It's me and 23 years worth of living
21st, eh, 23rd i mean |
Sepuluh April lalu tepat menggenapkan saya 23 tahun. Ya, saya baru saja berulang tahun. Hari lahir yang bagi sebagian orang layak untuk dirayakan tapi tidak bagi saya. Sebelumnya saya memang bukan a birthday-person dan saya memang ga sebegitunya terikat dalam sebuah perayaan. Bagi saya umur berkurang tiap harinya dan ketika tanggal lahir saya terulang tiap tahunnya, saya hanya bernapas lega karena saya berhasil melewati hari-hari sebelumnya, fyuh i have survived. Thomas Hobbes mungkin mengangguk setuju. Namun seseorang secara berbeda berkata dengan sederhana, "You have to celebrate your own birthday. But celebrating birthday doesn't have to be extravagant." Saya langsung mengangguk setuju. Ritual ulang tahun, tahun baru, dan momen publik dan personal yang membutuhkan perayaan selalu saya isi dengan merenung, introspeksi, evaluasi, melamun, bermimpi, yah ga tau kenapa. Mungkin karena itu satu-satunya keahlian saya yang punya.
Gambar di atas adalah foto selamat ulang tahun yang menjadi bagian kado ulang tahun dari teman-teman terbaik saya. Tapi seperti yang bisa dicermati dari foto tersebut, itu bukanlah saat saya berulang tahun tanggal sepuluh April tahun ini tapi dua tahun lalu. Saat saya genap berusia 21 tahun. Yes yes, you might find me pathetic editing the numbers, but that's all i've got with me and birthday: friends.. Dan saya sangat menghargai mereka. Mereka yang mengingatkan saya saat usia saya berkurang satu, dua, atau tiga tahun. Mereka seperti reminder handphone yang bergetar berulangulang dan berteriak keras-keras: You made it a year! Yah, betapa mengerikannya memiliki teman yang bersorak sorai menyelamati kita saat umur kita berkurang. That's a joke, if you don't know.
Anyway, saya bukan a birthday person bukan berarti saya juga bukan a wishful person. Tiap kali saya bertemu sepuluh April, saya selalu berdoa dan memuji Tuhan yang selama ini sungguh baik terhadap saya, masih memberikan saya kesempatan untuk banyak belajar dan terus belajar melalui banyak hal: keluarga, teman, kekasih, dan pengalaman-pengalaman pahit lainnya. Saya ingat ketika saya berusia empat belas tahun dan saat itu saya sedang menghatamkan buku Sang Alkemis-nya Paulo Coelho di kelas, guru saya sempat melihat saya sendirian di dalam kelas ketika teman-teman asik bercanda dan jajan saat istirahat. Kemudian beliau memanggil saya ke ruang guru. Beliau terhenyak melihat bacaan yang saya bawa lalu ia menawarkan saya untuk membaca beberapa buku novel yang ada di ruang guru. Saya senang bukan kepalang karena buku yang mejeng di rak ruang guru lebih menarik daripada di perpustakaan. Seminggu setelahnya, waktu istirahat saya gunakan untuk bolak-balik kelas-ruang guru untuk membaca. Minggu bertambah minggu menjadi bulan. Kurang lebih satu bulan saya berhasil menamatkan tiga buku. Dua buah novel dan satu buah kumpulan cerpen. Suatu hari ketika saya ingin meminjam lagi, guru saya berkata, "Ternyata dugaan ibu bener ya. Kamu kalo dikasih buku jadi lupa sama yang lain." Jelas saya ga ngerti apa yang beliau maksud. "Temen-temen kamu sebenernya ngeluh kalo kamu nolak terus diajak jajan ke kantin atau main bola." Dalam hati saya berkata Lah, terus? Beliau meneruskan,"Kalau kamu tahu, temen-temen kamu juga sama nyenenginnya kaya buku, mereka sama-sama bisa jadi temen." Kurang lebih seperti itu percakapannya. Nah setelah hari itu, beliau selalu menugaskan belajar kelompok atau tugas kelompok untuk menghindari saya dari asyik sendiri. Saya ga lantas ngerti apa tujuan beliau memberikan tugas resensi novel secara berkelompok yang menurut saya akan jauh lebih mudah mengerjakannya sendiri.
Setamat saya SMP saya masih belum dapat esensi tugas kelompok jika pekerjaan itu sebenarnya bisa dikerjakan sendiri. Sampai saya duduk di bangku SMA. Tugas kelompok terus menerus menghantam saya dan interaksi sosialpun tidak bisa saya hindari. Saya selalu ingin mendapat nilai bagus untuk semua mata pelajaran namun agak sulit jika harus mendapatkannya secara berkelompok. Yang juga menghantam saya adalah saat saya menyadari ternyata bukan saya yang satu-satunya mengamati saat belajar kelompok. Tepatnya saat mereka belajar kelompok di rumah saya dan melihat novel-novel saya. Beberapa di antara mereka meminjamnya dan seringkali buku tersebut kembali dengan komentar, "Kamu kok bacaannya tua semua ya? Aku ga ngerti buku ini [Kahlil Gibran: Sayap-sayap Patah]." atau "Aku baru baca lima lembar tapi banyak istilah yang bikin aku pusing [Dewi Lestari: Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh]" atau "Buku ini [Dan Brown: the Da Vinci Code] punya kamu? Kok berat banget ya?" Saya malah mengganggap bacaan saya sangat ringan.Teman saya di kelas sebelah saat itu malah sudah ada yang mendalami buku fisika teori kuantum atau algortima tingkat lanjut. Saya hanya berpikir membaca adalah hobi yang dilakukan oleh kebanyakan siswa saat itu.
Beberapa teman SMA yang kemudian menjadi sahabat saya pada awalnya ga suka sama saya yang selalu serius menghadapi persoalan atau mungkin sok serius. They awlways think i was born twenty. [But trust me, i believe that i am over 80s]. Nah, entah muka saya yang boros atau hidup saya yang jauh dari hemat, tapi saya memang selalu berpikir saya ini sudah tua yang diterjemahkan teman-teman menjadi dewasa sebelum waktunya. Tapi kami selalu tertawa jika sudah berdebat mengenai umur saya. [ah, how i miss you and those moments]. But true, i am an old soul.
Dari situ, saya menyadari maksud guru SMP saya waktu itu. Ternyata memang benar, teman-teman [manusia] itu juga sama menyenangkannya dan lebih kompleks malah. Saya menemukan unsur instrinsik dan ekstrinsik pada mereka seperti saat saya membaca buku.
Terus hubungannya dengan ulang tahun saya yang ke 23?
Yah, saya benar-benar bersyukur memiliki teman-teman [manusia]. Perbedaannya dengan bacaan adalah bahwa mereka merespon saya. Saya yang penyendiri, kadang kompleks, mostly introverted, argumentatif, keras kepala, frequently annoying, dan banyak sisi negatif-negatif lainnya yang saya sendiri susah menerima tapi teman-teman saya dengan kebaikan dan kerendahan hati mereka [semoga terus] mau menerima saya apa adanya.
Jadi kalau saya boleh minta permohonan ulang tahun, saya bakal minta yang sederhana aja kok: semoga bisa saya nikah sama Julie Estel dan punya kastil di Inggris, sebelahan sama punyanya J.K. Rowling. Oh terlalu sederhana? Yaudah deh ini aja:
I simply wished that my friends don't give up easily on me as i never give up on them.
so sweet....
ReplyDeletebtw itu kan foto di kaamr lo... =)
selamat ulang tahun pradip
semoga dilancarkan kariernya ya