Minggu ini orang ramai sekali membicarakan Irshad Manji, setelahnya ada FPI yang menolak Lady Gaga yang akan berkonser di Indonesia, sebelumnya ada kecelakaan Sukhoi yang merenggut banyak nyawa di Gunung Salak. Saya melihat arus informasi yang begitu deras dari televisi, twitter, facebook, koran, dan radio. Untuk ketiganya, seringkali ada teman saya yang bertanya, "Eh menurut lu gimana benturan kebudayaan FPI vs Lady Gaga? Lady Gaga kan blablablabla jadi kan seharusnya blablablabla?" atau "sebenernya kan JIL itu giniginigini jadi Irshad gitugitugitu dong?" Yang pertama, teman saya itu bukan seorang fanatik Lady Gaga. Waktu saya tanya, buku kebudayaan apa yang pernah kamu baca dia jawab belum pernah baca sih. Saya tanya lagi, Koentjaraningrat pun? dia bilang, siapa tuh? Saya bergeming.
Globalization |
Jujur, waktu kuliah saya bisa lempar pisau analisis pluralisme Cobweb Model atau teori hegemoni Gramsci dalam satu fenomena dan diskusi sama teman-teman. Sekarang, beberapa kali diskusi, teman saya cuma menggantungkan pemikirannya sama rasionalitas banal yang ia pegang. Ketika saya mendedah suatu hal dari sudut pandang lain, saya dikecam terlalu teoritis. Saya paham jika sedikit teman (saya) yang tertarik dengan teori-teori sosial. Terlebih lagi mereka yang berkecimpung hanya dengan cawan petri atau mikroskop sehari-harinya. Mereka cuma melihat masalah sosial dari sudut pandang das sein. Dan sayangnya, mereka juga rigid terhadap parameter-parameter yang mereka atur sendiri sehingga mereka cenderung berpikir tendensius. Saat melihat diskusi Irshad Manji yang dibatalkan, teman-teman saya mayoritas menilai dengan parameter salah atau benar. Saat melihat isu penolakan FPI terhadap Lady Gaga, lagi-lagi cuma salah atau benar yang mereka nilai. Lantas siapa yang males berdiskusi dengan orang-orang yang memang puas hanya dengan mengecap salah dan benar saja?
Beberapa hari lalu, saya menemukan teman baru yang asyik diajak diskusi. Sebut saja namanya Shia, usianya belum genap sepuluh tahun. Dia duduk di kelas empat sekolah dasar di salah satu sekolah internasional di Bandung. Orang tuanya yang ekspatriat ingin saya mengajarkan dia bahasa Indonesia dan Indonesian Studies. Dua pelajaran nilainya selalu di bawah batas minimum. Saat saya membaca modul Indonesian Studies tentang keanekaragaman dan toleransi, ada sebuah teks yang tertulis, "Di Indonesia ada berbagai macam kepercayaan dan agama. Banyak masyarakat yang masih mengatus dinamisme dan animisme. Selain itu, agama yang ada juga bermacam-macam termasuk Islam, Hindu, Budha, Kristen, Shinto, Konghucu dan lain-lainnya. Bahkan banyak pula yang tidak memeluk agama. Namun kita semua pada dasarnya adalah manusia, sama"
Doeng. Anak kelas empat sudah disusupi konsep dasar ateisme/agnostisme dalam perspektif pluralis yang begitu luas. Saya tidak menyangka bahwa ada materi semacam itu dalam kurikulum sekolah internasional. Teks semacam itu menjadi lalapan pelajaran sehari-hari bagi Shia. Shia hanya mengerti sebatas kalimat saja, dalam konteksnya saja. Shia anak yang polos dan juga cerdas dibandingkan anak kelas empat sd lainnya. Pengaruh sekolah internasional saya kira telah membentuk kepribadiannya menjadi lebih global dibandingkan anak pribumi. Ketika saya bertanya, "Shia, tempat bertemu pembeli dan penjual itu disebut apa ya?" Dengan polos dia menjawab, "Superindo!" atau ketika saya memintanya membuat kalimat menggunakan kata "pergi", dia bakal jawab, "Optimus Prime pergi ke Cybertron untuk melawan Decepticon." Saya juga penggemar transformers, jadi hapal siapa itu Optimus Prime atau apa itu Cybertron. Tapi coba jika guru sekolahnya menghadapi imajinasinya yang seperti ini setiap hari?
Saya menemukan bahwa baik itu pemikiran yang melingkupi teman-teman saya dan juga Shia, digenjot oleh globalisasi. Melalui media, globalisasi telah mempenetrasi arus informasi menjadi demikian dahsyatnya di media massa atau media sosial. Sayangnya kebanyakan orang hanya paham bentuk globalisasi yang menjelma menjadi sisi negatif dan positif dalam modernisasi atau liberalisasi. Tanpa menengahkan bahwa ada unsur-unsur budaya lokal yang juga ikut diubah melalui globalisasi.George Ritzer menguti perkataan Douglas Goodman yang mengatakan bahwa ada kontradiksi-kontradiksi yang memerankan diri mereka sendiri pada semua level baik itu lokal maupun global dalam banyak hal. Globalisasi ini juga seringkali menimbulkan kehampaan yang menyebabkan hilangnya nilai-nilai lokal.
Jawaban Superindo atau kuriositas teman-teman saya yang hanya terseret oleh "ikut-ikutan" membahas recent issues menjadi sebuah keharusan untuk bergabung dalam globalisasi yang orang rasakan semakin penting. Tanpa menjadi bagian dari hal yang global, orang mulai merasakan kehampaan yang luar biasa. Awalnya konsumsi yang berlebih dan fetishisme komoditi (mendewakan sebuah brand barang tertentu) menjadi penanda, tapi saya tidak menyangka bahwa globalisasi telah menyusup ke tingkah laku dan pemikiran kita, bahkan seorang anak kecil. Saya yakin Shia hanya memiliki teman di sekolah saja. Di rumah ia hanya bermain dengan mainan dan pembantunya. Benar-benar tipikal kebudayaan barat. Berbeda dengan budaya timur atau Indonesia pada umumnya di mana anak-anaknya berinteraksi pada kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah ataupun sekolah.
Dan ketika orang-orang ingin membahas semua itu dengan alasan implisit untuk bagian dari hegemoni global, saya beneran cuma diam. Melepas diri dari rangkulan mereka dalam diam.
Comments
Post a Comment