk yang konstan, apa yang akan kita lakukan?"
Jika hal tersebut benar-benar terjadi. Mungkin manusia akan berubah menjadi kanibal, memakan sesama manusia sebagai cara untuk bertahan hidup. Sangat sulit menemukan hewan untuk di makan, karena rantai makanan telah rusak, dimulai dari punahnya hewan herbivora dan manusia penganut paham vegetarianism. Yang tersisa hanyalah spesies omnivora dengan spesies yang sangat berlimpah, melebihi jumlah spesies lainnya.
Saat manusia mengkonsumsi makanan mereka - manusia. Mereka tidak mempedulikan apakah makan itu dimasak terlebih dahulu atau tidak. Mereka mulai menyukai memakan manusia secara hidup-hidup. Dimulai dengan mengunyah bagian mata, jantung, dan otak yang mengandung banyak cairan. Air untuk minum menjadi suatu yang sangat sulit di dapatkan. Sungai yang mengalir hanya setinggi 1cm pun dibendung demi kepentingan suatu negara besar. Siklus hujan menjadi sangat jarang dan Bumi tidak lagi mampu menyokong kehidupan di atasnya, dan tanah tidak lagi mampu membuat dirinya subur, karena berbagai organisme yang hidup di dalamnya mulai hilang secara perlahan-lahan. Akhirnya tanah menjadi kerontang sehingga mempercepat proses erosi. Cepat lambat bumi tempat tinggal manusia kanibal itu akan berakhir kering seperti Mars atau bahkan seperti satelitnya sendiri, Bulan. Tidak adanya proses fotosintesis dan oksidasi dari pohon-pohon besar. Menyebabkan udara kotor dengan kadar Co2 melimpah. Penyakit pernapasan dan kanker mulai melanda.
Saat hal itu terjadi. Sepertinya manusia tidak perlu berfikir panjang seperti apa masa depan mereka. Karena seperti pohon, mereka sendiri tidak punya pilihan untuk hidup.
Tulisan yang bagus sekali :)
ReplyDeleteSuka pas bagian yang pilihan dan tanggung jawab (eh, itu mah udah jadi judulnya ya? haha..). Paragraf 1 deh.
Probing questions pas diskusinya jg menarik, "apakah sebuah pohon bisa memilih untuk hidup?"
Dan pertanyaan dalam hatiku selagi baca, terjawab di paragraf akhir, hwahaha... Tdnya aku jg menyangka selama nunggu sejam sambil melamun, mungkin ga sadar klo si angkot2 itu udah lewat2 sebenernya :D