Saya: Perkenalkan, nama saya Pradipta Dirgantara. Panggil aja Pradip. Kamu ?
Dia: Panggil aku sesukamu. Nama bukanlah hal yang utama.
Benarkah nama bukanlah hal yang utama ?
Shakespear berkata, "What's in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet."
Yang jika diartikan, bunga mawar akan tetap harum mewangi meskipun
namanya diganti menjadi tahi.
Sebaliknya, tahi juga akan tetap bau jika namanya diganti menjadi mawar. .
Saya dengan keras menyanggah Shakespeare. Nama
sangatlah penting. Nama menjadi personifier sesorang/sesuatu. Okay, jika mawar akan
tetap indah jika diganti namanya namun kombinasi m-a-w-a-r menjadi sesuatu yang
membayangi keindahan entitas mawar
tersebut. Memang terdengar konstruktif, tapi bayangkan jika nama bukan sesuatu
yang utama. Kita akan kesulitan mengenali seseorang/sesuatu. Khususnya dalam kehidupan sehari yang bersifat sangat teknis dan operasional seperti dalam ujian, melamar pekerjaan, atau pun melamar seseorang (curcol).
Menurut saya nama begitu berarti. Hal yang saya hindari sedari kecil
adalah menghina nama seseorang. Ada yang bilang nama itu doa. Ada yang bilang
nama itu kenangan. Ada yang bilang nama itu derita. Terkait dengan yang
terakhir, saya teringat guru SMP saya yang bernama Bahh (nama asli disamarkan,
esensi tetap sama). Empat huruf saja. BE A BA HA HA. Bahh. Tentu ia menuai banyak
ejekan dan hinaan saat kecil,. Tidak berhenti disitu, saat ia beranjak
dewasapun ia menerima banyak rasa penasaran. Akhirnya, ia mengaku, ia mengganti
namanya saat kuliah. Ia rela mengurus
segala macam tetek bengeknya. Awalnya ia lega karena bisa menghapus sedikit
rasa sedih dari masa lalunya. Tapi ia lantas berkata, “Ternyata tidak semudah
membalikan telapak tangan. Nama itu pemberian orang tua. Punya arti tersendiri.
Aku tidak merasa lebih bahagia dengan nama baru ini.”
Ucapan guru SMP saya menjadi renungan yang luar biasa dalam dan masih
menggedor-gedor kualitas identitas saya sampai saat ini. Mungkin ia merasa
begitu karena nama awalnya menjadi keunikan tersendiri. Jika ia mampu
mencairkan rasa malunya dan kekakuan di antara teman-temannya, saya yakin
namanya akan menjadi nama yang menonjol sendiri di antara teman-temannya. Maksud saya, tidak semua orang mendapat pujian. “ih namanya bagus ya.” Tapi semua
orang ingin mendapat pujian bahwa nama mereka bagus. Nama yang bagus bukannya
nama yang memiliki kenangan, makna, dan juga eksistensi bagi orang lain. Saat
guru saya mengganti namanya, lenyaplah sudah kenangan dan keunikan dalam
dirinya. Memang betul, kita tidak bisa menyalahkan sikap seseorang yang mengganti
nama karena beban yang ditanggung akibat namanya. Kita juga tidak bisa
menyalahkan orang yang menamai kita. Saya pernah membaca suatu artikel yang
berisi seorang anak dinamai dengan situs internet oleh orang tuanya dengan
imbalan lima ribu dolar dari situs tersebut. Saya tidak bisa membayangkan beban
dan kesedihan si anak dengan nama tersebut. Ia menjadi iklan berjalan.
Maka dari itu, bapak Shakespear, nama itu sangat penting. Yang ngasih nama juga
penting. Jika bukan sebuah doa, biarlah nama itu menjadi sebuah kenangan.
Untuk itu, janganlah sekali-kali memanggil seseorang dengan bego, jahanam (siapa pula yg sadis pake kata ini buat manggil orang), dan tolol. Selain itu, menurut saya jangan juga kita menghamburkan kata sayang dan cinta kepada orang lain. Sayang dan cinta merupakan kata yang maknanya dalam dan juga sakral. Semakin sering dipakai, maknanya akan semakin dangkal. Maka dari itu saya tidak sembarang menggunakan kedua kata itu, bahkan saat becanda sekalipun. Dua kata itu adalah contoh yang tidak bisa mengalami perluasan makna, secara personal ya. Tapi, kalau mau tetep flirting atau becanda sih sok aja. Kalau kata Joker, "why so serious ?". Kalau kata Ludwig Wittgeinstein, "Arti sebuah kata adalah kegunaannya dalam bahasa."
Comments
Post a Comment